Mohon tunggu...
miftaamar
miftaamar Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Euthanasia dalam Pandangan Keperawatan

21 November 2024   11:32 Diperbarui: 21 November 2024   11:34 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Definisi Euthanasia dalam Keperawatan

Euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos yang berarti “eu” adalah “tanpa rasa sakit”, dan “thanatos” adalah “kematian”, Euthanasia diartikan mati dengan baik. Menurut Suetonis penulis asal Yunani, euthanasia merupakan teknik medis yang diberikan guna meringankan penderitaan klien dengan cara mempercepat kematian. Berdasarkan study ikatan dokter Belanda, Euthanasia merupakan tindakan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup dan mempercepat kematian. Euthanasia merupakan praktik yang mempercepat kematian pasien dalam kondisi terminal agar tidak menderita terlalu lama. Menurut hukum, euthanasia dianggap sebagai pembunuhan dan merupakan tindakan yang disengaja untuk mengakhiri kehidupan seseorang (Krisnalita, 2022). Tindakan euthanasia dilakukan dengan syarat kehidupan pasien sudah tidak bisa diharapkan, Potensi sembuh yang rendah, dan keadaan pasien berada pada “in a persistent vegetative state”. Menurut Commissie euthanasia dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: (1) Vrijwillige Euthasia yang berarrti euthanasia dilakukan atas permintaan pasien; (2) Onvrijwillege Euthasia, Pasien tidak melakukan permintaan secara nyata dan bersungguh-sungguh; (3) Passive Euthasia yaitu Tindakan memperpanjang hidup pasien tanpa melakukan perbuatan dan tidak menggunakan alat; (4) Active Euthasia, Tindakan mempercepat kematian menggunakan perbuatan dan alat (Herawati, 2019).

Euthanasia menjadi pilihan oleh pasien yang mengalami kondisi terminal yang berarti pasien dalam keadaan menderita penyakit stadium lanjut yang bersifat progresif sehingga pengobatan yang dilakukan hanya untuk menghilangkan keluhan dan memperbaiki kualitas hidup. Euthanasia dapat terjadi pada pasien dengan kondisi yang tidak sadarkan diri sampai pada waktu yang belum diketahui pastinya dengan tetap membutuhkan perawatan medis yang menghabiskan biaya perawatan tinggi untuk mempertahankan hidup (Septiana et al., 2017). Euthanasia kerap menjadi keputusan akibat hilangnya harapan pasien karena penderitaan yang tak tertahankan dan menjadi keputusan inti dari kelelahan mental pasien tersebut. Pasien menginginkan kebebasan untuk membuat pilihan mereka sendiri dengan rasa hormat berdasarkan nilai otonomi kebebasan karena telah berjuang menghadapi kesulitan. Euthanasia memproyeksikan kehidupan masa depan pasien yang terbebas dari penderitaan sambil menjalani kehidupan di masa kini dengan perasaan yang diakui sehingga menjadikan euthanasia sebagai cara mengakhiri hidup yang disengaja dengan bantuan medis. (Leboul et al., 2022).

Moral dan Etik Euthanasia dalam Pandangan Keperawatan

Euthanasia menjadi dilema moral dan etik karena dihadapkan dengan pilihan sulit antara menuruti atau menolak permintaan dari pihak yang berkaitan untuk melakukan praktik. Menurut Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), euthanasia memiliki tiga pengertian, yaitu: (1) berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan buat yang beriman dengan nama Allah di bibir; (2) ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang; dan (3) mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya. Pelaksanaan euthanasia dibedakan menjadi dua yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 344, euthanasia dikenal dalam satu bentuk voluntary euthanasia yang berarti euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri (Suryadi & Kulsum, 2018). Pada pasal 11 kode etik kedokteran tahun 2012 “setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani” yang mengharuskan setiap dokter memahami kondisi manusia dari tahap perkembangan hingga kematian untuk menghormati dan melindungi kehidupan pasien serta mencegah tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya. (Fachrezi & Michael, n.d.)

