Mohon tunggu...
Money

Hukum Transaksi Gharar dalam Ekonomi

6 Maret 2018   22:59 Diperbarui: 6 Maret 2018   23:14 2846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam kegiatan perekonomian, transaksi merupakan salah satu cara untuk mengalihkan kepemilikan. Cara ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok. 

Semula, ketika masyrakat belum mengenal simbol-simbol pertukaran, seperti uang, transaksi masih berjalan dalam bentuk yang sederhana, yaitu barter. Sekalipun masih tetap berlaku dalam masyarakat yang sederhana, kurang bisa diterima oleh perkembangan pasar. 

Bahkan, Afzalur Rahaman mengatakan, Nabi saw. Bersabda " melarang beberapa bentuk pertukaran yang tidak seimbang karena menimbulkan praktek riba yang jelas dilarang dalam islam."

Larangan Nabi Muhammad terhadap aneka bentuk pertukaran mengundang kalangan ahli fiqih untuk bersikap lebih hati-hati dalam memaknai transaksi.Sehingga wajar jika definisi transaksi muncul dengan redaksi yang berbeda-beda. 

Ulama Syfi'iyah, sebagaimana yang dikutip oleh al-Jaziri, mengatakan bahwa transaksi adalah pertukaran harta dengan cara tertentu. Bagi ulama madzhab Hanafi, transaksi dimaknai sebagai sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain berdasarkan cara tertentu atau pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain yang disukai dalam takaran yang sebanding berdasarkan cara tertentu. 

Sedangkan menurut Sabiq, transaksi merupakan pertukaran harta dengan harta yang lain atas dasar kerelaan.
Dari aneka presepsi dapat disimpulkan bahwa transaksi memiliki cakupan makna yang luas yang tidak hanya menyangkut jual beli tetapi juga menyangkut pertukaran antara satu benda dengan benda yang lain. 

Krenanya, transaksi dalam kajian fiqih juga menyentuh seluruh kegiatan bisnis termasuk keuangan. Dalam kegiatan bisnis, transaksi tidak selalu benar dan mencerminkan kehalalan, tetapi juga sering menampilkan wajah yang salah dan dilarang. Transaksi yang merefleksikan unsur gharar dipandang sebagai transaksi yang tidak benar, dan karenanya, "haram" untuk dilaksanakan. 

Ketidakpastian yang inheren dalam transaksi gharar akan menyentuh kemungkinan " untung" atau "rugi", "tidak untung dan tidak rugi", bahkan hanya "untung bagi satu pihak" dan "rugi bagi pihak yang lain". Probabilitas ini memang merupakan risiko yang sering dihadapi oleh setiap bisnis apapun. Dalam transaksi keuangan pun tidak bisa terhindar sama sekali dari kemungkinan risiko. Entitas " gharar" dan "risiko" merupakan komponen yang sulit dipisahkan bahkan maknapun sulit untuk dibedakan, karena kedua-duanya sering mencirikan ketidakpastian

Gharar merefleksikan unsur al-qimar yang berarti satu pihak "untung" dan sementara pihak lain "dirugikan". Dalam konteks ini Zarqa mengatakan bahwa unsur gharar menimbulkan al-qimar. Karena al-qimar, menurut Zarqa, sama dengan maysir, maka, bagi Husain Hamid, akad maysir merupakan akad gharar yang secara nyata tidak paralel bahakan dikutuk oleh al- Quran. 

Kata gharar secara leksikal, bila ditelusuri dalam al-Quran, memang tidak menunjukkan konsep memadai. Ini bukan berarti bahwa makna substantif gharar lepas dari perhatian al-Quran. Mengingat istilah gharar kerap mewujud dalam ranah mu'amalah, maka kemudian fuqaha, melalui ekplorasi ijtihadnya, mampu memaknai tema gharar dalam pengertian yang cukup jelas. Kejelasan makna tersebut akan memberikan bukti bahwa al-Quran, sebagai sumber utama hukum islam
Pengetian Gharar.

Secara lughawi,gharar dimaknai secara al-khatr dan al-taghrir yang berarti suatu penampilan yang menimbulkan kerusakan, atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan, namun dalam realitasnya justru memunculkan kebencian. 

Dari pemaknaan ini, bisa dipahami bahwa al-dunya` mata`al-ghuru`, dunia adalah kesenangan yang menipu. Atas dasar makna yang dikandung oleh surat 3 ayat 185 ini, maka kemudian Wahbah al- Zuhali` mengatakan bahwa gharar adalah al-khida` (penipuan), yaitu suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.

Sedangkan dalam pengertian istilahi`, al-Zuhayli`mendefinisikan gharar atasdasar aneka konsep yang ditawarkan oleh para fuqaha, yaitu; a) al-Sarkhsi`, dari madzhab Hanafi, berpandangan bahwa gharar adalah , yaitu sesuatu yang tersembunyi akibatnya, b) al-Qara`fi, dari kalangan madzhab Maliki, mengatakn bahwa asl al-gharar huwa al-ladhi` la yudra` hal yuhsal am la` ka al-tayr fi` al-hawa` wa al-samak fi` al-ma`', yaitu sesuatu yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak, seperti burung di udara dan ikan di air, c) Shi`ra`zi`, seorang ulama yang bermadzhab Syafi'i, berkata bahwa gharar adalah ma` intawa` 'anhu amruh wa khafiya 'alayh 'a`qibatuh, adalah sesuatu yang urusannya tidak diketahui dan akibatnya tersembunyi, d) Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa gharar bermakna al-majhu`l al- a`qibatuh, yaitu tidak diketahui akibatnya.

Sedangkan didalam kontrak bisnis gharar dimaknai melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Dalam segala situasitersebut, di situ selalu hadir unsur risiko. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended mengandung unsur gharar.

Konsep gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok:1. Kelompok pertama adalah unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas
danketidakpastian secara dominan.

2. Sedangkan kelompok kedua unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan
ataukejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Kitab suci al-Qur'an dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain, hal itu mungkin dalam bentuk penipuan atau kejahatan, atau memperoleh keuntungan dengan tidak sewajarnya atau risiko yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau sejenisnya.
  ( 152)
Artinya: Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan   beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (Al-An'aam :152)
 . . . (: 1-5)
Artinya: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang
apabilamenerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakaratau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah
orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar.  (Al-Muthaffifin:1-5)
"Cara-cara yang haram" termasuk segala cara yang keliru yang tidak sesuai dengan hukum-hukum islam serta ajarannya dilakukan dengan salah dan tak bermoral. "Bisnis" mencakup semua transaksi yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan, seperti dalam perdagangan, komersial, industri dan sebagainya. "Persetujuan Mutual" yang dimaksud yaitu bahwa transaksi-transaksi itu harus dilakukan berdasarkan persetujuan semau pihak dan bukan berdasarkan paksaan atau kecurangan. Misalnya, meskipun ini termasuk dalam mutual agreement dalam menentukan bunga dan penyuapan, tetapi secara meyakinkan bahwa pihak yang dirugikan dipaksa oleh suatu keadaan untuk menyetujui terhadap transaksi yang dihadapinya. Dalam perjudian, setiap peserta diperdaya oleh harapan-harapan yang menyesatkan akan "kemenangan". Tak seorangpun yang menyetujui judi jika mereka tahu bahwa mereka akan diperdaya.
Hukum Gharar
Dasar pengambilan hukum atas segala sesuatu dalam syariat Islam harus jelas bentuk dan kriterianya, sehingga penetapannya akan mendapatkan suatu kepastian untuk menempatkan boleh atau tidaknya untuk dilakukan, dan dapat dijadikan sandaran hukum.
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu didasarkan atas hasil dari presepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan gharar, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah berbagai transaksi yang dianggap sebagai bentuk transaksi gharar dan mampu untuk menjelaskan tentang hukum-hukumny, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti dari transaksi-transaksi yang disyariatkan.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa pelarangan terhadap transaksi gharar didasarkan kepada larangan Allah swt atas pengambilan harta/hak milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan (bathil). Menurut Ibnu Thaimiyah di dalam gharar terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menyandarkan pada firman Allah swt, yaitu: " Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartaitu kepada hakim, supaya yang kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS. Al-Baqarah:188). " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta  sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang  berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS.An-Nisa':29)
Begitupun dalam hadistnya, Rasulullah saw telah melarang jual beli al-hashas dan jual beli gharar. Jual beli gharar menurut Imam as-Sa'adi termasuk dalam kategori perjudian yang sudah jelas keharamannya dalam nash al-Qur'an.
Bentuk-Bentuk Jual Beli Gharar
Menurut ulama fiqih, bentuk- bentuk gharar yang dilarang adalah :
Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada (bai'ul ma'dum). Semisal: Menjual janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya. Contoh lain adalah menjual ikan yang masih dalam air (tambak).
Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.                                                              Akad semacam ini mengandung gharar, karena terdapat kemungkinan rusak atau hilang obyek akad, sehingga akad jual beli pertama dan yang kedua menjadi batal.
Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
Wahbah az-Zuhaili berpendapat, bahwa ketidak pastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar larangannya.
Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual . Semisal: penjual berkata : "Saya jual sepeda yang ada di rumah saya kepada anda", tanpa menentukan ciri-ciri sepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjal buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak dikonsumsi.
Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Semisal: orang berkata : "Saya jual beras kep\ada anda sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini". Padahal jenis beras juga bermacam-macam dalam harganya juga tidak sama.
Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad. Semisal: Setelah seseorang meninggal. Jual beli semacam ini termasuk gharar, karena obyek akad dipandang belum ada.
Tidak ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu ada dua macam atau lebih yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad. Semisal : Sebuah motor dijual dengan harga Rp 10.000.000, dengan harga tunai dan Rp. 12.000.000 dengan harga kredit. Namun, sewaktu terjadi akad, tidak ditentukan bentuk transaksi mana yang akan dipilih.
Tidak ada kepastian obyek akad, karena ada dua obyek akad yang berbeda dalam satu transaksi. Semisal: Salah satu dari dua potong pakaian yang berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama. Termasuk ke dalam jual beli gharar adalah jual beli dengan cara undian dalam berbagai bentuknya.
Kondisi obyek akad, tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Semisal: menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Di dalamnya terdapat jual beli gharar, karena baik penjual maupun pembeli berspekulasi dalam transaksi ini.
Selain yang telah dikemukakan di atas, yang semuanya mengandung gharar (tipuan), maka ada transaksi gharar yang barangnya (obyek akadnya) tidak ada, sedangkan nilainya ada yaitu dalam kehidupn sehari-hari disebut jual beli fiktif. Semisal: seseorang yang memesan peralatan kantor dengan harga sekian juta. Harganya sudah dibayar, namun barangnya memang tidak ada. Bentuk transaksi semacam ini, tentu ada unsur kesengajaan dari kedua belah pihak. Perbuatan semacam ini termasuk salah satu tindakan korupsi. Penipuan semacam ini berdampak kepada instansi (kantor) yang dipergunakan sebagai alat untuk mendapatkan uang.
Demikian artikel yang saya buat, semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka: 1, 2  

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam jilid 4, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1996.

Ali Hasan, M, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun