Mohon tunggu...
Ahmad Miftahul Farohi
Ahmad Miftahul Farohi Mohon Tunggu... Lainnya - Hanyalah orang biasa

Pecinta genre misteri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Api dalam Diam

18 Juni 2024   20:14 Diperbarui: 18 Juni 2024   20:35 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi api dalam diam | Sumber: pexels.com

Di pinggiran kota yang ramai, terdapat sebuah sekolah yang arsitekturnya sudah mulai usang namun masih kokoh berdiri. Di sekolah itu, ada seorang remaja bernama Rian yang sering kali terlihat sendirian. Rambutnya yang selalu acak-acakan dan pakaian yang tidak pernah berganti model menjadi bahan tertawaan bagi teman-temannya. Rian adalah korban bully yang hampir setiap hari merasakan pahitnya ejekan dan cemoohan.

Namun, di balik tatapan matanya yang sering tertunduk, tersimpan bara semangat yang tak pernah padam. Rian memiliki mimpi, mimpi untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar bahan tertawaan. Mimpi itu semakin berkobar ketika ia mendengar pengumuman tentang kompetisi sains nasional yang akan diadakan beberapa bulan lagi.

Suatu hari di kelas, seorang guru mengumumkan kompetisi tersebut. "Perhatian, anak-anak. Sekolah kita akan mengikuti Kompetisi Sains Nasional. Siapa saja yang berminat, silakan mendaftar," kata Bu Ratna, guru sains mereka.

Rian merasa dadanya berdebar kencang. Ini kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya. Selepas sekolah, ia mendaftar dan mulai mempersiapkan diri. Setiap hari setelah sekolah, ia menyelinap ke laboratorium sains yang jarang dikunjungi orang. Di sana, ia menghabiskan waktu berjam-jam mempelajari reaksi kimia, merakit komponen elektronik, dan menguji prototipe demi prototipe.

Ketika teman-temannya mengetahui apa yang sedang ia lakukan, ejekan itu bertambah menjadi sindiran pedas.


"Kau pikir kau bisa menang? Ha! Jangan bermimpi!" kata Andi, salah satu pelaku bully paling vokal.

"Alat konversi energi dari sampah plastik? Kau pasti bercanda," tawa teman-temannya yang lain menambah perih hati Rian.

Rian hanya tersenyum tipis dan kembali pada eksperimennya. Ia tidak membalas dengan kata-kata, tapi dengan tindakan.

Bulan-bulan berlalu, dan Rian semakin sibuk dengan penelitiannya. Meskipun sering merasa lelah dan frustasi, ia terus berusaha. Ayahnya, seorang pekerja keras di sebuah pabrik, selalu mendukungnya.

"Jangan pernah menyerah, Nak. Kau memiliki potensi besar. Tunjukkan pada mereka bahwa kau bisa," kata Ayahnya setiap malam ketika Rian pulang larut dari laboratorium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun