Bicara tentang demo, maka sebetulnya kita lagi bicara tentang ‘makanan’ sehari-hari. Urusan berdemo sudah sangat kental dalam kehidupan berbangsa kita. PNS yang berdemo. Buruh yang berdemo. Kumpulan dokter pun ada yang melakukan demo. Petani demo sana sini. Bawahan demo kepada atasannya. Bahkan kumpulan siswa pun ada yang turun ke jalanan untuk melakukan demo. Demo itu sudah mendarahdaging untuk urusan apapun. Yang membedakan adalah niat berdemo itu.
Kita tentu tidak perlu mempermasalahkan kenapa sampai harus ada demo. Karena berdemo itu dilindungi undang-undang, asalkan tidak anarkis dan tidak mengganggu keamanan serta kestabilan negara, ya silakan saja orang berdemo. Bisa jadi demo bagi sebagian orang adalah sarana ‘mendapatkan sesuatu’ entah itu berupa materi atau dalam bentuk apapun. Jadi, mau tidak mau dalam berdemokrasi maka urusan berdemo ria tak ayal menjadi ‘bumbu penyedap’ yang tak bisa kita tolak. So, karena nggak bisa ditolak ya sudah kita nikmati saja, kan begitu? Tapi rupanya, ada demo yang tak sedap dan tak layak kita nikmati. Tak semua demo itu indah dan sedap dipandang mata. Lalu kita melihat demo yang merusak taman, pagar, dan tanaman. Ini dampak buruk sebuah demo tentunya.
Kadang kita menonton sebuah pertunjukkan demo yang penuh lawakan nan lucu dan menggelikkan. Namun tak jarang juga kita temui aksi demo penuh kemarahan dan ancaman. Siapa yang berdemo tentu memengaruhi kualitas sebuah demo. Bandingan kualitas sebuah demo yang diinisiasi oleh sekumpulan dokter umpamanya dibanding demo yang diikuti oleh kumpulan siswa sekolah menengah, tentu akan amat sangat berbeda kualitas berdemonya.
Begitu juga, bandingan kualitas demo sekelompok orang yang ‘katanya’ berahlak dan beriman setinggi bintang di langit, tetapi apa jadinya jika kualitas demonya ternyata tak lebih bagus dari demo preman jalanan. Isinya berisi tuntutan yang (maaf) lebih biadab dari penjahat beneran. Mereka mengancam. Mereka siap untuk menggantung orang dan atau membunuh orang. Tetapi alangkah manis dan indahnya kendengaran, oleh sebab demo penuh hujatan dan ancaman itu lalu dibungkus doa-doa. Ini demo kampungan namanya, terus terang saja.
Saya paling anti orang-orang yang kelihatan suci mengenakan baju keagamaan (agama apapun itu), namun kelakuan dan prilaku tak lebih baik dari seorang penjahat. Otak dan prilaku menunjukkan kualitas macam apa pemilik otak dan pemilik prilaku tersebut. Anda boleh pamer bahwa Anda itu punya ahlak yang hebat, punya iman yang tinggi setinggi bintang di langit, tetapi percayalah you are what you say and you are what you write, you are also what you do. Kalau Anda berkoar-koar siap menggantung dan siap membunuh itu berarti Anda tak lebih dari seorang tukang jagal yang berbajukan baju ‘orang suci’. Betul tidak?
Bagi saya pribadi, terserah orang mau anggap saya ini liberal, atau apalah, saya tidak begitu peduli. Namun saya amat begitu meyakini bahwa agama dihadirkan ke dunia ini untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk agama. Manusia harus lebih tinggi dari agama. Apakah Anda bisa membunuh seseorang demi agamamu? Pikir lagi, dan pikir baik baik. Makanya Tuhan menciptakan manusia dulu barulah agama dihadirkan.
Saya sependapat dengan Ahok, dan banyak ulama atau pendeta lainnya yang beranggapan bahwa adalah tidak benar jikalau ayat kitab suci diperalat untuk kepentingan pribadi, kelompok, apalagi kepentingan politik. Sebuah ayat saja yang bisa masih begitu multitafsir, eh kok bisa-bisanya ditarik-tarik ke ranah politik misalnya. Ini jelas salah kaprah. Penganut agama apapun justru mestinya marah bila ayat-ayat suci dalam kitab masing-masing ‘diperkosa’ untuk kepentingan politik tertentu oleh orang-orang tertentu. Ayat suci itu terlalu suci untuk dipakai dalam ‘peperangan politik’ memperebutkan kursi kekuasaan, atau demi melanggengkan kekuasaan. Itu.
Itulah sebabnya juga saya begitu sepakat dengan pendapat Prof Sahetapy beberapa tahun yang lalu tentang pemilu. Kalau tidak salah waktu itu ia pernah mengatakan bahwa kita mengikuti election not because of our religion but as citizen. Kita memilih seorang pemimpin negara atau pemimpin daerah bukanlah karena kita ini pemeluk agama tertentu, tetapi oleh karena kita adalah warga negara. Sesederhana itu.
Apa Salah Ahok?
Bisa jadi Ahok memang salah karena menyerempet ‘area sensitif’ menjelang pilkada paling seksi dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia ini. Pilgub rasa pilpres, begitu kata banyak orang. Area itu adalah menyangkut ayat suci dari kitab suci.
Tetapi menurut saya, yang jauh lebih salah adalah orang yang dengan maksud tertentu sudah mengedit, memotong-motong, dan menyebarkan video pidato Ahok yang lantas kemudian menjadi viral itu.