Tulisan ini akan sedikit panjang, supaya cakrawala berpikir bisa lebih luas lagi. Hari ini kita melihat ada begitu banyak hal yang gampang saja dipolitisasi. Tidak peduli untuk urusan apapun, politisasi selalu saja menjadi penyebab utama sebuah kekacauan. Agama dan keimanan pun tak luput dari politisasi. Dan, apalagi bila politisasi itu didukung oleh propaganda secara luar biasa luas dan dalam. Secara terstruktur, sistematis, dan massif.
Kita perlu belajar dari sejarah. Baik sejarah bangsa kita sendiri atau juga dari sejarah bangsa lain. Belajar bahwa betapa ringkihnya struktur bangunan sebuah bangsa. Mudah rapuh. Pondasi yang sudah dibangun sangat kuat pun bisa-bisa hancur lebur bila bangsa tersebut tak mau belajar bersatu. Persatuan dan keutuhan itu tentu amat sangat mahal harganya, terlebih bila sekedar dibandingkan dengan kepentingan dan kepuasan sesaat semisal dengan adanya pilkada atau pilgub. Landasan kokoh kita berbangsa adalah Pancasila.
Lalu, propaganda menjadi alat ampuh kelompok tertentu untuk memetik keuntungannya sendiri. Maka dari itu, perang propaganda (propaganda war) sudah eksis sejak Perang Dunia I, bahkan jauh sebelum itu. Perang-perang di era ratusan tahun lalu sudah menggunakan teknik propaganda untuk memengaruhi orang banyak. Tentu dengan cara kekunoan mereka. Hari ini propaganda dilakukan dengan cara yang sangat modern dan serba digitalized. Dengan cara kekinian kita.
Sejak awal Perang Dunia I, dua belah pihak yang berperang menggunakan propaganda untuk membentuk opini internasional sesuai selera mereka masing-masing.
Propaganda sederhananya adalah menyebarkan bias information atau wrong information demi mempromosikan kepentingan atau agenda politik tertentu, yang dengan sendirinya membentuk opini luas di masyarakat tentang ‘kebenaran’ sesuai keinginan dan selera masing-masing mereka.
Propaganda juga malah sering dikaitkan dengan mekanisme psikologis yang memengaruhi dan mengubah sikap orang banyak terhadap sebuah penyebab spesifik, posisi pemikiran atau agenda politik. Tentu dalam upaya untuk membentuk semacam ‘konsensus’ yang dapat menciptakan suatu standar pola keyakinan --- sesuai apa yang mereka rancang dan harapkan. Seperti itu.
Menurut Wikipedia, “Propaganda is information that is not impartial and is used primarily to influence an audience and further an agenda, often by presenting facts selectively (perhaps lying by omission) to encourage a particular synthesis, or using loaded messages to produce an emotional rather than a rational response to the information presented”.
Contoh Propaganda ala ISIS
Seorang pria mengenakan topeng penutup wajah berdiri di belakang tahahan yang sementara mereka tahan. Korban tersebut dalam posisi berlutut, dan pria bertopeng itu sedang bersiap untuk memotong leher sang korban. Nampaknya ia lagi berpikir-pikir, apakah menembak langsung kepala si korban atau memotong leher korban begitu saja dengan pedang di tangannya. Video itu sempat menyebar luas. Dramatis dan mengerikan.
ISIS memang bukanlah kelompok yang memunculkan pertama kali kepandaian atau kemahiran menyajikan sebuah sandiwara berdarah-darah. Namun kini mereka telah mengambil alih predikat itu. Hari ini, merekalah jagonya. Menyiarkan pembunuhan, mengancam, mengintimidasi adalah ‘trademark’ atau ciri khas atau ‘merek dagang’ kelompok ini, khususnya di kalangan yang berlabel grup jihad. Saat ini, merekalah grup jihad yang paling terkenal dan ditakuti seantero jagad raya.