Ahok memang tidak membuat programnya sendiri, sedikit sekali mungkin yang ia ‘ciptakan’. Ah, masak iya sih Ahok ini ‘miskin’ ide? Lho kok bisa seperti itu? Iya, bisa aja sih, tapi tak gitu gitu juga kali.
Karena apa-apa yang orang kritik tentang dirinya bisa jadi benar, dia itu sebenarnya hanya meneruskan apa yang sudah dipikirkan oleh gubernur-gubernur pendahulunya. Tapi, so what gitu lho...Mungkin saja mereka itu memanglah gubernur gubenur pemikir atau gubernur pencetus.
Seperti program kali bersih, MRT, Rumah susun, taman kota, pasar tradisional dan sebagainya. Tetapi apakah meneruskan saja jauh lebih mudah daripada mereka yang mencetuskan ide tersebut? Ooh, ternyata tidak.
Mari kita lihat dengan mata kita yang terbuka lebar. Begini ya, ada kata-kata bijak yang berkata bahwa bicara itu tak semudah bacotnya seorang motivator. Sama juga, melakukan sesuatu itu tak seindah dan segampang bacotnya politikus. Ini realitas.
Mencetuskan ide atau menggelontorkan ide itu siapa saja bisa loh. Membuat pergub itu gampang sekali. Membuat rancangan pembangunan kota itu tak sulit-sulit amat. Yang berat justru adalah untuk memulainya. Jangan sampai kita hanya jadi gubernur pencetus ide, konseptor tetapi tidak pernah bisa menjadi eksekutor. Jangan hanya sebatas menjadi gubernur pemikir tetapi jadilah gubernur pelaksana, artinya laksanakan apa yang sudah dikonsepkan, jangan hanya duduk diam tak ada aksi. Itu.
Kalau hanya sampai di brilian dalam berwacana saja, tetapi tidak pernah ada niat tulus mengeksekusinya, tidak berani mengambil resiko untuk memulainya, tidak punya nyali melawan para begundal-begundal DKI penghambat pelaksanaan pembangunan, ya mending nggak usah berkomentarlah.
Apalagi umpamanya, sudah merancang sebuah proyek yang hebat-hebat, indah-indah tapi tak pernah memulainya entah oleh karena hal apa, ya susah juga. Ini sama saja dengan asbun semata alias asal bunyi doang jadinya. Tekad dan keberanian sangat dibutuhkan.
Apa yang Dilakukan Ahok?
Mengeksekusi apa yang sudah dicetuskan para pendahulu, itu sudah jelas. Membumikan apa yang hanya ada dalam angan para pendahulu. Membuat nyata apa yang sudah ada di atas kertas berpuluh-puluh tahun lamanya.
Hanya orang gila dan tak waras yang tak mau mengakui ini. Jokowi pernah bilang, semua rancangan hebat sudah ada sejak jaman dulu, tetapi semua itu hanya ada di atas kertas saja. Tidak ada yang betul betul mau dan berani memulainya. Semua itu akhirnya baru dimulai pada jaman Jokowi dan Ahok memimpin. Ada apa ini? Ya, tolong catat dulu itu baik-baik.
Makanya tak heran kalau Ahok sampai bersuara seperti ini, "Saya sampaikan dengan jelas, semua program kali bersih sejak zaman Sutiyoso, sejak zaman semua gubernur (jauh sebelumnya). Semua program LRT, MRT sejak zaman semua gubernur. Rumah susun dari semua program gubernur. Pertanyaannya, gubernur mana yang dapat mengimplementasikan?"(Ahok, Jakarta Selatan, 1/10/2016).
Menjadi konseptor itu terkadang tak terlalu banyak mendapat perlawanan dan jauh lebih mudah ketimbang menjadi eksekutor. Menjadi eksekutor sudah jelas akan mendapat banyak sekali perlawanan di lapangan. Banyak pertentangan dan ketidaksukaan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan. Ahok justru jadi dua-duanya, konseptor dan eksekutor. Sebab ada juga konsep-konsep barunya tentang penataan kota Jakarta dan perbaikan birokrasi yang dicetuskan, lalu kemudian diimplementasikan, dieksekusi supaya bisa segera jalan.
Tidak usalah kita berpanjang lebar membicarakan apa-apa saja yang sudah ‘dipaksa’ begitu rupa oleh Ahok supaya program yang hanya jalan di tempat alias mandek supaya bisa segera jalan pelaksanaannya. Tapi untuk sekedar mengingatkan kita, dan supaya paradigma kita tidak hanya terpelihara dan menjadi begitu terpuruk dalam sebuah tempurung, maka okelah tak mengapa saya torehkan di sini sedikit di antara yang banyak itu. Semoga mata hati kita yang mungkin sementara menutup, bisa kembali terbuka lebar, terbangun dari tidur.
1. Program Mass Rapid Transit (MRT)
Program ini sudah dirancang dan dicetuskan sejak hampir 30 tahun lalu. Tetapi kok, masak iya sih dalam puluhan tahun tersebut proyek ini tidak bisa jalan-jalan juga. Bukankah dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan? Apa selama puluhan tahun itu tidak pernah terbesit kemauan sedikitpun untuk memulainya? Atau oleh karena hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok maka proyek ini nggak jalan-jalan? Atau karena hal lain apa? Sungguh amat sangat mengherankan. Kenapa harus tunggu Jokowi dan Ahok datang dulu baru semuanya itu dimulai? Mikir.
MRT Jakarta, singkatan dari Mass Rapid Transit Jakarta atau Angkutan Cepat Terpadu Jakarta adalah sebuah sistem transportasi transit cepat yang sedang dibangun di Jakarta. Bila kita meniru Singapore, MRT sebetulnya dapat menuntaskan hampir seluruh kemacetan di jalan-jalan utama pusat kota. Puluhan tahun hal ini hanya sebatas wacana, tak pernah lebih. Dan, alhasil proses pembangunan baru dimulai pada tanggal 10 Oktober 2013, itu jelas di jaman kepemimpinan Jokowi – Ahok.
Saat ini proyek tersebut digenjot habis-habis oleh Ahok dan diperkirakan bisa selesai pada tahun 2018, bertepatan dengan adanya Asian Games di Jakarta. MRT tentu akan menjadi kebanggaan warga Jakarta, dan dapat dinikmati oleh warga Jakarta juga.
Jalur MRT Jakarta rencananya akan membentang kurang lebih ±110.8 km. Sesuai rencana awal, terdiri dari Koridor Selatan – Utara (Koridor Lebak Bulus - Kampung Bandan) sepanjang ±23.8 km dan Koridor Timur – Barat sepanjang ±87 km. Bahkan supaya dapat disaksikan dan dipantau proses pembangunannya secara transsparan oleh publik, maka sudah di sediakan website khusus untuk itu, yang selalu diupdate secara berkala. Dapat Anda nikmati sajiannya di sini http://www.jakartamrt.co.id/home/id. Lengkap dan mengenyangkan.
Penyelesaian pekerjaan konstruksi MRT Jakarta koridor Selatan-Utara Fase 1 (Lebak Bulus - Bundaran HI) secara keseluruhan telah mencapai ± 54,50%. Dengan rincian secara garis besar adalah, untuk pekerjaan proyek pada struktur layang telah menyelesaikan 36,56% dan struktur bawah tanah sebesar 72,60% (data per 31 Agustus 2016). Secara umum, pekerjaan konstruksi yang tengah dilakukan saat ini antara lain pekerjaan konstruksi area depo MRT, pekerjaan pembuatan pondasi kolom jalur dan kolom untuk stasiun layang, pekerjaan pembangunan struktur boks stasiun bawah tanah, serta pekerjaan pembuatan terowongan jalur bawah tanah. (Sumber: www.jakartamrt.co.id ).
Kenapa baru sekarang dimulai? Sayang sekali ya. Kalau saja hal ini sudah dimulai tak lama setelah dicetuskan idenya puluhan tahun yang lalu, mungkin saja kini Jakarta sudah dikelilingi banyak jalur MRT, seperti yang dapat kita saksikan di banyak kota besar dunia lainnya.
Pertanyaan yang sama kembali muncul. Kenapa tidak dari dulu, kenapa baru sekarang? Pemprov DKI Jakarta sementara membangun sebanyak dua dari tujuh rute Light Rail Transit (LRT) tahun ini juga.
Dua rute yang akan dibangun yakni koridor satu dengan rute Kebayoran Lama-Kelapa Gading dan koridor tujuh dengan rute Kelapa Gading-Kemayoran-Pesing-Bandara Soekarno-Hatta. Proyek pembangunan ini sudah sementara dijalankan, kalau Anda jalan di seputaran Kayu Putih dan Kelapa Gading, saya sering lalui rute itu, jelas terlihat pembangunannya sementara dikebut.
Proyek light rail transit (LRT) atau kereta ringan berkecepatan 60 – 80 km per jam ini bakal melewati banyak rute. Moda transportasi ini juga memiliki banyak tempat pemberhentian. Ada beberapa rute layanan yang rencananya bakal diakomodasi oleh moda transportasi modern ini. Proyek ini bakal dibangun dua tahap, dengan total panjang 83,6 kilometer (km). Tahap pertama meliputi rute Cibubur-Cawang, Bekasi Timur-Cawang, Cawang-Dukuh Atas dengan 18 stasiun dan panjang 42,1 km.
Memang pencetusan ide tersebut sudah sejak lama, sejak jamannya gubernur Fauzy Bowo. Tetapi lagi-lagi, masak iya sih sejak jaman itu, harus menunggu Ahok untuk memulainya? Tidak usah beretorika panjang lebar, semua ini sebetulnya hanya tergantung niat baik dan kemauan. Ada niat baik bekerja dan kemauan bekerja keras, atau hanya sebatas wacana, itu pertanyaannya.
Ada begitu banyak sungai dan selokan yang dikeruk. Sampah-sampah hampir setiap hari dibersihkan, mungkin berton-ton banyaknya. Pemerintahan Ahok tentu sadar betul, membersihkan sungai dan selokan tidak boleh hanya sekedar himbauan. Sungai dan selokan tidak akan menjadi bersih dengan retorika dan kemahiran kita berpidato secara santun. Tidak akan pernah. Sungai dan selokan akan menjadi bersih jika dibersihkan. Sesederhana itu. Makanya Ahok pernah bilang, untuk menjadikan sungai bersih dia sampai harus mencopot dan mengganti beberapa pejabat terkait. Perlu usaha dan kerja nyata.
Maka setelah itu, masyarakat dan semua pihak tentu harus disadarkan sesadar-sadarnya supaya tidak membuang sampah lagi secara sembarangan. Sungai jangan dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Ada harga yang harus dibayar dalam hal menciptakan sungai-sungai yang bersih dan indah.
Bila perlu, ikuti kota-kota besar di luar sana yang mendenda dengan tegas mereka yang kedapatan membuang sampah sembarangan, apalagi bila sampahnya dibuang di selokan dan sungai. Tindak tegas setegas polisi menindak para pelanggar lalulintas jalan. Masalah kebersihan tidak boleh dianaktirikan.
Dari jaman gubernur sebelum-sebelumnya seakan pembenahan birokrasi menjadi program unggulan dan menjadi keniscayaan dalam menciptakan pelayanan masyarakat yang baik dan bersahabat. Itu betul. Tapi tidak ada yang berani dan setegas Ahok dalam hal pembenahan birokrasi.
Ahok tidak peduli popularitas dirinya turun di mata para birokrat yang dia ‘hajar’ itu. Karena itu jugalah, meskipun belum sempurna namun banyak sekali perubahan birokrasi dan pelayanan masyarakat yang kita jumpai di Jakarta ini.
Ahok juga memberi contoh, ia tidak sekedar memerintahkan birokrat yang dipimpinnya untuk melayani masyarakat. Gubernur mana yang setiap pagi menyempatkan diri di depan kantornya untuk menyambut warga yang antri membawa berbagai keluhan dan keresahan mereka? Jika ada yang benar-benar harus ditangani cepat, Ahok pun segera memberi solusi, dan jawaban. Setiap pagi ia harus sarapan berbagai macam keluhan dan laporan warga.
Dia juga tidak pernah menyiapkan press conference atau press release yang sudah dibuat dan diatur-atur sedemikian rupa ketika lagi menghadapi suatu masalah, sebab bagi dia kebenaran tidak untuk ditutup-tutupi. Jadi, pertanyaan apa saja yang diajukan wartawan akan dijawab secara spontan, lugas, serta tanpa dibuat-buat. Pertanyaan apa saja dia akan jawab tanpa diatur-atur terlebih dahulu. Silakan Anda cari tau di youtube, banyak videonya.
Semua rapat-rapat dan pertemuannya dengan siapa saja, bila itu berhubungan dengan kepentingan publik dan kotanya, maka selalu saja diupload ke youtube secara terbuka dan transparan.
Meskipun pada akhirnya ternyata banyak orang yang berpikiran picik dan licik yang kadang mengutip sepenggal-sepenggal video tersebut lalu disambung-sambung seakan-akan dan seolah-olah....Tentu dengan maksud dan tujuan mereka sendiri. This is kind of stupid!
Agar dapat mewujudkan perampingan birokrasi pegawai negeri sipil (PNS) yang dinilai gemuk, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bersama Tim Kajian Reformasi Birokrasi melakukan pemetaan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) PNS yang ideal di lingkungan Pemprov DKI. Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat juga sudah pernah mengatakan bahwa gaji yang diterima PNS DKI cukup tinggi, namun hal itu tidak sebanding dengan beban pekerjaan yang diemban PNS itu sendiri. Makanya perlu ada reformasi.
5. Pemangkasan Anggaran yang Tak Perlu
Ini adalah ide brilian Ahok, ia tak mau meniru gubernur-gubernur sebelumnya yang terlalu ‘takut’ terhadap tidak tercapainya penyerapan anggaran.
Ahok ini lain. Dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shibab, ada seorang ahli pemerintahan kota yang bertanya kepadanya waktu itu, sambil berkata bahwa katanya pemerintahan Ahok ini kalau dilihat dari penyerapan anggaran maka adalah yang terburuk dalam 30 tahun terkahir, penyerapan anggaran katanya lagi hanyalah berkisar di angka 40%.
Lalu apa jawab Ahok? Ia. Penyerapan anggaran mungkin sedikit atau paling rendah di jaman ia memimpin, tetapi dengan itu ia telah justru menyelamatkan dana sebesar triliunan rupiah. Ini adalah yang terbanyak dalam sejarah di Jakarta ini.
Apa gunanya bangga dengan penyerapan anggaran sih? Kalau pun anggaran yang terserap itu 100%, lantas apa yang mau dibanggakan coba? Kalau penggunaannya benar dan tepat sasaran ya iya, tapi kalau nggak? Bila kenyataannya di lapangan tidak ada satupun yang terlihat jelas yang sudah dibangun, terus buat apa penyerapan anggaran tersebut? Apa yang dibangun tahun-tahun sebelumnya oleh gubernur-gubernur sebelumnya dengan serapan anggaran yang besar?
Sudah bukan rahasia lagi, hampir di setiap daerah, penyerapan anggaran adalah ladang mencari untung para penguasanya. Alasan beli ini dan itu padahal tidak dibeli. Alasan bangun ini dan itu padahal tidak ada pembangunan sama sekali, atau kalaupun ada maka sudah dikebiri kiri-kanan. Pokoknya yang penting anggaran terserap. Ini yang justru mau diubah oleh Ahok, karena dia bukanlah gubernur yang mata duitan. Itu. Tetapi banyak orang salah kaprah soal serapan anggaran ini.
Ada contoh bagus untuk itu. Provinsi DKI Jakarta dua tahun lalu memangkas anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tau nggak berapa yang berhasil dipangkas setelah diselidiki penganggaran tersebut ternyata banyak nggak benernya? Anggaran yang dipangkas jumlahnya tak kurang dari Rp 2,4 triliun.
Ahok menjelaskan bahwa pemangkasan itu untuk menghindari kebocoran anggaran dalam APBD. Dia mencatat anggaran Rp 2,4 triliun itu dipangkas dari pos yang dianggap mubazir dan sama sekali tidak perlu. Kalau tidak perlu belanja ya ngapain dibelanjakan, kan gitu.
Tapi, yang terjadi selama ini lain, supaya terlihat ada aktivitas pembangunan dan pembelanjaan, anggarannya terlihat dipakai, ya belanja saja apapun yang penting belanja meskipun kita gak butuh barangnya. Padahal sejatinya, kalau gak diserap ya ditabung.
Itu baru salah satu contoh pemangkasan di salah satu dinas yang ada, belum lagi di dinas-dinas yang lain. Ini artinya menyelamatkan uang negara. Jadi stop salah kaprah dalam hal penyerapan anggaran. Meminjam istilah Ahok, mau dia terserap kek nggak terserap kek emang gue pikirin, yang penting gue selamatkan uang negara dari tangan-tangan yang salah.
Istilah saya, uang itu diselamatkan dari para ‘maling berdasi’ yang bercokol dan memakai baju birokrat DKI. Untung bagi kita ada Ahok, malang bagi mereka. Kesempatan untuk nyuri dipersempit. Leher pun tercekik karena gak bisa nyolong lewat proyek dan pembelian barang gak jelas juntrungannya.
6. Parkir Meter/Elektronik
Sistem parkir meter yang menggunakan Terminal Parkir Elektronik (TPE) sudah dimulai sejak akhir 2014. Nah, rupa-rupanya di awal penggunaannya, masih banyak warga DKI yang bingung dan tak begitu mengerti. Seiring berjalan waktu, kini warga mulai terbiasa. Bahkan kebijakan ini mampu mengatasi parkir liar di beberapa jalan.
Bukan hanya itu, parkir meter kini juga menjadi salah satu program unggulan yang dikembangkan Pemprov DKI Jakarta. Jika dikelola secara baik dan bersih, menurut Ahok pendapatan dari parkir justru bisa mencapai Rp 100 juta per hari. Anda bayangkan sendiri.
7. Relokasi dan Membangun Rumah Susun
Banyak pihak tak menduga betapa beraninya Ahok memindahkan warga Kampung Pulo di bantaran sungai Ciliwung. Bahkan aksi relokasi itu, sempat diwarnai bentrokan antara warga dengan aparat. Apalagi ada yang turut memanas-manasi dan seakan berbicara atas nama HAM. Orang-orang seperti Dhani, Sarumpaet, Lulung, Yusril adalah segelintir di antara yang banyak lainnya yang berkoar-koar anti penggusuran, padahal niatnya gak jelas banget.
Ini jelas aneh. Bagaimana mungkin kita membangun kesejahteraan warga. Kita hendak meminimalisir banjir. Merapikan kota dan sebagainya itu tanpa relokasi? Menggusur itu beda dengan direlokasi. Bahkan baru-baru ini ada cuitan atau twit dari Ridwan kamil mengenai hal ini dalam rangka ‘pembelaannya’ terhadap relokasi warga, sebab dia juga setuju dengan program relokasi warga. Ini sebuah keniscayaan dalam membangun Jakarta yang lebih baik.
Relokasi yang dilakukan Ahok pada September tahun lalu umpamanya telah membuat sejumlah warga berhasil dipindahkan ke Rumah Susun Sederhana Sewa Jatinegara Barat, di Jakarta Timur.
