Pak Warsito, kepala proyek angkat bicara. "Warga tak usah khawatir karena nantinya akan mendapat ganti rugi. Kalau takut terjadi longsor kami bisa mengusahakan transmigrasi bedol desa ke Kalimantan atau warga bisa pindah di desa sebelah. Kami nanti akan pasok air bersih."Â
Prasetyo tunjuk jari. Ada sesuatu yang ingin ia ungkapan."Saya rasa proyek ini perlu dikaji ulang. Saya tak tahu apakah analisis mengenai dampak lingkungan sudah digodok secara matang atau belum?"Â
"Kamu Diam saja, Pras. Enggak perlu ikut campur. Kamu tidak diundang, kenapa datang?" sergah Karim, Ketua Karang Taruna yang mendukung proyek.Â
Karim merupakan orang kepercayaan pak lurah.Â
"Apa saya tidak punya hak bicara?!" Pras tersulut emosi.Â
"Kamu tidak diundang!" balas Karim.Â
"Saya tidak diundang. Tapi saya punya hak. Saya datang sebagai wakil bapak saya."Â
"Harusnya bapakmu yang datang!" Karim tetap tak mau kalah.Â
"Saya punya hak. Saya ahli waris. Saya berhak mempertahankan tanah leluhur!"
"Sabar, Pras. Jangan terbawa emosi." Lik Sutris menghampiri Pras.Â
"Piye ora emosi, Lik. Ini bukan cuma soal tanah. Harga diri saya diinjak-injak. Saya dianggap tidak penting. Padahal saya generasi penerus yang akan mewariskan tanah kepada anak cucu kelak."Â