Mohon tunggu...
Miftah Hilmy Afifah
Miftah Hilmy Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis dan halu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maafkan Aku yang Terlambat Mencinta

20 April 2023   20:05 Diperbarui: 20 April 2023   20:11 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya: Miftah Hilmy Afifah

***

"Hallo, kamu dimana sekarang?" Suara cowok di ujung telepon yang beberapa bulan terakhir ini sedang menampakkan ketertarikannya padaku. Yaa, walau selalu kuanggap angin lalu, namun dia masih saja terus mengejar-ngejarku.  Namanya Wendy, cowok yang kukenal dari media sosial. Aku mulai berteman dengannya sejak masa putih abu-abu. Terhitung tujuh tahun sudah lamanya. Selama itu pula aku belum pernah bertemu dengannya, dan hari ini jauh-jauh dari timur Indonesia, dia datang untuk  menemuiku sebagai bukti bahwa dia serius ingin menjalin kasih denganku.

"Aku masih di jalan. Lima menit lagi sampai kok. Tunggu aja". Jawabku sedikit malas. Bukannya apa-apa, Menjalin hubungan serius dengan orang jauh sama sekali tidak ada dalam kamus hidupku. Aku terlalu cinta dengan kotaku. Aku tidak  ingin meninggalkan kotaku. Dan, kalau bisa, aku berjodoh sama orang di kotaku ini saja. Pernah kusampaikan alasanku mengabaikannya, akan tetapi Wendy selalu berkilah yang membuatku tak bisa membantahnya.

"Kalau kita jodoh bagaimana?"

"Kalau jodohmu orang jauh bagaimana?"

"Nggak baik lho, menolak jodoh dari Tuhan."

"Nggak baik lho, menolak niat baik seseorang."

"Kalau ternyata jodoh kamu yang disiapkan oleh Tuhan adalah aku bagaimana?" Dan masih banyak lagi kilahnya.

Kulayangkan pandangan menyapu sejauh mata bisa menjangkau seluruh isi kafe yang menjadi tempat pertemuan kami. Sengaja tak kubiarkan Wendy langsung bertandang ke rumah, apalagi sampai berkenalan dengan kedua orang tuaku karena bagiku itu tak perlu. Berharap cukup sampai di sini, dan aku dan Wendy hanya sebatas berteman saja, tidak lebih. Setelah ini, kuharap Wendy mau mengerti dan tak mengejarku lagi. Sedikit kebohongan mungkin bisa membuatnya mundur perlahanatau bahkan berhenti berharap. Dan, semua sudah kupersiapkan dengan matang sejak semalam.

Seseorang melambaikan tangan padaku. Oh, ternyata itu dia orangnya. Tak jauh berbeda dengan apa yang biasa kulihat di layar. Sekali pun hanya berinteraksi jarak jauh, akan tetapi waktu dua puluh empat jam seolah tak cukup. Dari panggilan video, beralih ke panggilan suara, beralih lagi ke pesan singkat, lalu kembali lagi ke panggilan video, dan terus berada pada siklus tersebut saban harinya. Bahkan baju dan celana yang akan dikenakan hari itu, wajib melalui perdebatan kecil yang intinya aku harus memakai baju yang dibolehkan Wendy baik itu dari warna, gaya, sampai  dengan bahannya, dan begitu juga sebaliknya.

"Sudah lama ya?" Tanyaku sambil mengambil posisi duduk bersebrangan dengannya.

"Ah, nggak juga kok?" Jawabnya dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.

"Oh ya, kamu mau pesan apa?" lanjutnya kemudian.

"Samakan aja". Jawabku, singkat.

"Ternyata kamu lebih cantik juga ya aslinya". Puji Wendy yang kubalas dengan senyum yang dipaksakan. Dari lagaknya, Wendy mulai menangkap sinyal-sinyal tak nyaman dariku. Tak secair biasanya, bahkan terkesan canggung dan kaku. Seolah tak pernah saling mengenal sebelumnya, atau lebih tepatnya aku yang tak menginginkan pertemuan ini terjadi. Kalau tak mengingat pengorbanannya yang rela datang jauh-jauh untuk aku, sudah pasti beribu alasan akan kujadikan senjata untuk menghindari pertemuan ini.

"Kayaknya kamu nggak senang ketemu aku  ya?" Tanya Wendy dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Benar saja, sejak sorot matanya menangkap siluetku, aku sudah paham akan tatapan cinta yang ia berikan. Hanya orang bodoh yang tak menyadari itu. Namun aku berusaha tak peduli dan abai terhadapnya. Kini kulihat tatapan cinta itu kian meredup, dan sarat akan kekecewaan.

"Ah biasa kok. Meski pun kita sudah lama kenal, tapi ini pertemuan pertama kita kan?" Hehe biasalah kalau agak canggung". Katanya mencoba mencairkan suasana, atau lebih tepatnya menguatkan diri akan segala praduga yang menghantuinya.

"Hmmm..." Lagi-lagi kubalas dengan senyum yang kupaksa semanis mungkin. Khawatir dia bisa jadi menangis di keramaian ini dan penyebabnya adalah aku sendiri.

     Seorang pramusaji datang membawa pesanan kami. Lalu acara makan dan minum pun dimulai. Hanya suara sendok, garpu, piring, dan gelas beradu yang menemani. Tanpa ada sepatah kata, bahkan kupikir kami sampai lupa bernapas saking tidak ada interaksi yang terjadi. Kulihat Wendy tergesa-gesa menghabiskan hidangannya. Matanya pun berkaca-kaca. Tadinya kukira dia kepedasan. Akan tetapi yang tersaji di depannya hanyalah sepiring kecil Cheesecake dan secangkir kopi susu.

"Apa lidahnya kepanasan? Gara-gara minum kopi susu yang masih mengepul". Monologku dalam hati.

"Kupikir kamu bakalan antusias banget ketemu sama aku. Tapi dari caramu sudah menegaskan bahwa tak sesuai ekspektasiku. Makasih udah mauu ketemu sama aku. Sepertinya udah nggak ada alasan lagi buatku berlama-lama di sini. Tadinya aku mau sampai kita menikah. Tapi hahaha gagasan itu baiknya kubungkus aja. Besok aku  mau balik lagi ke Halmahera". Kata Wendy sarat akan kesedihan. Aku gelagapan atas respon Wendy yang begitu tepat sasaran. Akan tetapi, ada yang perih di dalam sini. Wahai hati, bukankah ini yang kau inginkan? Kenapa harus merasa perih? Kenapa harus merasakan sakit? Sungguh aku tak mengerti apa maunya hati ini.

"Oh ya, simpan saja liontin ini sebagai kenang-kenangan dariku. Kalau sudih, aku mau kamu memakainya. Tapi kalau nggak juga nggak masalah. Cukup simpan saja di tempat yang kamu suka". Kulihat liontin itu teronggok tak berdaya di permukaan meja setelah dilepas pemiliknya. Kutaksir harganya kisaran ratusan juta. Wendy bukan dari kalangan kaya raya. Adanya liontin itu membuktikan kerja kerasnya untuk bisa membelinya. Dan itu ia serahkan padaku dengan Cuma-Cuma.

     Kuambil liontin mahal itu dan kutimang-timang dengan senyum haru.

"Kalau aku memakainya, pasti cocok dan makin indah".  Pikirku. Kubuka pengaitnya untuk kupasangkan di leherku. Sejenak kutatap Wendy, memastikan kalau dia juga ingin melihatku memakainya. Wendy tersenyum sumringah, bola matanya berbinar.

Dan entah setan apa yang merasuki perasaanku, dengan tak berperasaan kubuang liontin berlian mahal itu, kulemparkan ke kolam ikan yang berada di dekat kami duduk. Hanya kata maaf yang terlontar dari bibirku sebagai kata penutup perjumpaan kami di  senja  yang mulai turun bersama sendu di hatiku. Mengapa harus sendu? Wendy bukan jodohku.  Wendy bukan kriteria teman hidup yang kumau. Namun di sisi  lain hatiku menolak logika yang dibuat otakku. 

Aku risau menghadapi perdebatan antara hati dan logika yang bertolak belakang. Aku butuh sendiri. Aku butuh menenangkan diriku yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku harap esok hari, hati dan pikiranku bisa bersahabat kembali.

     Kutatap Wendy sekali lagi sebelum tubuhku benar-benar pergi meninggalkannya bersama rasa sakit yang kutorehkan. Setetes bulir air mata jatuh di pelupuk matanya. Aku tak tega. Ingin kukembali lantas memeluknya. Akan tetapi logikaku  justru menahan langkahku dan menuntunku agar segera pulang.

"Wendy, maafkan aku. Aku terlalu jahat sama kamu". Lirihku yang tak mungkin lagi terdengar olehnya.

     Malam pukul 21:47, aku mendapat notifikasi whatsapp terakhir dari Wendy. Ya, sebelum dia memblokirku dari semua akun media sosialnya.

"Alula, terima kasih atas luka yang telah kamu berikan. Terima kasih juga untuk tujuh tahun telah menjadi teman suka-duka walau nggak berlangsung selamanya. Aku nggak membencimu. Sama sekali enggak. Tapi yang  kamu lakukan tadi itu amat sadis, Alula. Aku nggak habis pikir aja sih, sebegitu ganasnya kamu mencabik-cabik perasaanku. Kamu nggak punya perasaan, Alula. Setidaknya kalau kamu nggak ingin memakainya atau ingin membuangnya, kamu bisa lakukan itu di belakangku. 

Tanpa harus menyakiti  perasaanku. Karma itu berlaku, Alula.  Karma itu pasti ada. Bukan aku mendoakanmu yang tidak-tidak, tapi alam semesta bekerja sesuai huk um yang berlaku di  dalamnya. Maafmu aku terima, Alula. Tapi entah dengan hatiku. Mungkin ini menjadi pesan terakhir yang kukirimkan untukmu, dan pertemuan tadi adalah yang pertama dan terakhir untuk kita berdua. Selamat tinggal, Alula. Dariku, orang yang baru saja kamu sakiti." Begitu isi pesan Wendy yang sukses membuatku menangis semalaman.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun