Pada Maret 1943 sebagai langkah awal pdkt kepada umat Islam, pemerintahan militer Jepang mulai mendirikan shumubu (kantor urusan agama) di ibu kota dan mendirikan shumuka sebagai cabangnya di daerah.Â
Bentuk dari shumubu atau shumuka kalau sekarang mirip-mirp dengan adanya MUI (Majelis Ulama Indonesia) tapi memiliki beberapa peran yang berbeda.Â
Tujuan didirikan shumubu adalah untuk meningkatkan hubungan yang intensif antara Jepang dengan para ulama dan intelektual muslim.
Pemimpin shumubu pada awalnya adalah Kolonel Horie yang merupakan orang Jepang. Pada masa kepemimpinannya terjadi kegagalan untuk mendapatkan simpati dan atensi dari umat Islam.Â
Untuk itu akhirnya Jepang memutuskan unuk mengangkat K.H. Hasyim Asy'ari sebagai ketua yang baru.Â
Tidak hanya berhenti di shumubu, Jepang juga mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943. Pembentukan Masyumi bila ditelaah secara politis itu adalah sebagai wadah dan sarana untuk mengumpulkan gagasan, pemikiran, dan aspirasi politik umat muslim.
Upaya yang Berakhir Senjata Makan Tuan
Namun dalam perjalanannya, pemimpin Masyumi malah menjadikan Masyumi sebagai wadah untuk mengakomodir dan memobilisasi massa dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dan menyebarkan ajaran Islam. Hal ini menjadikan Jepang melakukan blunder yang amat fatal.
Tak jera karena kegagalan yang terjadi terhadap Masyumi, Jepang malah mengizinkan umat Islam untuk mendirikan perkumpulan pemuda Islam yang bernama Hizbullah di bawah kepemimpinan K.H. Zainal Arifin pada tahun 1944. Pendirian organisasi tersebut dilakukan oleh Jepang agar menambah kepercayaan umat Islam kepada pihak Jepang. Â Â Â Â Â Â
Setelah melakukan pendirian Hizbullah, pemerintah Jepang juga mengadakan latihan militer untuk para intelektual, tokoh, dan pemuda Islam.Â
Pembentukan Hizbullah yang dilakukan Jepang adalah sebagai sarana dan wadah eskalasi umat muslim yang akan digunakan untuk kepentingan Jepang.Â