Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kepentingan Demo dan Salah Ahok

16 Oktober 2016   13:10 Diperbarui: 16 Oktober 2016   15:10 3476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang demo, maka sebetulnya kita lagi bicara tentang ‘makanan’ sehari-hari. Urusan berdemo sudah sangat kental dalam kehidupan berbangsa kita. PNS yang berdemo. Buruh yang berdemo. Kumpulan dokter pun ada yang melakukan demo. Petani demo sana sini. Bawahan demo kepada atasannya. Bahkan kumpulan siswa pun ada yang turun ke jalanan untuk melakukan demo. Demo itu sudah mendarahdaging untuk urusan apapun. Yang membedakan adalah niat berdemo itu.

Kita tentu tidak perlu mempermasalahkan kenapa sampai harus ada demo. Karena berdemo itu dilindungi undang-undang, asalkan tidak anarkis dan tidak mengganggu keamanan serta kestabilan negara, ya silakan saja orang berdemo. Bisa jadi demo bagi sebagian orang adalah sarana ‘mendapatkan sesuatu’ entah itu berupa materi atau dalam bentuk apapun. Jadi, mau tidak mau dalam berdemokrasi maka urusan berdemo ria tak ayal menjadi ‘bumbu penyedap’ yang tak bisa kita tolak. So, karena nggak bisa ditolak ya sudah kita nikmati saja, kan begitu? Tapi rupanya, ada demo yang tak sedap dan tak layak kita nikmati. Tak semua demo itu indah dan sedap dipandang mata. Lalu kita melihat demo yang merusak taman, pagar, dan tanaman. Ini dampak buruk sebuah demo tentunya.

Kadang kita menonton sebuah pertunjukkan demo yang penuh lawakan nan lucu dan menggelikkan. Namun tak jarang juga kita temui aksi demo penuh kemarahan dan ancaman. Siapa yang berdemo tentu memengaruhi kualitas sebuah demo. Bandingan kualitas sebuah demo yang diinisiasi oleh sekumpulan dokter umpamanya dibanding demo yang diikuti oleh kumpulan siswa sekolah menengah, tentu akan amat sangat berbeda kualitas berdemonya.

Begitu juga, bandingan kualitas demo sekelompok orang yang ‘katanya’ berahlak dan beriman setinggi bintang di langit, tetapi apa jadinya jika kualitas demonya ternyata tak lebih bagus dari demo preman jalanan. Isinya berisi tuntutan yang (maaf) lebih biadab dari penjahat beneran. Mereka mengancam. Mereka siap untuk menggantung orang dan atau membunuh orang. Tetapi alangkah manis dan indahnya kendengaran, oleh sebab demo penuh hujatan dan ancaman itu lalu dibungkus doa-doa. Ini demo kampungan namanya, terus terang saja.

Saya paling anti orang-orang yang kelihatan suci mengenakan baju keagamaan (agama apapun itu), namun kelakuan dan prilaku tak lebih baik dari seorang penjahat. Otak dan prilaku menunjukkan kualitas macam apa pemilik otak dan pemilik prilaku tersebut. Anda boleh pamer bahwa Anda itu punya ahlak yang hebat, punya iman yang tinggi setinggi bintang di langit, tetapi percayalah you are what you say and you are what you write, you are also what you do. Kalau Anda berkoar-koar siap menggantung dan siap membunuh itu berarti Anda tak lebih dari seorang tukang jagal yang berbajukan baju ‘orang suci’. Betul tidak?

Bagi saya pribadi, terserah orang mau anggap saya ini liberal, atau apalah, saya tidak begitu peduli. Namun saya amat begitu meyakini bahwa agama dihadirkan ke dunia ini untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk agama. Manusia harus lebih tinggi dari agama. Apakah Anda bisa membunuh seseorang demi agamamu? Pikir lagi, dan pikir baik baik. Makanya Tuhan menciptakan manusia dulu barulah agama dihadirkan.

Saya sependapat dengan Ahok, dan banyak ulama atau pendeta lainnya yang beranggapan bahwa adalah tidak benar jikalau ayat kitab suci diperalat untuk kepentingan pribadi, kelompok, apalagi kepentingan politik. Sebuah ayat saja yang bisa masih begitu multitafsir, eh kok bisa-bisanya ditarik-tarik ke ranah politik misalnya. Ini jelas salah kaprah. Penganut agama apapun justru mestinya marah bila ayat-ayat suci dalam kitab masing-masing ‘diperkosa’ untuk kepentingan politik tertentu oleh orang-orang tertentu. Ayat suci itu terlalu suci untuk dipakai dalam ‘peperangan politik’ memperebutkan kursi kekuasaan, atau demi melanggengkan kekuasaan. Itu.

Itulah sebabnya juga saya begitu sepakat dengan pendapat Prof Sahetapy beberapa tahun yang lalu tentang pemilu. Kalau tidak salah waktu itu ia pernah mengatakan bahwa kita mengikuti election not because of our religion but as citizen. Kita memilih seorang pemimpin negara atau pemimpin daerah bukanlah karena kita ini pemeluk agama tertentu, tetapi oleh karena kita adalah warga negara. Sesederhana itu.

Apa Salah Ahok?

Bisa jadi Ahok memang salah karena menyerempet ‘area sensitif’ menjelang pilkada paling seksi dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia ini. Pilgub rasa pilpres, begitu kata banyak orang. Area itu adalah menyangkut ayat suci dari kitab suci.

Tetapi menurut saya, yang jauh lebih salah adalah orang yang dengan maksud tertentu sudah mengedit, memotong-motong, dan menyebarkan video pidato Ahok yang lantas kemudian menjadi viral itu.

Tidak dengan maksud membela. Tetapi coba Anda sedikit saja meluangkan waktu untuk menonton utuh video pidato Ahok tersebut, saya yakin tak akan Anda jumpai Ahok menghina ayat suci surat Almaidah ayat 51 itu, apalagi menghina Alquran. Makanya dengar pendapat Nusron Wahid. Baca  pula komentar kapolri. Pelajari ulasan para ahli Bahasa lainnya. Tidak ada di sana Ahok menghina ayat suci. Tidak ditemukan pula Ahok menista Alquran atau agama Islam. Yang harus dipertanyakan maksud si pengunggah video editan itu apa sebetulnya?

Masak iya, sudah beberapa hari berlalu sejak pidato Ahok itu, orang-orang yang mendengarkan pidatonya itu secara langsung di Pulau Seribu anteng anteng saja, malah mereka banyak yang bertepuk tangan. Para wartawan tak satupun yang menggembar-gemborkan apa yang memang tak semestinya dipermasalahkan. Anehnya, setelah seseorang mengedit, memotong dan menyebarkan potongan video tersebut seakan-akan dan seolah-olah Ahok telah menghina Alquran dan Islam, maka barulah itu menjadi viral dan heboh. Ada apa ini? Tentu ada maksud secara sengaja mengipas-ngipasi dan memanas-manasi warga masyarakat.

Sederhananyakan Ahok itu mau bilang kurang lebih adalah begini, “….terserah bapak ibu….kalau ada yang membohongi bapak ibu PAKE Surat Almaidah 51…dstnya…” Apa ada yang salah dengan kalimat itu? Kan banyak sekali contoh, dalam agama manapun, politisi maupun tokoh-tokoh kelompok tertentu yang suka sekali mencomot-comot ayat sana sini untuk mempengaruhi orang dan untuk dipakai sebagai pemulus jalan kelompok atau pribadi dia sendiri. Jadi sekali lagi, sudah sangat lumrah ayat-ayat kitab suci dipakai sebagai alat. Sejarah bangsa ini sudah sangat jelas mencatat betapa ‘peperangan politis’ selalu ditarik-tarik menjadi ‘peperangan keimanan atau keagamaan’. Pilpres lalu adalah contoh paling konkrit. History can’t lie. Dimana-mana nona SARA itu memang jauh lebih seksi dari Om Alo. Maka ia akan terus dipakai.

Makanya, di akhir episode keagungan sebuah ayat multitafsir yang sering dipakai sebagai pemicu timbulnya gesekan-gesekan, kita sebetulnya kan melihat ending seperti apa yang mereka inginkan. Sambil menunggu itu, hari ini coba Anda cermati dan jawab sebuah pertanyaan sederhana saya. Apakah ada aksi demo yang bebas kepentingan? Jawabannya sungguh tidak ada. Aksi sebuah demo tentu akan berkiblat kepada kepentingan kelompok-kelompok dibalik aksi demo itu, apapun itu. Tidak ada demo yang murni sekedar demo. Sudah panas-panasan, hujan-hujanan, lapar-laparan, teriak-teriak sampai urat-urat di tenggorokan rasanya mau putus, masak nggak dapet apa-apa.

Siapa yang membiayai mereka. Amunisi apa saja yang mesti disiapkan. Koordinasi macam apa yang diperlukan. Panggung sandiwara seperti apa yang harus diadakan. Semua itu ada dirigennya. Maka, jangan heran juga kalau hari ini ada banyak aksi demo yang dipenuhi orang-orang yang sebetulnya nggak ngerti apa-apa tetapi mau hadir ikut teriak-teriak oleh karena asupan materi tertentu, paksaan, atau karena iming-iming dan sebagainya. Bayangkan saja, untuk apa sih ada demo yang bahkan melibatkan anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa? Apakah hanya supaya kelihatan ramai dan terlihat banyak yang hadir? Walahualam deh. Saya tidak mengkritik kelompok pendemo tertentu ya. Ini  berlaku umum.

Bahayanya, kalau misalnya saja pendukung Ahok juga mau ikut membuat sebuah demo tandingan. Wah, bisa tambah ramai jalanan kan. Jangan dikira sukarelawan Ahok itu sedikit, termasuk 1 juta orang lebih yang sudah memasukkan KTP mereka, begitu juga dengan para fans Ahok yang setiap saat siap turun ke jalanan, apa nggak tambah ramai kalau begitu?

Makanya, sudahlah, cukupkan saja ‘permaianan’ demo-demoan yang nggak jelas. Kenapa nggak jelas? Oleh karena yang berdemo itu malah sudah pakai mengancam dengan cara-cara preman kampungan segala. Bukankah ancaman menggantung dan membunuh adalah ciri-ciri peneror dalam mengintimidasi seseorang atau institusi. Memangnya juga institusi kepolisian bisa diintimidasi macam itu?

Anda mau meminta institusi negara untuk memproses secara hukum seseorang, tetapi justru di sisi lain Anda mengancam dan mengintimidasi seperti apa yang Anda lakukan itu? Apakah nantinya justru bukan sebaliknya, Andalah yang harus diperiksa dan diinterogasi sebagai peneror dan provokator? Think about it wisely, my man!  Dan, kalau Anda berkoar-koar lewat toa, maka cobalah untuk think twice before you speak out loud. Mohon maaf kalau ada kata-kata saya yang salah atau terdapat kekeliruan, saya belum siap didemo soalnya. Ini jelas opini saya, just take it or leave it.  Peace!

Pada tahun 1980-an terbit sebuah buku bagus karangan Walter Harrelson bejudul, "The Ten Commandments and Human Rigts". Dari sekian banyak pencerahan, saya tertuju pada sebuah tulisan rasional tentang HAM dan kebebasan. Harrelson mengingatkan kita, bahwa kebebasan yang sejati hanya dapat diperoleh jika orang terikat pada nilai-nilai ilahi. Ia lalu kemudian mengutip sebuah nyanyian yang berkata begini:"....Make me a captive, Lord, And then I shall be free. Force me to render up my sword, And I shall conqueror be....Imprison me wtihin thy arms, And strong shall be my hand."---Michael Sendow---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun