Mohon tunggu...
Miftah Faris
Miftah Faris Mohon Tunggu... mahasiswa -

Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga| Fakultas Syariah dan Hukum| Konsentrasi Keuangan dan Perbankan Syariah

Selanjutnya

Tutup

Money

Perbedaan Mendasar antara Syariah dan Konvensional

6 Juni 2016   09:47 Diperbarui: 6 Juni 2016   10:22 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perekonomian di Indonesia dikuasai oleh dua sistem ekonomi, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi syariah. Perbedaan yang mendasari dari kedua sistem ini adalah pada konsep distribusi kekayaannya. Jika dalam ekonomi konvensional kita mengenal adanya instrumen bunga, dan di ekonomi syariah kita mengenal konsep bagi hasil atau dalam istilah lain disebutkan profit sharing.

Khususnya di dunia perbankan yang merupakan instrumen penting penggerak perekonomian, konsep bunga dan bagi hasil sering digunakan dalam transaksinya. Makalah ini mencoba membandingkan antara konsep bagi hasil dan konsep bunga dari segi teori dan tata cara pembagiannya, serta dari penentuan marginnya. Kemudian makalah ini akan melihat sejauh mana kedua konsep ini selaras dengan tujuan utama syariah yang sudah dirangkum oleh para ulama dalam konsep maqasid as-syariah. Apakah bagi hasil atau bunga yang lebih mendekati maqasid as-syariah?. untuk menjawabnya kita perlu mengetahui apa itu tujuan maqasid syariah dan bagaimana pandanganya terhadap ekonomi islam yang seharusnya. Setelah itu kita bandingkan kedua konsep tersebut untuk mendapatkan gambaran mana yang lebih mendekati dengan maqasid syariah.

Secara etimologi maqashid al-syariahterdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashidadalah bentuk jamak dari maqshud yang berarti kesengajaan, atau tujuan. Sedangkan syari’ahartinya jalan menuju air, atau bisa dikatakan dengan jalan menuju kearah sumber kehidupan. Secara terminologi dapat diartikan sebagai tujuan utama Allah dalam menetapkan suatu syariat dimana didalamnya mencakup kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.[1] Izzuddin ibn Abd as-Salâm, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam, mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat.[2]

Klasifikasi klasik al-Maqasidmeliputi tiga jenjang yaitu, al-Daruriyyat(keniscayaan), al-Hajiyyat(Kebutuhan), al-Tahsinyyat(Kemewahan). Kemudian para ulama membagi al-Daruriyyat(keniscayaan) menjadi lima yaitu, Hifz al-Din (pelestarian agama), Hifz al-Nafs (pelestarian nyawa), Hifz al-Mall (pelestarian harta), Hifz al-Aql (pelestarian akal), Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan). Sebagian ulama menambah Hifz al-Ird(pelestarian kehormatan), untuk menggenapkan kelima al-Maqasid tersebut.

Terkaitdengan perekonomian dalam Islam, selain pada konsep bagi hasil perbedaan secara mendasar terletak padakepemilikan harta dan memproduksi barang-barangyang baik adalah sah menurut Islam. Namun, kepemilikan harta itu bukanlahtujuan akan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untukmewujudkan kemaslahatan umum.

Perintah Bekerja Secara Profesional

Rasulullah sangat menyukai seseorang yang bekerja secara professional dengan tangannya sendiri, dan menentang seseorang yang hanya berpangku tangan dan tidak melakukan apa pun dalam hidupnya. Manusia diperintahkan untuk bekerja dan mencari kehidupan yang layak untuk dirinya dan keluarganya. Penguasaan bumi disarahkan kepada manusia sebagai khalifahnya. Seperti yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah (2); 29-30

Dengan demikian, dalam ajaran islam semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah menciptakan manusia untuk bisa menjadi khalifah didalamnya. Kapasitas manusia di dalama kehidupan ini hanyalah sebagai wakil Allah.

Konsep Istikhlaf dalam Islam

Konsep Istikhlaf bermakna bahwa manusia hanyalah wakil Allah, yang membantu Allah mendistribusikan rezeki-Nya untuk kesejahteraan manusia. Seperti yang dituliskan dalam surat al-Hadid (57):7

Makna istikhlafmenurut beberapa ulama tafsir adalah harta yang ada pada tanganmu adalah harta Allah, Allah menjadikan kamu sebagai wakil-Nya untuk memegang harta tersebut, untuk menikmatinya dan untuk menjadi khalifah-Nya. Sekali-kali harta itu bukanlah harta kamu, karena kamu tudak lebih hanyalah seorang wakil. Maka nafkahkanlah harta tersebut di jalan Allah dan ringankanlah tangan untuk sekedar melaksanakan itu.

Bekerja Untuk Kebaikan

Manusia berhak mencari harta dan menggunakannya untuk berbagai macam kebaikan. Islam membolehkan pencarian harta dengan berbagai macam cara, kecuali jika ada beberapa dalil yang mengharamkannya, karena sebab alasan yang bertentangan dengan ajaran kebaikan dalam Islam. Suatu kaidah fikih menyatakan “Asal segala sesuatu (yang berhubungan dengan muamalat) adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan pengharamannya"

Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat miskin, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok mereka, Islam menganjurkan umatnya yang kaya untuk mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, dan waqaf, untuk membangun perekonomian umat. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat adz-Dzariyat (51): 15-19

Ketika kebutuhan dasar masyarakat miskin sudah tercukupi dengan adanya pengelolaan zakat, infaq, sedekah, dll yang baik dari masyarakat yang kaya. Maka hal ini akan meminimalisasi kejahatan yang disebabkan oleh kemiskinan

Perpindahan Kepemilikan dengan Cara yang Baik

Ketika ada kewajiban untuk menjaga suatu harta, maka tidak dinafikkan lagi bahwa Islam juga memberikan pedoman atas persoalan-persoalan yang terkait dengan hukum kontrak ataupun transaksi yang benar dan salah, yang akan membawa implikasi pada adanya kerelaan dari masing-masing pihak yang bertransaksi. Beberapa aturan dalam berbagai aktivitas ekonomi dan juga pengalihan harta detakankan pada adanya satu tujuan (maqashid), yaitu kemaslahatan. Dalam hal ini Al-qur’an memberi petunjuk pada kita yang tertulis dalam surat an-Nisa’(4): 29-30

ayat tersebut memberikan dampak besar pada perkembangan aktifitas ekonomi Islam.Karena dengan ayat tersebut, manusia akan senantiasa memerhatikan beberapa carayang dipakainya untuk bekerja. Manusia akan senantiasa menghindari cara-carayang tidak baik ketika ingin mendapatkan suatu harta.

REFRENSI

Asyafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah Menurut Al-Syatibi,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 57-60.

Khairul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 125

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun