Perekonomian di Indonesia dikuasai oleh dua sistem ekonomi, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi syariah. Perbedaan yang mendasari dari kedua sistem ini adalah pada konsep distribusi kekayaannya. Jika dalam ekonomi konvensional kita mengenal adanya instrumen bunga, dan di ekonomi syariah kita mengenal konsep bagi hasil atau dalam istilah lain disebutkan profit sharing.
Khususnya di dunia perbankan yang merupakan instrumen penting penggerak perekonomian, konsep bunga dan bagi hasil sering digunakan dalam transaksinya. Makalah ini mencoba membandingkan antara konsep bagi hasil dan konsep bunga dari segi teori dan tata cara pembagiannya, serta dari penentuan marginnya. Kemudian makalah ini akan melihat sejauh mana kedua konsep ini selaras dengan tujuan utama syariah yang sudah dirangkum oleh para ulama dalam konsep maqasid as-syariah. Apakah bagi hasil atau bunga yang lebih mendekati maqasid as-syariah?. untuk menjawabnya kita perlu mengetahui apa itu tujuan maqasid syariah dan bagaimana pandanganya terhadap ekonomi islam yang seharusnya. Setelah itu kita bandingkan kedua konsep tersebut untuk mendapatkan gambaran mana yang lebih mendekati dengan maqasid syariah.
Secara etimologi maqashid al-syariahterdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashidadalah bentuk jamak dari maqshud yang berarti kesengajaan, atau tujuan. Sedangkan syari’ahartinya jalan menuju air, atau bisa dikatakan dengan jalan menuju kearah sumber kehidupan. Secara terminologi dapat diartikan sebagai tujuan utama Allah dalam menetapkan suatu syariat dimana didalamnya mencakup kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.[1] Izzuddin ibn Abd as-Salâm, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam, mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat.[2]
Klasifikasi klasik al-Maqasidmeliputi tiga jenjang yaitu, al-Daruriyyat(keniscayaan), al-Hajiyyat(Kebutuhan), al-Tahsinyyat(Kemewahan). Kemudian para ulama membagi al-Daruriyyat(keniscayaan) menjadi lima yaitu, Hifz al-Din (pelestarian agama), Hifz al-Nafs (pelestarian nyawa), Hifz al-Mall (pelestarian harta), Hifz al-Aql (pelestarian akal), Hifz al-Nasl (pelestarian keturunan). Sebagian ulama menambah Hifz al-Ird(pelestarian kehormatan), untuk menggenapkan kelima al-Maqasid tersebut.
Terkaitdengan perekonomian dalam Islam, selain pada konsep bagi hasil perbedaan secara mendasar terletak padakepemilikan harta dan memproduksi barang-barangyang baik adalah sah menurut Islam. Namun, kepemilikan harta itu bukanlahtujuan akan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untukmewujudkan kemaslahatan umum.
Perintah Bekerja Secara Profesional
Rasulullah sangat menyukai seseorang yang bekerja secara professional dengan tangannya sendiri, dan menentang seseorang yang hanya berpangku tangan dan tidak melakukan apa pun dalam hidupnya. Manusia diperintahkan untuk bekerja dan mencari kehidupan yang layak untuk dirinya dan keluarganya. Penguasaan bumi disarahkan kepada manusia sebagai khalifahnya. Seperti yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah (2); 29-30
Dengan demikian, dalam ajaran islam semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah menciptakan manusia untuk bisa menjadi khalifah didalamnya. Kapasitas manusia di dalama kehidupan ini hanyalah sebagai wakil Allah.
Konsep Istikhlaf dalam Islam
Konsep Istikhlaf bermakna bahwa manusia hanyalah wakil Allah, yang membantu Allah mendistribusikan rezeki-Nya untuk kesejahteraan manusia. Seperti yang dituliskan dalam surat al-Hadid (57):7
Makna istikhlafmenurut beberapa ulama tafsir adalah harta yang ada pada tanganmu adalah harta Allah, Allah menjadikan kamu sebagai wakil-Nya untuk memegang harta tersebut, untuk menikmatinya dan untuk menjadi khalifah-Nya. Sekali-kali harta itu bukanlah harta kamu, karena kamu tudak lebih hanyalah seorang wakil. Maka nafkahkanlah harta tersebut di jalan Allah dan ringankanlah tangan untuk sekedar melaksanakan itu.