Mohon tunggu...
Miftachul Khawaji
Miftachul Khawaji Mohon Tunggu... Seniman - Guru

Tukang gambar dan kadang suka nulis.. 👨‍🎓Islamic History and Civilization 2016

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stoa: Vitamin dan Vaksin Hati bagi Para Pencinta

4 Mei 2023   13:00 Diperbarui: 4 Mei 2023   15:09 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di lain sisi, misalnya pun rasa cinta yang telah kita berikan kepada orang lain itu tak terbalaskan, kita tetap harus menjaga nilai-nilai kebajikan yang sejatinya menjadi tujuan utama hidup. Jangan sampai hanya karena patah hati membuat kita melupakan nilai-nilai kebajikan. Jangan sampai kita lepas kontrol dan berbuat hal-hal yang buruk, seperti marah-marah, sedih yang terus-menerus, putus asa, dan perbuatan buruk lainnya yang justru dapat memperparah keadaan. Di sinilah peran filsafat Stoa sebagai 'vaksin' dibutuhkan, yakni agar kita memiliki kekebalan jiwa dan mental dalam menghadapi situasi terburuk yang menimpa diri kita, termasuk dalam kasus patah hati. 

Tentu hal ini bukan berarti kalau filsafat Stoa mengajari kita untuk membohongi perasaan diri sendiri dengan 'memaksa' untuk menolak rasa sakit yang kita terima, filsafat Stoa justru mengajarkan kepada kita untuk menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan, baik itu rasa sakit dan penderitaan sekalipun. Yang menjadi titik tumpuan ajaran ini adalah bukan dengan menolak takdir, melainkan menerima apa yang terjadi dalam hidup kita disertai dengan cara merespon yang positif, karena bagaimana pun juga respon kita dalam menanggapi hal yang terjadi adalah sesuatu yang ada dalam kendali kita, sehingga seyogyanya kita dapat semaksimal mungkin menyalurkan respon kita secara positif.

Jiwa dan mental yang sudah dibentengi dengan 'vaksin' Stoa tentunya akan menjadi lebih kuat dalam menerima hal-hal buruk yang terjadi. Dengan demikian, para praktisi Stoa yang mengalami patah hati terberat pun seharusnya tetap dapat meneruskan hidup dengan baik sebagaimana hari-hari biasa yang telah dilaluinya sebelum patah hati.

Cinta dan Tantangan Hidup

Kisah cinta memang tidak selamanya berjalan indah. Ada yang perlu dilalui dengan penuh perjuangan. Ada yang sukses dalam berjuang, ada pula yang harus gagal di tengah jalan. Hampir semua orang pasti pernah merasakan yang namanya berjuang menghadapi tantangan dalam hidup, khususnya ketika menghadapi urusan hati. Tidak sedikit kisah cinta seseorang yang harus kandas di tengah jalan karena beberapa faktor, entah karena faktor ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Kisah yang tidak selalu berjalan mulus dan penuh rintangan ini juga menjadikan filsafat Stoa sebagai solusi alternatif yang cocok untuk diimplementasikan.

Setiap rintangan yang kita temui dalam memperjuangkan cinta pada hakikatnya ada untuk menguji seberapa kuat kesiapan dan kelayakan kita untuk menempati 'singgasana' cinta. Rintangan adalah jalan untuk menyeleksi siapa yang pantas dan tidak pantas untuk mengenakan 'mahkota' cinta. 

Bagi mereka yang menganggap rintangan sebagai halangan yang menghentikan langkah perjuangannya, maka ia tak layak disebuat pencinta yang tangguh. Sebaliknya, mereka yang mampu menjadikan rintangan sebagai tantangan yang harus dilampaui dan ditaklukkan, maka ia adalah pejuang cinta sejati. Meskipun tidak semua perjuangan bisa berakhir sesuai keinginan kita, tapi setidaknya kita sudah memaksimalkan apa yang ada dalam kendali kita, yaitu berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.

Perjuangan memang tidak selalu berbuah manis, bahkan terkadang pahitnya dapat melukai hati para pejuangnya. Penolakan dan patah hati dalam cinta misalnya. Bagi yang jiwa dan mentalnya lemah, kesedihan yang mendalam dapat berujung depresi hingga bunuh diri. Berbeda halnya bagi jiwa-jiwa yang telah 'tervaksin' ajaran filsafat Stoa, ia akan tetap tangguh meskipun menghadapi penolakan dan patah hati, bahkan ia bisa menjadikannya sebagai pendorong untuk berdiri lebih tegak lagi sekaligus menjadikannya sebagai batu loncatan agar bisa menjadi orang yang lebih baik di langkah-langkah yang akan ia lalui berikutnya.

Para pejuang Stoa pada umumnya juga menerapkan rumus Premeditatio Malorum atau mempersiapkan diri terhadap hal-hal buruk yang bisa saja terjadi dalam menjalani kerasnya kehidupan. Ini bukan berarti Stoikisme mengajari untuk berpikir negatif, melainkan mengajarkan untuk senantiasa waspada dan mempersiapkan alternatif solusi jika terjadi suatu permasalahan yang sudah diprediksikan sebelumnya. 

Sehingga jikalaupun keburukan tersebut benar-benar terjadi, pejuang Stoa tidak menghentikan langkahnya, melainkan mengalihkan langkahnya menuju jalan-jalan alternatif lain yang masih mungkin ditempuh. Sehingga ketika patah hati atau kekecewaan melanda tidak menjadikan langkah perjuangan terhenti ketika berjalan mengarungi hidup ini.

Semakin sering seseorang menghadapi rintangan dengan berani, akan semakin kuat pula kondisi jiwa dan mentalnya. Tentu hal ini akan menimbulkan dampak positif bagi pelakunya. Meskipun tidak semua perjuangan berhasil terbayarkan sesuai kehendak, tapi setidaknya kondisi jiwa pelakunya akan semakin kuat. Ibarat seorang altet olahraga, semakin berat beban latihan yang ia jalani, maka akan semakin berkualitas pula kondisi fisiknya dalam menghadapi pertandingan-pertandingan yang akan dijalaninya di kemudian hari. Ibarat kata pepatah: 'pelaut yang hebat tidak terlahir dari laut yang tenang'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun