Sejak itu saya masih sedikit menulis sembari mengikuti beberapa workshop kepenulisan  di Solo, Jogja dan Semarang, yang infonya saya dapat dari koran dan majalah. Saya juga mulai belajar dari buku-buku yang katanya menulis itu gampang, yang jumlahnya lebih dari 10 judul. Tahun berikutnya  saya juga mulai disibukkan dengan kuliah  dan pekerjaan.
Bulan Januari 2008 saya mengetahui dari sebuah koran, ada agenda sastra yang diadakan buletin sastra Pawon, Satu Tahun Keajaiban Pawon. Saat itu nama buletin tersebut terasa asing di telinga. Karena memang benar-benar tak mengenal satupun penulis di Solo juga penggiat sastra yang nama-namanya ditulis di media.Â
Lalu saya berselancar di google dengan kata kunci Sastra pawon Solo untuk lebih mengakrabkan diri. Berbekal alamat Rumat Sastra, yang dijadikan markas penulis pawon, saya mengirimkan surat, mungkin semacam salam perkenalan lewat kantor pos dan surat tersebut dibalas oleh Joko Sumantri (almarhum), Kordinator Pawon dan pengelola Rumah Sastra lewat email. Versi cetaknya dimuat di Pawon edisi Februari 2008.
Dari Joko Sumantri (Joksum) saya belajar mengelola komunitas harus militan, siap tempur, dan tanpa pamrih. Bergaul dengan para penulis di Pawon membuat saya sadar bahwa berkomunitas itu perlu untuk sekadar menyuntik semangat kreatifitas. Bukan untuk membesarkan nama, karena seperti yang dibilang Ratih, berkomunitas memang perlu, tetapi bukan yang paling penting.Â
Saya kemudian gabung di MejaBolong, tapi setelah komunitas ini "vakum" saya memilih untuk jalan sendiri. Sesekali menghadiri diskusi dari berbagai komunitas mulai dari acara-acara sastra di TBJT, Pawon, HPK (Himpunan Penulis Karanganyar), Balai Soedjatmoko, Alis, dan Alit.
Keinginan untuk berkomunitas membuat saya memutuskan mendirikan Thariqat Sastra Sapu Jagad (TSSJ) akhir tahun 2007. TSSJ hanya sebuah komunitas kecil dan tak ada niat untuk mencetak nama besar, selain keinginan untuk menghidupkan kegiatan sastra di Pesantren Al-Muayyad. Komunitas ini  belum pantas untuk membubuhkan sejarah sastranya di Solo.Â
Kata "Thariqat", yang artinya adalah jalan, sedang kata Sapu Jagad, terinspirasi doa sapu jagad yang memohon keselamatan di dunia dan di akhirat. Harapan saya mereka yang ada di pesantren tak melulu menulis tentang hal-hal yang reliji tetapi menulis dengan aneka rasa dan warna. Saya tak ingin mereka, lebih tepatnya saya sendiri, meminjam istilah Binhad Nurrohmat, menjadi korban kesucian pesantren.
Komunitas ini belum benar-benar berdiri. Karena tak ada pesta launching. Komunitas ini adalah komunitas diskusi dan pencari bakat sastra di lingkup Al-Muayyad. Kegiatan diskusi sering lewat email dan chatting. Biasanya saya menyuruh mereka untuk mengirim tulisan ke email saya, lalu saya menimbang ke media mana tulisan tersebut yang kira-kira berbaik hati memuatnya. Entah itu berupa cerpen atau puisi, entah itu nyastra atau sekelas puisi, meminjam kata-kata dari Bandung Mawardi, Â hanya puisi sekelas "Gombal Mukiyo".
Kadang saya juga tak menolak ketika seorang anggota menyodorkan cerpen yang masih tulisan tangan. Untuk mengirim naskah langsung di kantor  media lokal, bahkan saya harus "nomboki" dengan mengeprint dan membeli amplop, lalu saya harus mengirimnya langsung ke redaksi. Meski saya mengeluarkan uang tapi untuk honor yang diperoleh jika karya dimuat, saya tak pernah meminta dan menerima imbalan dalam bentuk apapun, kecuali ucapan "Terima Kasih".
Siswa-siswi SMA dan MA Al-Muayyad "terprovokasi" menulis puisi dan cerpen. Saya tak mempermasalahkan apa jenis tulisan tersebut. Entah itu tulisan yang khas remaja, atau sastra atau yang berbau reliji. Saya berusaha mengumpulkan tulisan tersebut lalu mengirimkan ke media. Di Angkatan pertama (2007) mula-mula ada seorang siswa yang puisi (remaja)nya dimuat Solopos, lalu di muat Suara Merdeka dan bulletin Matapena Jogjakarta.Â
Saya berharap mereka merentas jalan masing-masing. Saya memposisikan sebagai "penunjuk jalan". Tapi sayang ada di antara mereka memilih berhenti di persimpangan. Setelah mereka lulus, banyak diantara mereka tak tertarik lagi menulis. Ketika saya tanyakan mengapa, banyak yang kepentok sibuk kuliah. Alasan sibuk tersebut yang membuat saya muak. Di tahun berikutnya (2008) saya tak menemukan  siswa yang tahan banting dan sabar ketika mengetahui karyanya tak dimuat media.