Lalu kemudian Indonesia kembali menitikkan air mata. Tragedi Sampit di tahun 2001 menjadi konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan membuat bangsa ini bagai terlecut sengatan listrik tegangan tinggi. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan orang Madura menjadi buah bibir di mana-mana. Bangsa ini berkabung untuk kesekian kalinya.
Kini, sentiman atas nama SARA kembali mulai dipakai dan dipropaganda sedemikian besar dan luas, menyapa hampir seluruh pelosok negeri ini untuk supaya terpancing. Siapapun pihak yang mengail di air keruh mestinya sadar dan segera bertobat. Karena apa? Oleh karena kewibawaan bangsa ini jauh lebih besar daripada kepentingan politik apapun, dan dibanding kesesatan cara berbikir siapapun.
Bangsa ini, saya amat sangat yakin, tidak akan mudah terpengaruh propaganda pemecah belah menggunakan nilai-nilai SARA. Kita sudah merdeka dari penjajahan bangsa lain, jangan mudah dijajah dengan metode usang devide et impera.
Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, adalah semboyan yang tak pernah usang dimakan zaman, dalam Bahasa Inggris ia dikenal dengan ‘United we stand, divided we fall’. Semboyan itu sudah muncul pada sekitar tahun 620 – 560 sebelum Masehi oleh Aesop. Sudah sangat lama, ratusan tahun yang lalu, tetapi rasanya semboyan itu akan terus mengalir dalam darah setiap kita yang hidup masa kini di Indonesia ini. Jadi, marilah kita terus bersatu apapun status SARA yang tersemat dalam diri pribadi kita.
 "There is a Law that man should love his neighbor as himself. In a few hundred years it should be as natural to mankind as breathing or the upright gait; but if he does not learn it he must perish." -- Alfred Adler
Michael Sendow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H