Menyingkap Kecantikan Tersembunyi Pesisir Danau Sentani (Bagian I)
RAKAHOMOUW
Tradisi Lukisan Kulit Kayu di balik keheningan Pulau Ohei
Foto & Naskah oleh Michael L. Aleng
-
Pagi itu, sekitar pukul 05:30 ketika langit merah merona di atas kota Jayapura, pancaran mentari mulai terasa hangat, kami Tim Forum NGI Regional Papua berangkat dari Jayapura menuju Danau Sentani. Perjalanan memakan waktu kira-kira 45 menit menggunakan motor dengan kecepatan rata-rata 65km/jam menyusuri sepinya kota Abepura hingga dinginnya kabut pagi pesisir danau Sentani dengan pemandangan pagi Danau Sentani yang jarang dilihat orang.
Akhirnya tiba juga di Kampung Kalkhote Sentani. Di ujung Kalkhote terdapat dok (dermaga kecil) yang digunakan masyarakat sekitaran danau Sentani memarkir perahu-perahu saat membawa hasil bumi, ikan, dan kerajinan mereka di pasar tradisional kampung Kalkhote. Kita harus meninggalkan motor di sini, selanjutnya menyeberang ke pulau Ohei menggunakan perahu motor. Beruntungnya kita langsung mendapatkan perahu motor pagi itu untuk menyeberang, saya bilang beruntung karena tidak perlu menunggu hingga penumpang penuh, kami bertiga dengan Bapak Konstan orang Ayapo sang empunya perahu motor ketika menyeberang ke pulau Ohei saat itu.
[caption id="" align="aligncenter" width="426" caption="Rute Jayapura-Sentani (atas), Rute Penyeberangan ke Pulau Ohei (bawah)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Bapak Konstan dari kampung Ayapo. Sehari-hari menawarkan jasa penyeberangan ke pulau Ohei (Kampung Asei)."]
Hanya perlu 5 menit untuk sampai di dok Kampung Asei di pulau Ohei. Saya bersama Ghani Novianto, terasa cukup ideal jumlahnya, melihat suasana Kampung Asei yg hening, sesekali ramai oleh kunjungan turis baik lokal maupun mancanegara.
Di pintu masuk pulau ini terdapat Tugu berbentuk Salib sebagai peringatan masuknya Injil di Kampung Asei. Sejak awal tujuan kita di pulau Ohei adalah melihat dari dekat proses pembuatan Lukisan Kulit Kayu yang dalam bahasa setempat disebut Rakahomouw. Kami bertanya kepada seorang gadis yang kebetulan duduk di Pendopo, menanyakan rumah Bapak Hermanus Yoku, orang yang paling berpengalaman dengan tradisi Rakahomouw di Kampung Asei.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Tempat tinggal keluarga bapak Hermanus Yoku di tepian pulau Ohei."]
Dari jauh terlihat rumah yang sederhana berdinding ruas pohon Sagu dan beralaskan kulit batang pohon Matoa, terlihat kokoh berdiri di antara susunan kayu penyangga tepat di tepian danau Sentani. Di dalamnya kami mendapati seorang perempuan tua yang sedang duduk mengunyah pinang dan seorang pria yang kira-kira seumuran saya sedang sibuk mengaduk adonan arang. Setelah menyapa mereka baru kita tau kalau ibu Arlintje adalah istri bapak Yoku dan pemuda tadi adalah Markus, putranya. Bapak Yoku pagi itu sedang membersihkan pekarangan GKI Filadelfia, gedung Gereja Tua di atas bukit pulau Ohei.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Hermanus Yoku dengan keterbatasannya (tuna wicara) menyambut kami dengan hangat."]
Beberapa menit kemudian Markus kembali bersama sosok tua kisaran umur 60-an tahun, berambut tipis penuh uban, dengan tatapan tajam. Bapak Hermanus Yoku, ayah dari 5 (lima) anak (salah satunya telah meninggal dunia) menyambut kami di dalam rumahnya yang nyaman dan adem. Kita agak kesulitan berkomunikasi, karna Hermanus Yoku kehilangan suaranya sejak kecil akibat penyakit yang tidak di ketahui sampai sekarang, sehingga dengan sederhana ia menyimpulkan akibat di tiop-tiop (baca: santet, red). Syukurlah Markus sangat membantu kita menerjemahkan bahasa isyarat Hermanus Yoku.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Sosok tua 60-an tahun yang ramah, murah senyum, penuh talenta."]
Di balik tatapan tajamnya, ternyata kakek dari 3 (tiga) cucu ini adalah sosok yang ramah serta murah senyum. Kami terlihat begitu akrab, bercengkrama, dan bercanda seperti sudah lama kenal walaupun hanya lewat perantara. Tidak diketahui dengan pasti berapa umur Hermanus Yoku, dia sendiri lupa kapan tanggal lahirnya, dia hanya memberi ancar-ancar lahir sekitar tahun 1944-1946. Tidak lama kemudian Hermanus Yoku mulai bercerita tentang Rakahomouw, tradisi melukis di atas kanvas yang terbuat dari kulit kayu.
[caption id="" align="aligncenter" width="335" caption="Masyarakat Kampung Asei menyebutnya pohon Khombouw, kulitnya digunakan sebagai bahan untuk kanvas lukisan."]
Kulit kayu yang di gunakan adalah dari pohon Khombouw, berkambium dan berakar tunggang, dengan tinggi antara 4-6 meter. Kulit batang pohon ini di kupas kira-kira setebal 5mm, kemudian di rendam dengan air danau di belakang rumah semalaman.
Jika Markus bertugas mengupas kulit batang pohon Khombouw kemudian merendamnya, maka tugas mama Deli kakak Markus untuk meratakan kulit kayu hingga tipis. Dalam keadaan setengah kering kulit kayu tadi ditumbuk di atas batu besar datar dengan tongkat besi. Sesekali kulit kayu tadi di tarik dengan kencang agar merenggang, kemudian di tumbuk kembali. Setelah merata dan tipis, kulit kayu kemudian dijemur hingga kering.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Hermanus Yoku mulai melukis dari sketsa yang sudah dibuat sebelumnya menggunakan pensil."]
Kulit kayu yang sudah dikeringkan tadi, selanjutnya digunakan oleh Hermanus Yoku sebagai kanvas lukisan. Sebelum melukis, Hermanus Yoku membuatkan sketsa corak khas danau Sentani dengan pensil. Setiap corak lukisan memiliki maknanya masing-masing yang selalu diceritakan orang-orang tua di kampung Asei turun-temurun.
Hermanus Yoku mulai melukis. Tangannya begitu cekatan menggoreskan kuas yang terbuat dari tangkai buah kelapa di atas kanvas kulit kayu. Tiga warna cat yang digunakan dalam melukis yaitu hitam, putih, dan merah. Cat hitam nya didapat dari campuran Jelaga dan minyak tanah, warna putih dari kapur sirih dan minyak tanah, dan merah dari tanah karang merah yang di campur dengan minyak tanah juga. Semua bahan yang digunakan masih tradisional, begitupula proses pengerjaannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Hermanus Yoku menceritakan corak buah-buahan khas sentani."]
Dari pemerintah Kabupaten Jayapura sebelumnya sudah memberikan bantuan beberapa mesin penggiling untuk memudahkan penduduk Kampung Asei untuk menggiling bahan kulit kayu untuk kanvas, tapi hasilnya dirasa kurang memuaskan oleh para pengrajin, ketebalan kanvas kulit kayu kurang tipis jika menggunakan mesin penggiling. Selain itu juga, masyarakat kampung Asei terkendala dengan aliran Listrik Pedesaan (Lisdes) yang hanya 10 jam nyala dari pukul 17:00-03:00, sedihnya lagi sudah sejak 3 bulan lalu listrik di pulau Ohei ini padam dikarenakan mesin pembangkit yang disediakan PLN rusak dan masih terbengkalai sampai saat saya mengunduh tulisan ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Tempat ini difungsikan sebagai Showroom Rakahomouw untuk para pembeli."]
Lukisan kulit kayu sudah selesai. Biasanya setelah itu, lukisan kulit kayu kemudian di jemurdi bawah sinar matahari agar cat nya mengering. Setelah itu siap dipajang di sebuah rumah yang difungsikan masyarakat kampung Asei sebagai Showroom lukisan kulit kayu. Pemasaran lukisan kayu Hermanus Yoku juga diperluas hingga Sentani kota dan Waena bahkan Jayapura lewat para distributor dari Arso dan Kerom ataupun oleh keluarga nya sendiri.
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Selesai melukis, Hermanus Yoku menghabiskan waktu di depan Showroom menunggu pembeli."]
Kami menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam untuk memotret, sesekali kami diceritakan tentang masa muda Hermanus Yoku sewaktu tinggal di sisi barat Sentani hingga cerita tentang pertemuannya dengan Arlintje kembang desa di pulau Ohei kemudian memenangkan hati Arlintje karena bakat dan kreatifitasnya, sampai akhirnya menetap di kampung Asei sampai sekarang. Dari situlah baru saya tahu kalau ternyata Hermanus Yoku juga sering di panggil untuk memotret acara-acara besar di kampung Asei, bisa dibilang Fotografer lepas hehe..
Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 10:30, hari menjelang siang dan kita telah selesai meliput dan mendokumentasikan proses Rakahomou, mulai dari pembuatan kanvas kulit kayu hingga dilukis dan di pamerkan di showroom. Saatnya kembali ke Jayapura, sebelumya kami berpamitan dengan keluarga Hermanus Yoku. Kami menjanjikan mereka untuk datang kembali membawa Foto keluarga mereka untuk menjadi hiasan dinding rumahnya yang masih polos tanpa gantungan frame foto satupun. (Michael Aleng)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H