Mohon tunggu...
Miftah Safitri
Miftah Safitri Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang manusia yang ingin menjelajahi dunia

seorang manusia biasa yang masih belajar menulis blog: mifta-andromeda.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pedagang Asongan dan Sebuah Perdebatan

2 Juli 2018   11:42 Diperbarui: 2 Juli 2018   11:40 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Roti goreng nduk. Monggo harganya 1000 saja", ia mengelapi rambut dan wajahnya dengan sebuah handuk kecil yang usang sembari membuka sebuah kotak bening dimana roti goreng yang masih hangat siap untuk di santap lidah.

"Saya beli 5 ya pak, ini uangnya", seruku dengan menyodorkan uang kertas berwarna kuning bergambar Dr. K.H Idham Chalid.

Ia mengambilkan lima buah roti goreng dan memasukkannya dalam sebuah plastik putih dan mengikatnya rapat agar tak terkena rintik-rintik  hujan gerimis yang berhembus bersama angin. Sesekali ia batuk-batuk dan menutupinya dengan tangan kiri.

"Kelas berapa nduk sampeyan?", ia melempar tanya padaku secara tiba-tiba.

"Sudah lulus pak", jawabku singkat. Aku tak ingin mengingat dan membahas topik perdebatan dengan ayahku tadi sejenak.

"Lebih baik kuliah saja nduk kalo mampu. Di zaman sekarang cari pekerjaan susah. Minimal lulusannya kalo tidak D3 ya S1. Yah, meskipun seperti saya ini hanya jualan roti goreng Alhamdulillah anak saya bisa kuliah dengan biaya bantuan dari pemerintah untuk orang kurang mampu seperti saya ini", perkataannya bak petir yang menyambarku lagi dan mengetuk pintu hati dengan keras. Sedang, aku bergeming dan diam seribu bahasa. Ia mengeluarkan handuk kecil usangnya lagi, tapi kali ini untuk mengelap tangannya yang kecipratan gerimis.

"Setiap orang tua pasti pingin anaknya lebih baik dari dirinya. Saya tidak ingin anak saya sengsara seperti saya yang hanya berjualan gorengan", lanjutnya dengan nada lembut dan mengulur senyum padaku.

"Iya pak, terima kasih untuk masukannya", ucapku dengan nada setengah gagu dan terbata-bata. Aku hanya berucap sekenaku. Pikiranku bertambah semrawut dan mulai meraba-raba setiap perkataan yang dilontarkan bapak tua penjual gorengan ini.

Kemudian percakapan kami diakhiri dengan kepamitannya untuk berjualan kembali dan berterima kasih telah membolehkannya untuk berteduh. Lalu ia meminta diriku untuk turut serta mendoakannya agar roti gorengnya cepat habis. Aku pun mengamininya dan memperhatikan beliau yang mulai mengayuh sepeda ontel tuanya disertai mengucap basmalah. Aku terus memperhatikan bapak tua itu hingga tubuhnya larut bersama rintik-rintik gerimis yang masih mengguyur pelataran rumahku.

Kedatangan pak tua tadi bagiku layaknya seorang malaikat yang datang memberi sebuah pesan tersurat padaku untuk melanjutkan studiku. Aku harus merubah mindsetku yang awalnya berorientasi untuk segera bekerja membantu ayah berganti untuk studi lanjut dengan kuliah. Toh, aku bisa menyambi kerja sambil kuliah. Atau membuat kerajinan-kerajinan unik kemudian dijual. Ayahku mungkin saat ini hanya menginginkan aku untuk kuliah agar aku dapat belajar tentang dunia luar sebelum aku benar-benar memasukinya. Toh, kuliah itu juga demi kebaikanku sendiri.

"Ana, mau kuliah yah. Ana ingin jadi seorang sarjana yang dapat membantu orang lain yang kesusahan", ucapku pada ayah yang sedang duduk di sebuah kursi kayu coklat di depan rumah dengan membaca koran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun