Guru Gundul dan Hilangnya Nalar Kritis
Komedian Tukul Arwana memiliki filosofi hidup berwujud  "don't judge a book by its cover." Ungkapan itu artinya jangan menilai buku dari sampulnya, yang bermakna jangan menilai sesuatu hanya dari bagian luarnya. Ungkapan atau pepatah berbahasa Inggris itu dilontarkan Tukul saat memandu acara talkshow berbalut humor.Â
Namun, sayang masyarakat Indonesia, terkhusus netizen/warganet kerap menilai sesuatu berdasar sampul, berdasar apa yang nampak oleh mata.
Ambil contoh masyarakat kita kehilangan nalar kritis menyikapi tragedi susur sungai yang menewaskan 10 siswa SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta. Mereka mencemooh polisi, ketika melihat guru sekaligus pembina pramuka yang menjadi tersangka memakai baju tahanan dan berkepala gundul.Â
Mata netizen terpaku pada penampakan kepala para guru yang plontos alias gundul. Tudingan bermunculan. Polisi dianggap tak beretika. Polisi dituduh menggunduli para tersangka yang notabene seorang pendidik. Tindakan itu diangap tidak manusiawi.
Saya sependapat dengan Iip Wijayanto dalam status Facebook, yang mengatakan jika masyarakat Indonesia lebih suka sesuatu yang bersifat drama sehingga tidak fokus pada akar masalah.Â
Masyarakat berlomba-lomba menjadi opinion leader, penyebar isu pertama, dan pengumpan isu tanpa mencari referensi dan verifikasi dari media online kredibel. Padahal, para tersangka gundul atas inisiatif sendiri. Mari kita simak pernyataan dari salah satu tersangka.
"Ini atas inisiatif kami sendiri, bukan dari polisi. Kami ingin merasa sama dengan tahanan lain, kalau gundul gini kan tidak terlalu mengundang perhatian dari tahanan lain. Kami merasa lebih aman jika sama dengan tahanan lain, baju kami juga sama, kalau sama otomatis saya akan samar," ujar Isfan Yoppy Andrian, guru olahraga sekaligus pembina Pramuka SMPN 1 Turi, Sleman. (harianjogja.com, 26 Februari 2020).
Iip berharap netizen mencurahkan pikiran pada evaluasi K-13 yang mencantumkan Pramuka sebagai ektrakurikuler wajib bagi siswa, dan memberi kesempatan kepada penegak hukum agar menyelesaikan kasus berdasar rasa keadilan.
Kebiasan melihat dan mengomentari bagian luar sangat bertolak belakang dengan nalar kritis. Orang-orang hanya melihat foto tersangka di media sosial dan media online, tanpa membaca, atau bahkan mencari berita pembanding.Â
Lalu, tanpa ragu mem-posting ke media sosial dan menyebar ke beberapa grup WhatsApp. Netizen mulai mencari pembanding. Ada yang membandingkan dengan para koruptor yang tampil rapi, kepala tidak gundul, dan berhaha-hihi di depan kamera.Â
Jika koruptor masih sempat senyam-senyum, petantang-petenteng, dan tidak malu karena ulahnya yang mencuri uang rakyat, itu hak mereka.Â
Namun, jika para guru yang menunduk malu sebab mengakui kesalahan yang berakibat fatal, itu tindakan bertanggung jawab. Agenda pramuka susur sungai di musim hujan bukan hal yang tepat. Pembina Pramuka luput mengamati prakiraan cuaca, satu hal yang mudah dilakukan di era digital dan online.Â
Saya mengamati dari beberapa media online dan media sosial, para pakar pendidikan, organisasi profesi guru, dan masyarakat awam tersulut melihat para guru yang tersangka dan berkepala gundul itu.Â
Polisi dinilai tidak etis karena guru yang sudah jadi tersangka mengenakan baju tahanan dan "digunduli". Hal ini dinilai merendahkan harkat dan martabat guru. Tindakan tersebut juga dianggap melukai hati para guru di Indonesia.
Oke, jika baju tahanan dan gundul sebagai suatu hal tidak etis bagi guru yang notabene pendidik, tetapi sebagai pembina pramuka mereka gagal sebagai pendidik. Mereka bertindak lalai sehingga menyebabkan 10 nyawa muridnya melayang.Â
Tindakan apa yang lebih pantas? Rambut yang gundul bisa tumbuh lagi. Nyawa yang melayang tak bisa kembali, begitu tulis Gunawan Tri Atmodjo dalam status Facebook-nya, dan saya kutip menjadi judul artikel ini.
Era digital menyebabkan seseorang mendapat informasi secara cepat, namun terkadang tidak tepat. Kita mudah tergiur dengan dramatisasi peristiwa yang menjungkirkan logika. Fakta terkadang diabaikan.Â
Hal ini diperparah dengan beberapa media online yang menayangkan berita sepotong-potong, tidak akurat, dan tidak bisa dipercaya. Tak jarang, media justru mengabarkan kejadian dari apa yang dilihat oleh mereka, apa yang dikomentari netizen, tanpa konfirmasi dan merujuk pihak yang bersangkutan. Sesat menyesatkan! (Miv)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H