Mohon tunggu...
Miftachul Khawaji
Miftachul Khawaji Mohon Tunggu... Seniman - Guru

Tukang gambar dan kadang suka nulis.. 👨‍🎓Islamic History and Civilization 2016

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stoa: Vitamin dan Vaksin Hati bagi Para Pencinta

4 Mei 2023   13:00 Diperbarui: 4 Mei 2023   15:09 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Stoa/Stoikisme ialah salah satu madzhab filsafat yang sudah ada sejak era Yunani Kuno. Kini, aliran filsafat itu kembali ramai diperbincangkan khalayak umum, dalam kurun waktu 2-3 tahun belakangan mulai menjamur buku-buku bertemakan Filsafat Stoikisme dalam bahasa Indonesia, setelah sebelumnya hampir sangat sulit menemukan buku-buku yang secara khusus membahas tema ini. 

Animo masyarakat mengenai filsafat madzhab Stoa ini tentu bukan tanpa sebab, sebagian besar orang yang telah mempraktikkan ajaran-ajaran ini merasakan perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupannya. Sehingga tidak sedikit dari para praktisi Stoa tadi yang kemudian berkeinginan untuk membagi ramuan mujarab ini kepada orang-orang lain agar dapat dinikmati lebih luas oleh khalayak umum.

Ajaran-ajaran filsafat Stoa ini mencakup tema-tema kehidupan secara umum yang relevan untuk dipraktikkan sehari-hari, termasuk yang berkaitan dengan aspek 'Cinta' -sebuah diksi yang selalu menjadi perbincangan hangat di setiap masa, baik itu oleh para filosof klasik hingga modern, kalangan tua-muda, kalangan rakyat hingga yang berpangkat.

Ketika membahas mengenai cinta, Stoikisme tetap menggunakan rumus-rumus utama dalam ajaran filsafat ini, seperti Dikotomi Kendali, Premeditatio Malorum, dll. Sehingga kemudian keberadaan Stoikisme sendiri bisa diibaratkan menjadi 'vitamin' sekaligus 'vaksin' bagi para pencinta. Ajaran-ajaran Stoa memiliki fungsi penting bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa serta pikiran manusia sebagaimana fungsi zat vitamin yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. 

Ajaran-ajaran Stoa juga memiliki fungsi untuk meningkatkan kekebalan jiwa dan pikiran dari penyakit-penyakit tertentu sebagaimana fungsi vaksin sebagai antibodi bagi tubuh manusia. Tentu kedua hal ini sangat diperlukan bagi setiap manusia, khususnya bagi para pencinta. Karena betapa agungnya cinta sekalipun, ia memiliki dampak laten yang terkadang mengantar ke akibat-akibat buruk bagi para pelakunya sendiri, orang lain, atau pihak-pihak lain di sekitar para pencinta tadi. Hal ini tentu sudah cukup menjadi bukti bahwa dampak laten yang ditimbulkan oleh cinta merupakan sesuatu yang berada di luar kendali kita, sehingga perlu penanganan khusus agar dampak tersebut tidak menjadi 'penyakit' bagi para pencinta. 

Berikut ini akan dibahas beberapa tips dan cara-cara Stoa dalam mencinta, khususnya sebagaimana fungsinya sebagai vitamin sekaligus vaksin bagi para praktisinya.

Cinta dan Dikotomi Kendali

Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, ada bagian-bagian tertentu dalam cinta yang berada di luar jangkauan kita. Sehingga dibutuhkan kebijaksanaan dalam mengelola respon dan tindakan kita ketika menyikapinya, dalam rangka agar tujuan utama dalam hidup yang berupa kebajikan (virtues) dapat tetap tercapai.

Rasa cinta pada hakikatnya adalah suatu pemberian yang kita sendiri tidak pernah tahu kapan rasa itu akan datang dan kepada siapa rasa itu ditujukan. Jikalaupun kita telah menentukan kepada siapa rasa cinta ini ingin disalurkan, belum tentu orang tersebut membalasnya dengan perasaan yang sama, karena bagaimanapun juga perasaan orang lain sudah jelas merupakan sesuatu yang berada di luar kendali kita.

Jika kita sudah memutuskan untuk menjadi pencinta, maka kita harus memaksimalkan sebaik mungkin hal-hal yang masih berada dalam kendali kita. Misalnya, jika kita naksir seseorang, dan berharap orang tersebut bisa menjadi pendamping hidup kita, maka kita harus berusaha sekuat tenaga agar kita menjadi pendamping hidup yang layak baginya, dengan cara senantiasa memperbaiki dan memantaskan diri, serta tidak hanya mementingkan ego demi kepuasan pribadi. Jika akhirnya pun orang yang kita cintai membalas dengan perasaan yang sama, maka tugas kita adalah menjaga perasaan cinta yang sudah ada dan saling terjalin tadi agar dapat terekspresikan dengan baik dan benar. 

Sehingga kita perlu memperhatikan nilai-nilai moral, susila, hukum, serta agama, agar segala aktifitas kita dalam menyalurkan cinta tetap menuju ke arah yang positif dalam jalur kebajikan. Inilah salah satu contoh fungsi filsafat Stoa sebagai 'vitamin' hati bagi para pencinta, sehingga ketika jiwa dan pikiran para pencinta telah diberi nutrisi yang baik, maka dampaknya pun akan menghasilkan sesuatu yang positif.

Di lain sisi, misalnya pun rasa cinta yang telah kita berikan kepada orang lain itu tak terbalaskan, kita tetap harus menjaga nilai-nilai kebajikan yang sejatinya menjadi tujuan utama hidup. Jangan sampai hanya karena patah hati membuat kita melupakan nilai-nilai kebajikan. Jangan sampai kita lepas kontrol dan berbuat hal-hal yang buruk, seperti marah-marah, sedih yang terus-menerus, putus asa, dan perbuatan buruk lainnya yang justru dapat memperparah keadaan. Di sinilah peran filsafat Stoa sebagai 'vaksin' dibutuhkan, yakni agar kita memiliki kekebalan jiwa dan mental dalam menghadapi situasi terburuk yang menimpa diri kita, termasuk dalam kasus patah hati. 

Tentu hal ini bukan berarti kalau filsafat Stoa mengajari kita untuk membohongi perasaan diri sendiri dengan 'memaksa' untuk menolak rasa sakit yang kita terima, filsafat Stoa justru mengajarkan kepada kita untuk menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan, baik itu rasa sakit dan penderitaan sekalipun. Yang menjadi titik tumpuan ajaran ini adalah bukan dengan menolak takdir, melainkan menerima apa yang terjadi dalam hidup kita disertai dengan cara merespon yang positif, karena bagaimana pun juga respon kita dalam menanggapi hal yang terjadi adalah sesuatu yang ada dalam kendali kita, sehingga seyogyanya kita dapat semaksimal mungkin menyalurkan respon kita secara positif.

Jiwa dan mental yang sudah dibentengi dengan 'vaksin' Stoa tentunya akan menjadi lebih kuat dalam menerima hal-hal buruk yang terjadi. Dengan demikian, para praktisi Stoa yang mengalami patah hati terberat pun seharusnya tetap dapat meneruskan hidup dengan baik sebagaimana hari-hari biasa yang telah dilaluinya sebelum patah hati.

Cinta dan Tantangan Hidup

Kisah cinta memang tidak selamanya berjalan indah. Ada yang perlu dilalui dengan penuh perjuangan. Ada yang sukses dalam berjuang, ada pula yang harus gagal di tengah jalan. Hampir semua orang pasti pernah merasakan yang namanya berjuang menghadapi tantangan dalam hidup, khususnya ketika menghadapi urusan hati. Tidak sedikit kisah cinta seseorang yang harus kandas di tengah jalan karena beberapa faktor, entah karena faktor ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Kisah yang tidak selalu berjalan mulus dan penuh rintangan ini juga menjadikan filsafat Stoa sebagai solusi alternatif yang cocok untuk diimplementasikan.

Setiap rintangan yang kita temui dalam memperjuangkan cinta pada hakikatnya ada untuk menguji seberapa kuat kesiapan dan kelayakan kita untuk menempati 'singgasana' cinta. Rintangan adalah jalan untuk menyeleksi siapa yang pantas dan tidak pantas untuk mengenakan 'mahkota' cinta. 

Bagi mereka yang menganggap rintangan sebagai halangan yang menghentikan langkah perjuangannya, maka ia tak layak disebuat pencinta yang tangguh. Sebaliknya, mereka yang mampu menjadikan rintangan sebagai tantangan yang harus dilampaui dan ditaklukkan, maka ia adalah pejuang cinta sejati. Meskipun tidak semua perjuangan bisa berakhir sesuai keinginan kita, tapi setidaknya kita sudah memaksimalkan apa yang ada dalam kendali kita, yaitu berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.

Perjuangan memang tidak selalu berbuah manis, bahkan terkadang pahitnya dapat melukai hati para pejuangnya. Penolakan dan patah hati dalam cinta misalnya. Bagi yang jiwa dan mentalnya lemah, kesedihan yang mendalam dapat berujung depresi hingga bunuh diri. Berbeda halnya bagi jiwa-jiwa yang telah 'tervaksin' ajaran filsafat Stoa, ia akan tetap tangguh meskipun menghadapi penolakan dan patah hati, bahkan ia bisa menjadikannya sebagai pendorong untuk berdiri lebih tegak lagi sekaligus menjadikannya sebagai batu loncatan agar bisa menjadi orang yang lebih baik di langkah-langkah yang akan ia lalui berikutnya.

Para pejuang Stoa pada umumnya juga menerapkan rumus Premeditatio Malorum atau mempersiapkan diri terhadap hal-hal buruk yang bisa saja terjadi dalam menjalani kerasnya kehidupan. Ini bukan berarti Stoikisme mengajari untuk berpikir negatif, melainkan mengajarkan untuk senantiasa waspada dan mempersiapkan alternatif solusi jika terjadi suatu permasalahan yang sudah diprediksikan sebelumnya. 

Sehingga jikalaupun keburukan tersebut benar-benar terjadi, pejuang Stoa tidak menghentikan langkahnya, melainkan mengalihkan langkahnya menuju jalan-jalan alternatif lain yang masih mungkin ditempuh. Sehingga ketika patah hati atau kekecewaan melanda tidak menjadikan langkah perjuangan terhenti ketika berjalan mengarungi hidup ini.

Semakin sering seseorang menghadapi rintangan dengan berani, akan semakin kuat pula kondisi jiwa dan mentalnya. Tentu hal ini akan menimbulkan dampak positif bagi pelakunya. Meskipun tidak semua perjuangan berhasil terbayarkan sesuai kehendak, tapi setidaknya kondisi jiwa pelakunya akan semakin kuat. Ibarat seorang altet olahraga, semakin berat beban latihan yang ia jalani, maka akan semakin berkualitas pula kondisi fisiknya dalam menghadapi pertandingan-pertandingan yang akan dijalaninya di kemudian hari. Ibarat kata pepatah: 'pelaut yang hebat tidak terlahir dari laut yang tenang'. 

Hal ini sesuai dengan nasihat Marcus Aurelius: 'Jika ada sesuatu yang menghalangimu untuk mencapai tujuan tepat waktu, itu adalah kesempatan untuk melatih kesabaran. Jika seseorang menyakitimu, itu adalah kesempatan untuk berlatih memaafkan. Jika ada sesuatu yang sulit merintangimu, itu adalah kesempatan untuk menjadi lebih kuat.'

Cinta, Indah Namun Tak Abadi

Salah satu pola yang pasti dalam kehidupan adalah 'kematian'. Di dunia yang fana ini tidak ada yang benar-benar abadi. Segala sesuatu memiliki durasinya, termasuk kehidupan itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi jika kehilangan sesuatu yang kita cintai (entah itu kekasih, pasangan, orang tua, anak, saudara, sahabat karib, benda-benda kesayangan, dll) adalah salah satu mimpi paling buruk dalam kehidupan manusia. Sebesar apapun rasa cinta kita terhadap orang-orang atau benda yang kita sayangi tidak cukup untuk membuat keberadaan fisik mereka untuk bertahan selamanya di sisi kita. Atau sebaliknya, bisa jadi kita sendiri yang terlebih dahulu meninggalkan orang-orang yang kita cintai.

Kematian sendiri memang termasuk suatu hal yang di luar kendali kita sebagai manusia. oleh karenanya, dalam ajaran filsafat Stoa juga menekankan bahwa kematian bukanlah perkara yang harus ditakuti. Justru kita bisa menggunakannya sebagai pengingat agar kita tidak berbuat buruk yang menyalahi nilai-nilai kebajikan, karena sewaktu-waktu kita ataupun orang yang kita cintai bisa meninggalkan dunia ini, sehingga alangkah baiknya kita memanfaatkan kesempatan hidup ini dengan sebaik mungkin. Khususnya memanfaatkan waktu untuk bersama-sama dengan orang-orang yang kita cintai. 

Misalnya, sesibuk apapun kita bekerja, jangan sampai membuat kita kehilangan waktu untuk sekedar berkomunikasi dan bercanda ria dengan orang orang terkasih kita. Orang yang rajin mengonsumsi 'vitamin' Stoa, ketika dalam menghadapi tema kematian, ia akan senantiasa berkembang jiwa dan mentalnya ke arah yang positif.

Dan pada akhirnya jika kematian orang-orang tercinta kita telah ditakdirkan untuk tiba, maka tak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain menerimanya dengan tabah. Orang yang telah di-'vaksin' Stoa, akan tetap tabah dan kuat ketika kematian orang-orang tercintanya datang. Karena jika kita sadar bahwa kematian adalah hal yang pasti akan terjadi, maka seyogyanya kita juga sudah terlebih dahulu mempersiapkan mental untuk menghadapinya dengan rumus premeditatio malorum. 

Dengan demikian, kematian orang-orang tercinta tidak seharusnya membuat kita bersedih yang berlebihan hingga akhirnya putus asa dan mengeluarkan mantra 'sehidup semati', alias keinginan untuk segera menyusul orang yang kita cintai dengan cara bunuh diri.

Dengan adanya kematian ini, seharusnya mengingatkan kita bahwa waktu yang kita miliki di dunia ini terbatas, sehingga kita seyogyanya memanfaatkan kesempatan yang ada untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin. Karena hidup itu bukan tentang seberapa panjang usia kita, melainkan seberapa baik kualitas waktu yang kita habiskan di dunia. Bisa jadi seseorang berusia sangat panjang, tapi ia tidak pernah meluangkan waktunya untuk orang-orang yang ia cintai, maka kehidupan panjang yang ia miliki akan lebih banyak hampanya.

Berbeda dengan orang yang meskipun diberi usia yang relatif pendek tapi ia dapat memanfaatkannya dengan baik, maka ia akan tetap bahagia terhadap takdir dan ketetapan atas usianya yang pendek itu, karena kuncinya ada pada kualitas, bukan kuantitas. Hal tersebut tentu senada dengan nasihat dari Seneca berikut: 'Hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana cara menggunakannya... Kita tidak diberikan hidup yang pendek, tetapi kitalah yang menjadikannya pendek... dan terbuang untuk hal yang sia-sia.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun