Namun, jika para guru yang menunduk malu sebab mengakui kesalahan yang berakibat fatal, itu tindakan bertanggung jawab. Agenda pramuka susur sungai di musim hujan bukan hal yang tepat. Pembina Pramuka luput mengamati prakiraan cuaca, satu hal yang mudah dilakukan di era digital dan online.Â
Saya mengamati dari beberapa media online dan media sosial, para pakar pendidikan, organisasi profesi guru, dan masyarakat awam tersulut melihat para guru yang tersangka dan berkepala gundul itu.Â
Polisi dinilai tidak etis karena guru yang sudah jadi tersangka mengenakan baju tahanan dan "digunduli". Hal ini dinilai merendahkan harkat dan martabat guru. Tindakan tersebut juga dianggap melukai hati para guru di Indonesia.
Oke, jika baju tahanan dan gundul sebagai suatu hal tidak etis bagi guru yang notabene pendidik, tetapi sebagai pembina pramuka mereka gagal sebagai pendidik. Mereka bertindak lalai sehingga menyebabkan 10 nyawa muridnya melayang.Â
Tindakan apa yang lebih pantas? Rambut yang gundul bisa tumbuh lagi. Nyawa yang melayang tak bisa kembali, begitu tulis Gunawan Tri Atmodjo dalam status Facebook-nya, dan saya kutip menjadi judul artikel ini.
Era digital menyebabkan seseorang mendapat informasi secara cepat, namun terkadang tidak tepat. Kita mudah tergiur dengan dramatisasi peristiwa yang menjungkirkan logika. Fakta terkadang diabaikan.Â
Hal ini diperparah dengan beberapa media online yang menayangkan berita sepotong-potong, tidak akurat, dan tidak bisa dipercaya. Tak jarang, media justru mengabarkan kejadian dari apa yang dilihat oleh mereka, apa yang dikomentari netizen, tanpa konfirmasi dan merujuk pihak yang bersangkutan. Sesat menyesatkan! (Miv)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H