Dalam kegiatan perekonomian, transaksi merupakan salah satu cara untuk mengalihkan kepemilikan. Cara ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok.Â
Semula, ketika masyrakat belum mengenal simbol-simbol pertukaran, seperti uang, transaksi masih berjalan dalam bentuk yang sederhana, yaitu barter. Sekalipun masih tetap berlaku dalam masyarakat yang sederhana, kurang bisa diterima oleh perkembangan pasar.Â
Bahkan, Afzalur Rahaman mengatakan, Nabi saw. Bersabda " melarang beberapa bentuk pertukaran yang tidak seimbang karena menimbulkan praktek riba yang jelas dilarang dalam islam."
Larangan Nabi Muhammad terhadap aneka bentuk pertukaran mengundang kalangan ahli fiqih untuk bersikap lebih hati-hati dalam memaknai transaksi.Sehingga wajar jika definisi transaksi muncul dengan redaksi yang berbeda-beda.Â
Ulama Syfi'iyah, sebagaimana yang dikutip oleh al-Jaziri, mengatakan bahwa transaksi adalah pertukaran harta dengan cara tertentu. Bagi ulama madzhab Hanafi, transaksi dimaknai sebagai sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain berdasarkan cara tertentu atau pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain yang disukai dalam takaran yang sebanding berdasarkan cara tertentu.Â
Sedangkan menurut Sabiq, transaksi merupakan pertukaran harta dengan harta yang lain atas dasar kerelaan.
Dari aneka presepsi dapat disimpulkan bahwa transaksi memiliki cakupan makna yang luas yang tidak hanya menyangkut jual beli tetapi juga menyangkut pertukaran antara satu benda dengan benda yang lain.Â
Krenanya, transaksi dalam kajian fiqih juga menyentuh seluruh kegiatan bisnis termasuk keuangan. Dalam kegiatan bisnis, transaksi tidak selalu benar dan mencerminkan kehalalan, tetapi juga sering menampilkan wajah yang salah dan dilarang. Transaksi yang merefleksikan unsur gharar dipandang sebagai transaksi yang tidak benar, dan karenanya, "haram" untuk dilaksanakan.Â
Ketidakpastian yang inheren dalam transaksi gharar akan menyentuh kemungkinan " untung" atau "rugi", "tidak untung dan tidak rugi", bahkan hanya "untung bagi satu pihak" dan "rugi bagi pihak yang lain". Probabilitas ini memang merupakan risiko yang sering dihadapi oleh setiap bisnis apapun. Dalam transaksi keuangan pun tidak bisa terhindar sama sekali dari kemungkinan risiko. Entitas " gharar" dan "risiko" merupakan komponen yang sulit dipisahkan bahkan maknapun sulit untuk dibedakan, karena kedua-duanya sering mencirikan ketidakpastian
Gharar merefleksikan unsur al-qimar yang berarti satu pihak "untung" dan sementara pihak lain "dirugikan". Dalam konteks ini Zarqa mengatakan bahwa unsur gharar menimbulkan al-qimar. Karena al-qimar, menurut Zarqa, sama dengan maysir, maka, bagi Husain Hamid, akad maysir merupakan akad gharar yang secara nyata tidak paralel bahakan dikutuk oleh al- Quran.Â
Kata gharar secara leksikal, bila ditelusuri dalam al-Quran, memang tidak menunjukkan konsep memadai. Ini bukan berarti bahwa makna substantif gharar lepas dari perhatian al-Quran. Mengingat istilah gharar kerap mewujud dalam ranah mu'amalah, maka kemudian fuqaha, melalui ekplorasi ijtihadnya, mampu memaknai tema gharar dalam pengertian yang cukup jelas. Kejelasan makna tersebut akan memberikan bukti bahwa al-Quran, sebagai sumber utama hukum islam
Pengetian Gharar.
Secara lughawi,gharar dimaknai secara al-khatr dan al-taghrir yang berarti suatu penampilan yang menimbulkan kerusakan, atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan, namun dalam realitasnya justru memunculkan kebencian.Â