Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Koran Minggu, Mantra Penulis, dan Cerpen Linda Christanty

18 Desember 2019   14:12 Diperbarui: 22 Desember 2019   08:38 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang lelaki membaca koran. Sumber: id.lovepik.com

Saya pernah punya kegemaran membolak-balik halaman sastra di koran-koran edisi Minggu. Dari kegemaran  itu saya berjumpa dengan cerpen Perpisahan karya Linda Christanty (Kompas, 2011), perjumpaan awal yang membawa takdir berkali-kali berjumpa dengan cerpen Perpisahan. 

Cinta pada pandangan pertama ternyata tak berlaku bagi saya ketika pertama memandang cerpen Linda itu.

Sudah menjadi semacam ritual tersendiri bagi saya membaca koran Minggu, sambil berharap cerpen saya yang dimuat. Jika tidak berjeda libur nasional saya mengunjungi agen koran di pinggir Jalan Slamet Riyadi, Solo. "Minggu Pagi di Jalan Slamet Riyadi", begitulah saya menamai kegiatan saya ini.

Di samping tempat kerja saya memang terdapat agen koran, tapi Minggu sepertinya membuat si empunya bermalas-malasan sehingga jam setengah delapan atau lebih  baru membuka kiosnya. Sedang saya sudah tak sabar membaca koran Minggu. 

Pukul 6 pagi saya terbiasa mengacak-acak beberapa koran lokal dan nasional untuk sekadar mengecek menu wajib halaman sastra, melihat cerpen, puisi, dan esai. Sambil merapal doa dan mantra saya berharap karya saya dimuat di koran Minggu.

Kalau nasib mujur, cerpen saya atau cerpen karya teman penulis nongol, maka tanpa pikir panjang saya langsung membelinya, sebagai semacam cara pendokumentasian diri.

Jika tidak, maka saya akan membaca judul yang paling menarik dari sekian cerpen, melirik nama cerpenis dan menimbang koran mana yang beruntung menemukan pembeli ecerannya saat itu.

Meski tidak tiap hari, saya sering membaca koran, entah numpang baca di agen sebelah, yang kalau terlampau lama numpang baca terpaksa membeli, atau numpang baca di warung makan yang langganan koran.

Saya tidak fanatik dalam membaca dan membeli koran, karena di samping tidak berlangganan, saya hanya sering membeli koran di hari Minggu dan membeli sesekali di hari biasa.

Saat ini meski saya kurang produktif menulis, tapi ritual mengunjungi agen koran di Minggu pagi dan numpang baca di agen sebelah dan warung masih saya lestarikan.

Mulanya pemilik agen di Slamet Riyadi kurang begitu senang karena semua koran saya bolak-balik. Begitu ia tahu saya adalah penulis yang kadang nama saya tertulis di koran, ia malah bersimpati. 

Minggu yang lain, ia memberi saya kaos gratisan berlogo koran lokal. Bagi saya itu sebuah penghargaan sederhana yang mengharukan dari seorang penjual koran.

Perjumpaan pertama dengan cerpen Perpisahan di Kompas, Juli 2011, sepertinya juga di agen itu. Saya tak membaca rampung dan saya tak ingat membeli Kompas saat itu. Saya yakin pernah menjumpainya karena saya tidak asing dengan ilustrasinya.

Di perjumpaan kedua, barulah saya jatuh cinta dengan cerpen ini. Saya menghadiri Pembukaan Pameran Ilustrasi Kompas di Balai Soedjatmoko (September, 2012). 

Saya mengamati beberapa ilustrasi dan judul cerpen yang dipamerkan. Terus terang saya lebih tertarik mengamati cerpen-cerpennya meski pamerannya sendiri bertajuk ilustrasi.

Ada nama-nama cerpenis dan judul-judul cerpen serta ilustrasi cerpennya. Cerpen Perpisahan salah satunya. Saya hanya membaca sekilas dan belum bisa menangkap makna secara utuh.

Saya menyempatkan diri berjumpa dengan Perpisahan dengan meluangkan waktu membuka situs lakonhidup.wordpress.com. Di situs itu lagi-lagi saya hanya terpaku pada judul (dan ilustrasi), belum mencerna cerpen itu sendiri, belum membacanta hingga rampung.

Cerpen Linda memang berbeda dengan beberapa cerpen(is) Kompas. Ada beberapa cerpen yang sekali baca tiap paragraf sudah bisa dipahami. Saya mesti membaca berulang kali cerpen Perpisahan, menerka pesan dalam cerita sang penulis.

Pertemuan selanjutnya, saya membeli kumcer Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (GPU, 2012). Kumcer ini saya beli karena "terprovokasi" foto profil Facebook Linda Christanty. Saya lupa, sejak kapan saya berteman dengan Linda di Facebook.

Dari 10 cerpen dalam kumcer itu, cerpen Perpisahan lagi-lagi mengusik ingatan saya. Cerpen ini mampu menyisihkan cerpen yang lain.

Pada perjumpaan keempat ini, barulah saya jatuh cinta dengan membaca dengan tamat, sembari mengingat perjumpaan sebelumnya yang nyaris tanpa kesan yang berarti.

Saya masih harus membaca lebih dari sekali. Barangkali karena paksaan dari diri sendiri. Saya jarang menilai sebuah karya lalu menuliskannya, seperti artikel ini. Menulis esai (dan novel) bagi saya adalah puncak tersulit dalam dunia kreatif kepenulisan.

Berbicara judul, menurut saya kurang nendang, akan lebih terasa puitis kalau cerpen ini tidak hanya satu kata. Setiap membuat cerpen saya menghindari membuat judul yang hanya memakai satu suku kata. Terlalu ngirit. Apalagi kalau judulnya sudah terlalu biasa. Bolehlah memakai judul satu kata kalau itu kata yang istimewa.

Di tepi sungai itu (sayang sekali Linda tak menyebutkan nama sungai di cerpen ber-setting Jerman ini) Hans ditemani seorang teman, barangkali perempuan. Saya menduga mereka sedang saling memendam rasa.

Dikisahkan, Hans, berdiri di tepi sungai, mengenang perpisahan atas kematian ibunya. Ia meninggal secara gagah berani, menjemput ajal di ruang kamar yang tenang tempat orang-orang menunggu kematian. Suntikan morfin menghalau rasa sakit  kematian sang ibu, cara yang diinginkan sang ibu.

Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang ketika perpisahan itu benar-benar datang (Cerpen Perpisahan, Linda Christanty).

Di akhir cerpen, perpisahan yang sesungguhnya terjadi. Hans tak pernah lagi berjumpa dengan temannya (si tokoh utama). 

Saya kembali tergoda membaca Perpisahan di lakonhidup.wordpress.com, ternyata beberapa bagian cerpen mengalami sedikit pengeditan di situs. Untuk memastikan kecurigaan, saya kembali menelusuri Perpisahan di cerpenkompas.wordpress.com. Ternyata hasil sama.

Di kumcer Seekor Anjing Mati di Bala Murghab Linda tidak menyebutkan nama sungai, tapi di edisi koran, disebutkan Sungai Spree.

Ada bagian-bagian kalimat cerpen di koran tapi tidak ada dalam kumcer. Saya nukil beberapa potongan kalimat berikut ini.

Ayah sudah punya seseorang sekarang yang dia sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup, kamu terdengar merestui hubungan mereka."
Waktu itu saya panik sekali. Waduh bagaimana ini. Ibu saya kok hidup lagi padahal Ayah saya sudah dengan seseorang. Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan ibu saya dalam hidup ayah.

Juga ada bagian keterangan dalam kumcer yang tidak tertulis di Koran.

Kamu ingat sajak Rilke**)?
Tentang mati? Tentu saja. Ketika seseorang meninggal dia tidak membawa apa pun dari kehidupan ini, bahkan kenangan. Mungkin karena itu tidak ada gunanya kita terlalu sedih. Mereka tidak ingat kita lagi, jawabmu, lirih.
**) Rainer Maria Rilke adalah penyair lirik terkemuka Jerman (1875-1926).

Cerpen Perpisahan memang sederhana dari sisi tema, tapi mampu membuat saya termenung dan mengernyitkan dahi. 

Cerpen ini bisa dikategorikan sebuah surat (curhat?) tapi bahasa terlalu formal, kaku, dan baku.

Tidak saya saja yang merasa kesuliran membaca Perpisahan. Beberapa komentar pembaca di situs juga mengalami gejala yang sama dengan saya; mumet, sulit memahami, dan kesulitan menangkap makna cerpen. 

Bahkan ada yang menduga Linda menulis Perpisahan dalam bahasa Inggris atau Jerman.

"Siapakah Linda Christanty? Sangat sulit untuk memahami cerpen ini, apalagi menemukan makna darinya. Mungkin permasalahan muncul dari pembaca cerpen pemula. Sepertinya cerpen ini ditulis Linda Christanty dalam bahasa inggris atau jerman, ini hanya terjemahan saja. Saya melihat dari kalimat dan bahasa baku yang digunakan. Dan sayangnya tak semua ekspresi bisa diterjemahkan utuh, sehingga menjadikan cerpen ini terasa kosong." (Komentar pembaca di laman cerpenkompas.wordpress.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun