Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama, Atheisme, Menghadirkan Sorga

5 Agustus 2016   18:19 Diperbarui: 5 Agustus 2016   19:17 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi mereka sendiri sanggup menjelaskan fenomena alam dan kejadian apapun yang terjadi di dunia ini tanpa menggunakan alasan adanya Tuhan, atau dengan kata lain tanpa melibatkan Tuhan. Alam ini tidak membutuhkan Tuhan, maka manusia juga tak pernah butuh keberadaan Tuhan.  Menurut pandangan ini, keberadaan Tuhan tidaklah mereka sangkal, namun dapat dianggap keberadaan itu (eksistensi Tuhan) sebagai tidak penting dan tidak berguna sama sekali. Useless. Bagi mereka, Tuhan tidak pernah memberikan manusia tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari dalam hal apapun. Manusia punya kehendak bebas yang sebebas-bebasnya, dan Tuhan lebih baik tidur-tiduran saja di sorga sana.

Kemudian ada lagi yang menarik. Ateisme epistemologis memberi argumen yang cukup menggelitik, bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis mereka adalah apa yang disebut dengan  agnostisisme. Saya pernah membaca sebuah tulisan tentang imanensi, yang secara gamblang menjelaskan bahwa ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk dari pikiran seseorang. 

Katanya begini, setiap kita manusia yang hidup di muka bumi ini telah terkunci pada sebuah subjek tertentu. Oleh karena itulah maka menurut mereka kita semua punya keterbatasan. Lalu kemudian keterbatasan pada perspektif ini menghalangi hadirnya sebuah kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada Tuhan dan keberadaannya. Bentuk ateisme ini memiliki posisi yang jelas yaitu bahwa Tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsip, sehingga dengan demikian maka tidak dapat diketahui apakah Ia itu memang ada atau tidak. Mereka itu adalah golongan-golongan yang skeptis (skeptisisme)

Skeptisisme ini sebuah paham yang diturunkan dari pemikiran filsuf bernama Hume yang menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Tidak ada yang pasti, dan tidak ada yang dapat memastikan. Jadi tidak usah mencari-cari tahu karena kita memang tidak akan pernah tahu. Itu menurut mereka.

Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan lantaran segala macam kritik mereka terhadap agama itulah, maka istilah atheis lalu kemudian mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada keberadaan Tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pertama kali pada abad ke-18. 

Di Amerika saya bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang agama apapun yang ia anut, dan juga bahkan dengan yang tidak beragama (irreligious) sekalipun. Meskipun dengan yang terang-terangan mengaku ateis, mereka tetaplah kawan saya juga. Bisa jadi saya bukan orang yang amat sangat relijius, tetapi saya itu berusaha konsisten menjungjung tinggi nilai kemanusiaan dan keberagaman. Bagi saya pribadi, agama mesti diletakkan tidak lebih tinggi dari manusia dan kemanusiaan. Sebab agama ada untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia ada untuk agama.

Seiring berjalannya waktu, ada beberapa kawan saya yang luar biasa keras memahami atheisme mencoba menjelaskan kepada saya, dengan cara dan logika mereka tentunya, agar supaya saya mengamini keyakinan mereka bahwa secara ilmiah dan menerima ‘fakta kebenaran’ (menurut mereka) bahwa Tuhan sebetulnya memang tidak ada. Mereka berharap, kelak saya akan ikut keyakinan mereka. Saya cukup mendengarkan mereka saja tentunya, tanpa perlu menghakimi. Kalau itu yang mereka yakini ya monggo, tetapi tentu jangan juga paksa saya. Maka berbagai tanggapan logis dan ilmiah sudah juga pernah saya sampaikan lewat beberapa tulisan saya di ‘ruang diskusi online’ yang kita bentuk saat itu. Kita tetap berkawan setelahnya, sebab beda pikir tidak harus membuat kita berantem. Lumrah, wajar, dan logis.

Hari-hari ini, dengan perkembangan teknologi yang mutakhir dan percepatan pertukaran informasi yang sangat masif dan seolah tanpa batas lagi (borderless), maka kerap kita jumpai banyak diskusi, perdebatan, dan lalu pertukaran informasi antara kaum theis dan yang atheis terus meningkat. Hari ini tak kurang dari 2,3% populasi dunia mengaku diri sebagai atheis. 

Bagaimana Menyikapi Ateisme?

Seberapa kuatpun kita hendak menolak keberadaan atheisme, paham dan pengikut paham ini akan terus bermunculan bak jamur di musim hujan. Karenanya, mau tidak mau kita harus hidup berdampingan, antara yang percaya Tuhan (theis) maupun yang tidak percaya. Bagi orang yang percaya Tuhan tentu meyakini juga bahwa yang atheis itu pun tetaplah merupakan ciptaan Tuhan, seberapa keraspun mereka menolaknya. Oleh sebab itu, sangat tak layak dan tak pantas memusuhi apalagi mendiskreditkan mereka saban kali kita berdiskusi dengan mereka. Ada cara lain yang lebih baik dan lebih efektif.

Kebenaran memang harus terus diperjuangkan. Agama ada untuk memperjuangan nilai-nilai yang sudah diyakini semenjak agama itu diturunkan, atau dilahirkan. Katanya, agama lahir dari ‘rahim kebenaran’, dan rupanya ini diyakini oleh hampir semua pemeluk agama. Makanya semua mengaku berdiri di atas kebenaran. Boleh-boleh saja. Agama di Indonesia yang diakui pemerintah kan hanya 5, makanya janganlah kemudian antar agama ini saling berantem nggak  jelas hanya oleh karena perbedaan keyakinan dan prinsip kehidupan tertentu. Terus-terusan berkelahi dan berantem untuk sesuatu yang bukan esensi adalah memalukan, hanya akan menciptakan bermacam-macam sensasi keagamaan yang bikin muak banyak orang. Tak heran sikap-sikap seperti ini akan menjadi bahan tertawaan kaum atheis, di seluruh pelosok, di sepanjang masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun