[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Tempat tinggal keluarga bapak Hermanus Yoku di tepian pulau Ohei."]
Dari jauh terlihat rumah yang sederhana berdinding ruas pohon Sagu dan beralaskan kulit batang pohon Matoa, terlihat kokoh berdiri di antara susunan kayu penyangga tepat di tepian danau Sentani. Di dalamnya kami mendapati seorang perempuan tua yang sedang duduk mengunyah pinang dan seorang pria yang kira-kira seumuran saya sedang sibuk mengaduk adonan arang. Setelah menyapa mereka baru kita tau kalau ibu Arlintje adalah istri bapak Yoku dan pemuda tadi adalah Markus, putranya. Bapak Yoku pagi itu sedang membersihkan pekarangan GKI Filadelfia, gedung Gereja Tua di atas bukit pulau Ohei.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Hermanus Yoku dengan keterbatasannya (tuna wicara) menyambut kami dengan hangat."]
Beberapa menit kemudian Markus kembali bersama sosok tua kisaran umur 60-an tahun, berambut tipis penuh uban, dengan tatapan tajam. Bapak Hermanus Yoku, ayah dari 5 (lima) anak (salah satunya telah meninggal dunia) menyambut kami di dalam rumahnya yang nyaman dan adem. Kita agak kesulitan berkomunikasi, karna Hermanus Yoku kehilangan suaranya sejak kecil akibat penyakit yang tidak di ketahui sampai sekarang, sehingga dengan sederhana ia menyimpulkan akibat di tiop-tiop (baca: santet, red). Syukurlah Markus sangat membantu kita menerjemahkan bahasa isyarat Hermanus Yoku.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Sosok tua 60-an tahun yang ramah, murah senyum, penuh talenta."]
Di balik tatapan tajamnya, ternyata kakek dari 3 (tiga) cucu ini adalah sosok yang ramah serta murah senyum. Kami terlihat begitu akrab, bercengkrama, dan bercanda seperti sudah lama kenal walaupun hanya lewat perantara. Tidak diketahui dengan pasti berapa umur Hermanus Yoku, dia sendiri lupa kapan tanggal lahirnya, dia hanya memberi ancar-ancar lahir sekitar tahun 1944-1946. Tidak lama kemudian Hermanus Yoku mulai bercerita tentang Rakahomouw, tradisi melukis di atas kanvas yang terbuat dari kulit kayu.
[caption id="" align="aligncenter" width="335" caption="Masyarakat Kampung Asei menyebutnya pohon Khombouw, kulitnya digunakan sebagai bahan untuk kanvas lukisan."]
Kulit kayu yang di gunakan adalah dari pohon Khombouw, berkambium dan berakar tunggang, dengan tinggi antara 4-6 meter. Kulit batang pohon ini di kupas kira-kira setebal 5mm, kemudian di rendam dengan air danau di belakang rumah semalaman.
Jika Markus bertugas mengupas kulit batang pohon Khombouw kemudian merendamnya, maka tugas mama Deli kakak Markus untuk meratakan kulit kayu hingga tipis. Dalam keadaan setengah kering kulit kayu tadi ditumbuk di atas batu besar datar dengan tongkat besi. Sesekali kulit kayu tadi di tarik dengan kencang agar merenggang, kemudian di tumbuk kembali. Setelah merata dan tipis, kulit kayu kemudian dijemur hingga kering.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Hermanus Yoku mulai melukis dari sketsa yang sudah dibuat sebelumnya menggunakan pensil."]
Kulit kayu yang sudah dikeringkan tadi, selanjutnya digunakan oleh Hermanus Yoku sebagai kanvas lukisan. Sebelum melukis, Hermanus Yoku membuatkan sketsa corak khas danau Sentani dengan pensil. Setiap corak lukisan memiliki maknanya masing-masing yang selalu diceritakan orang-orang tua di kampung Asei turun-temurun.
Hermanus Yoku mulai melukis. Tangannya begitu cekatan menggoreskan kuas yang terbuat dari tangkai buah kelapa di atas kanvas kulit kayu. Tiga warna cat yang digunakan dalam melukis yaitu hitam, putih, dan merah. Cat hitam nya didapat dari campuran Jelaga dan minyak tanah, warna putih dari kapur sirih dan minyak tanah, dan merah dari tanah karang merah yang di campur dengan minyak tanah juga. Semua bahan yang digunakan masih tradisional, begitupula proses pengerjaannya.