Penelitian menurut (Pesut et al., 2020) perawat memerlukan pengetahuan terkait isu moral dan etika untuk terlibat daam pelaksanaan euthanasia terkait denga praktik keperawatan. Masalah etika dan moral perawat dianggap penting karena perawat bertanggung jawab sebagai pemberi perawatan yang paling dekat dengan pasien namun tidak memiliki kekuatan penuh dalam mengambil keputusan melakukan euthanasia. Penelitian menurut (Gerson et al., 2020) Perawatan paliatif dilegalkan dalam membantu kematian berdasarkan dengan kebijakan, pedoman, dan praktik individu, namun tetap menggunakan pendekatan utama memberikan perawatan secara holistic untuk pasien sakit parah tanpa mempercepat atau menunda kematian. Menurut penelitian oleh (Bos et al., 2021) penderitaan dianalisis dan dikategorikan menjadi 4 diantaranya yaitu, penderitaan fisik, prikologis, sosian, dan eksistensial. Empat kategori penderitaan tersebut menjadi factor permintaan euthanasia yang sebenarnya. Penderitaan tak tertahankan dalam permohonan euthanasia menjadi pengalaman pribadi yang tidak terkendali dan tidak tertahankan serta memberikan ancaman terhadap kehidupan pasien yang melebihi kapasitas daya tahan seseorang.

Hukum dan Kebijakan Euthanasia

Euthanasia bukan masalah baru dalam pandangan medis, etis, yuridis, dan agama yang masih mengundang pro dan kontra di berbagai negara termasuk indonesia. Di Indonesia, euthanasia belum diatur secara jelas mengenai praktik yang berlaku dan dapat mengakibatkan jerat karena sulit untuk menilai tindakan sesuai dengan hukum perdata sebagai tolak ukur sebuah perbuatan (Siregara, 2020). Euthanasia diperbolehkan secara hukum di Belgia dan dinyatakan sejalan dengan perawatan paliatif yang baik untuk pasien dengan kondisi terminal. Pasien dengan kondisi non-terminal memenuhi syarat hukum praktik euthanasia dengan masa tunggu 1 bulan Layanaan paliatif di Beligia menyatakan bahwa pada sebagian besar kasus dengan praktik euthanasia perawatan paliatif terlibat 70,9% meminta euthanasia dan 59,8% seluruh kematian akibat pengambilan keputusan dalam melakukan euthanasia. Perawatan palitif dilibatkan dalam konsultasi mengenai permintaan dengan hak otonomi pasien. (Dierickx et al., 2018)

Pasal 344 KUHP berbunyi “Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa euthanasia harus dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri secara nyata dan bersungguh-sungguh dibuktikan dengan adanya saksi dan alat bukti lain. Pada tanggal 5 Mei 1980, Declaratio de Euthanasia SC Pro Doctrine Fidei, menyatakan “ Tak seorangpun boleh melakukan permintaan tindakan mematikan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang dipercayakan kepada tanggung jawabnya”. Demikian pula kode etik profesi menyatakan “ Betapapun kuatnya keinginan pasien untuk mati, dokter tetap tidak boleh melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien tersebut, maksudnya dokter tidak dibenarkan melakukan tindakan kedokteran yang bermaksud membunuh pasien”. (Flora, 2022)

Pada pasal 388 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun". Pasal 340 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun". Pasal 345 KUHP menyatakan "dengan sengaja, menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun". Pasal 359 KUHP berbunyi "Barangsiapa yang karena salahnya telah menyebabkan meninggalnya orang lain. Dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima tahun, atau dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun". Pasal tersebut menjadikan euthanasia masih diragukan “legalitasnya” sehingga menimbulkan pro dan kontra. Pada pasal 461 KUHP yang merupakan penjabaran dari pasal 344 KUHP mengatur euthamasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri dengan bershungguh-sungguh dan tetap diancam pidana berdasarkan banyak pertimbangan dikarenakan bertentangan dengan hukum hak dan nilai hidup. Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights menyatakan euthanasia bertentangan dengan hak untuk hidup (Siregara, 2020).

Hasil Penelitian Terkini Mengenai Euthanasia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun