korupsi menjadi calon legislatif (caleg).Â
Kita mesti prihatin terkait putusan Mahkamah Agung (MA) tahun lalu yang meloloskan mantan napiMau jadi apa Indonesiaku jika dipimpin mantan narapidana korupsi? Masih banyak anak bangsa yang lebih layak membangun Indonesia ketimbang mantan koruptor.Â
Mantan napi korupsi seharusnya punya malu. Segeralah mantan napi beli cermin di pasar, becerminlah. Tanya pada hatimu: mau jadi apa negeri ini jika dipimpin orang sepertiku, mantan koruptor?
Undang-undang membolehkan mantan narapidana (napi) kasus korupsi, kejahatan seksual anak dan bandar narkoba mengikuti pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan tanpa perlawanan. Ketua KPU Arief Budiman berharap UU Pilkada (UU 10/2016) direvisi. Sehingga mantan narapida korupsi dan pelecehan seksual pada anak tidak boleh mengikuti pilkada.
Namun, upaya tersebut ditanggapi dingin oleh DPR. Pemerintah setengah hati antikorupsi. Presiden Joko Widodo pun masih basa-basi jika ditanya perihal UU KPK dan Perppu KPK.
Beralasan Pilkada segera diselenggarakananggota dewan yang terhormat tidak punya waktu menggelar sidang revisi. Â (Tirto.id, 6/11/2019)
Mereka yang pernah terjerat kasus korupsi sudah cacat secara moral dan hukum. Lalu, haruskah KPU memgeluarkan syarat bagi calon kepala daerah agar menyerahkan surat kelakuan baik berupa Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Indonesia butuh calon yang bersih dari catatan kriminal, terutama pelaku korupsi dan pelecehan seksual.
Kita saja untuk mencari pekerjaan disyaratkan punya surat kelakuan baik dari kepolisian. Peluang sangat kecil jika seseorang diterima di sebuah perusahaan apabila terbukti terlibat tindak pidana. Menakjubkan, untuk tidak mengatakan menggelikan, jika mantan koruptor diberi kesempatan mengikuti Pilkada.