Jualan anti penggusuran adalah jualan klasik setiap calon gubernur dari waktu ke waktu. Jualan ini kadang dipoles dan dipolitisasi sedemikian rupa supaya warga akan melihat mereka sebagai ‘pahlawan rakyat kecil’. Pahlawannya para wong cilik. Tetapi coba tanya bagaimana mereka akan melakukan pembangunan dan melebarkan sungai, serta menata kota tanpa merelokasi warga? Paling mereka akan berkelit dengan bahasa klasik mereka juga, “Ooh ada...nanti yah kita sampaikan pada waktunya..” Ember bocor!
8. Membentuk PPSU
Melalui peraturan gubernur (pergub) tentang perekrutan para pekerja penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU), Ahok sudah membuat sejumlah pasukan yang ditugaskan untuk menangani persoalan darurat dan kecil di seluruh dan seputaran Jakarta.
Misalnya, untuk membersihkan sampah yang menyumbat saluran air, untuk memunguti sampah yang dibuang orang tak bertanggung jawab secara sembarangan, untuk menambal lubang kecil di trotoar, dan masalah kerusakan pada sarana dan prasarana umum di Jakarta lainnya.
Dengan seragam oranye, PPSU itu pun lalu ditempatkan berdasarkan zonasi tertentu di setiap kelurahan. Satu zona misalnya, satu ruas jalan atau taman, bisa diisi 2-3 pekerja yang dibagi dalam 2 giliran kerja dari pagi hingga malam. Satu kelurahan akan mendapatkan 40-70 pekerja, tergantung luas wilayah dan jumlah penduduk.
Apakah berjalan baik dan ada manfaatnya? Sangat jelas ada. Merekalah ujung tombak dan garda terdepan Jakarta menjadi lebih bersih, lebih indah, dan lebih terawasi.
Beberapa bulan lalu, selokan di depan tempat tinggal saya di daerah Kayu Putih mampet luar biasa oleh karena timbunan daun kering, ranting pohon, dan sampah-sampah plastik. Airnya sampai meluap ke jalanan dan baunya busuk sekali. Saya lalu teringat ada program atau aplikasi qlueuntuk melaporkan keluhan apa saja di kota Jakarta ini.
Nah, saya lalu daftar segera, kemudian saya foto selokannya dan kirim melalui aplikasi itu. Tak menunggu lama tiba-tiba ada balasan, dot merah berkedip, dengan catatan yang ditampilkan adalah bahwa laporan sudah diterima dan dalam proses penanganan. Keesokan harinya pasukan berseragam orangedatang lengkap dengan peralatan mereka. Selokan dibersihkan dan air got langsung lancar mengalir. Ini contoh sederhana saja. Tahun-tahun sebelumnya mana ada seperti ini? Kepada siapa kita harus melaporpun rasanya kita nggak tau tuh.
9. Penerapan Electronic Road Pricing
Ini juga adalah idenya Ahok. Ia bahkan sudah menandatangani Peraturan Gubernur (pergub) terkait Electronic Road Pricing atau sistem berbayar elektronik bulan July yang lalu, dan tak mau menunggu belasan atau puluhan tahun terlebih dahulu. Diharapkan enam bulan ke depan penerapan ERP ini sudah bisa dilakukan. Proyek ini diberikan melalui tender dan alat ERP yang akan dipasang itu harus standard internasional. Dengan ini juga maka diharapkan bakalan dapat mengurangi kemacetan secara signifikan.
Itulah beberapa hal yang sudah dan sementara Ahok kerjakan. Semoga tidak semakin banyak kampanye buta yang benar-benar memakai prinsip ‘Asal Bukan Ahok’, yang dengan gelap mata menisbikan apa-apa yang sudah dilakukan Ahok untuk Jakarta selama ini. Kita jangan jual janji, tetapi jualah bukti.
Anda harus melakukan sesuatu supaya kelak Anda akan dikenang. Dan apa yang akan Anda lakukan itu terserah masing-masing Anda. “The secret of getting things done is to act!” Itu kata Dante Alighieri. Kalau kata saya, “Bekerjalah dengan semangat membangun, dan membangunlah dengan jiwa seorang pekerja, bukan sekedar pemimpi...” Selamat bekerja! Kerja, kerja, dan kerja. ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H