Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung | Kemarau Sang Perawan (Part 2)

1 Februari 2020   12:25 Diperbarui: 4 Februari 2020   19:00 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: collage of pixabay

Perdebatan sengit terjadi. Padahal, rembug warga di Balai Desa baru berjalan setengah jam. Ini kali pertama rapat digelar membahas rencana pembangunan pabrik semen di bukit Sigit. 

Cerita Sebelumnya:

Kemarau Sang Perawan Part 1

Prasetyo menghadiri undangan rapat mewakili ayahnya. 

Kepala Desa Karmin memimpin rapat. Ia mengatakan bahwa proyek tersebut bertujuan menyejahterakan perekonomian warga sekitar. 

Jika proyek berjalan, maka sudah tentu menyerap tenaga kerja dari warga. Sehingga, para pemuda tak perlu mengais rezeki di kota. 

Selama ini banyak pemuda-pemudi bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pabrik, dan pembantu rumah tangga di kota--kota besar. 

"Kecuali itu, jika dibangun pabrik semen maka pendapatan desa tentu juga meningkat," kata Karmin. 

Maryadi, Ketua Kelompok Tani protes cukup lantang.

"Saya tetap tidak setuju. Coba kita pikir dampak setelah bukit Sigit dijadikan prabrik. Saya tahu persis nasib petani dan warga seperti apa. Apalagi jarak Sigit dengan permukiman warga terlalu dekat. Saya khawatir nantinya terjadi bencana alam dan kakeringan. 

Hutan adalah sumber cadangan air. Sawah adalah sumber kehidupan. Sekarang saja kita kesulitan air bersih. Saya tidak bisa membayangkan jika pabrik semen dibangun, kita bakal lebih susah mencari air," ungkap Maryadi. 

Pak Warsito, kepala proyek angkat bicara. "Warga tak usah khawatir karena nantinya akan mendapat ganti rugi. Kalau takut terjadi longsor kami bisa mengusahakan transmigrasi bedol desa ke Kalimantan atau warga bisa pindah di desa sebelah. Kami nanti akan pasok air bersih." 

Prasetyo tunjuk jari. Ada sesuatu yang ingin ia ungkapan."Saya rasa proyek ini perlu dikaji ulang. Saya tak tahu apakah analisis mengenai dampak lingkungan sudah digodok secara matang atau belum?" 

"Kamu Diam saja, Pras. Enggak perlu ikut campur. Kamu tidak diundang, kenapa datang?" sergah Karim, Ketua Karang Taruna yang mendukung proyek. 

Karim merupakan orang kepercayaan pak lurah. 

"Apa saya tidak punya hak bicara?!" Pras tersulut emosi. 

"Kamu tidak diundang!" balas Karim. 

"Saya tidak diundang. Tapi saya punya hak. Saya datang sebagai wakil bapak saya." 

"Harusnya bapakmu yang datang!" Karim tetap tak mau kalah. 

"Saya punya hak. Saya ahli waris. Saya berhak mempertahankan tanah leluhur!"

"Sabar, Pras. Jangan terbawa emosi." Lik Sutris menghampiri Pras. 

"Piye ora emosi, Lik. Ini bukan cuma soal tanah. Harga diri saya diinjak-injak. Saya dianggap tidak penting. Padahal saya generasi penerus yang akan mewariskan tanah kepada anak cucu kelak." 

"Uwis, uwis. Sudah. Sabar." Mbah Hadi turut menenangkan Pras. 

Pras meminta peserta rapat voting, memutuskan apakah dirinya diperbolehkan sebagai wakil ayahnya. Separuh lebih peserta menyetujui. Pras kembali mengutarakan pendapat yang sempat diinterupsi Karim. 

"Jika bukit Sigit dikepras hampir bisa dipastikan kekayaan hutan hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita. 

"Jika kita amati di area bukit Sigit terdapat potensi wisata alam dan wisata reliji sekaligus. Kita tahu tepat di bawah bukit terdapat Gua peninggalan penjajahan Belanda dan di atas bukit ditemukan makam yang diyakini sebagai murid Sunan Kalijaga. 

Bukankah sejak ditemukan makam itu ratusan muslim berziarah di makam tersebut. Ditambah Sendang Coyo dan Makam Mbah Gabus, itu semua merupakan aset wisata desa kita. Kita bisa bikin paket wisata." 

Prasetyo memandang sekilas ke arah peserta rapat dan pejabat pemerintahan. 

"Kita sudah bisa merasakan dampak pembalakan liar. Saat hujan petani gagal panen karena sawah kebanjiran. Pohon jati berubah bangunan rumah dan mebel mewah kualitas ekspor. 

Sedang ketika kemarau panjang seperti sekarang udara semakin panas dari tahun ke tahun. Hujan tak kunjung turun. Tanaman mati karena kekeringan." 

Lik Sutris menimpali, "kalau hujan tidak turun-turun itu bukan akibat hutan yang gundul, Mas Pras. Itu tak lain karena Anik, perawan yang hamil tanpa suami." 

Prasetyo kaget mendengar Sutris menyebut Nama Anik. Apakah perempuan yang hamil di luar nikah itu adalah Anik, gadis yang selama ini menjadi kekasihnya. Pras shock berat. Ia terdiam tak bisa berkata-kata.

Sutris melirik kearah Pras. "Seluruh warga desa menanggung malu karena hal ini. Anik harus meninggalkan desa agar kita terbebas dari kutukan." 

"Heee, Mas Sutris! Kita ke sini bukan untuk ngrembuk masalah itu." Mbah Hadi menyela, "kalau masalah Anik bisa dibahas lain waktu." (Miv)

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun