Presiden Jokowi saat ini sementara bekerja sangat keras menciptakan berbagai infrastruktur di Indonesia. Pemerintahan ini tentu sudah melihat jauh ke depan bahwa betapa pentingnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Tetapi toh masih saja banyak kicauan yang mengeritiknya sehubungan dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran tersebut.
Tentu kita semua tahu, sejak jaman nenek moyang kita, permasalahan bangsa ini yang selalu menghambat pertumbuhan dan kemajuan dalam segala bidang adalah kurangnya atau miskinnya infrastruktur penunjang. Alhasil, semua biaya jadi mahal. Biaya transportasi. Biaya pengiriman. Biaya pembuatan. Biaya pendidikan. Biaya ini dan itu. Apa-apa semuanya mahal. Semuanya.
Inilah mengapa pembangunan infrastruktur adalah harga mati. Perekonomian Indonesia dan berkembangnya kehidupan sosial kemasyarakatan pastilah amat bergantung pada kualitas dan kuantitas infrastruktur yang ada. Jalan, jembatan, airport, dermaga, suplai listrik, suplai BBM mesti benar-benar dibangun, diperbanyak, lalu ditingkatkan kualitasnya. Belum lagi apa yang diistilahkan sebagai ‘soft’ infrastruktur semacam kesejahteraan sosial (Ahok membahasakannya sebagai keadilan sosial), pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Hal-hal seperti ini tidak dapat dianggap enteng. Jokowi sudah betul bila memfokuskan pembangunan infrastruktur merata di berbagai wilayah negeri ini, dan tidak hanya terpusat di Jakarta saja.
Pembangunan infratruktur memang harus Indonesia sentris tapi bukan Jakarta sentris atau Jawa sentris. Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau, dan terbagi dalam banyak wilayah kependudukan. Semuanya butuh infrastruktur. Dalam membangun infrastruktur tidak boleh ada ‘anak emas’ dan ‘anak tiri’. Jakarta dibangun. Sulawesi dibangun. Papua dibangun. Begitu seterusnya.
Menurut data dari World Economic Forum tentang Global Competitiveness Index (GCI tahun 2013-2014), untuk urusan infrastruktur maka terlihat posisi Indonesia berada di ranking 61 dari 148 negara. Ini tidak jelek-jelek amat tentunya, namun juga tidak bagus-bagus amat. Setelah krisis keuangan di akhir tahun 90-an yang melanda Indonesia dan Asia, perkembangan dan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia justru terlihat melambat. Lantas apa konsekuensinya? Melambatlah pertumbuhan ekonomi. Atau dengan bahasa lain, pertumbuhan ekonomi tidak kesampaian mencapai titik paling potensialnya. Kan kita sendiri yang rugi kalau begitu.
Secara Sederhana Bagaimana sih Hubungan Infrastruktur Terhadap Pengembangan Perekonomian di Indonesia?
Sederhananya begini. Kurangnya dan miskinnya infrastruktur di Indonesia menyebabkan biaya-biaya logistik meningkat tajam. Coba tengok harga air mineral di Papua umpamanya, lalu bandingkan dengan harga air mineral di Jakarta atau Surabaya, jomplang banget kan? Nah, semakin tinggi biaya-biaya logistik maka otomatis semakin berkurang atau menurun daya saing dan daya tarik iklim investasi di Indonesia. Semakin susah, semakin mahal, semakin tak terjangkau segala sesuatu itu, maka akan semakin menurun daya pikatnya bukan? Ya seperti itulah. Competitiveness dan attractiveness iklim berusaha di Indonesia menjadi kurang bergairah, abis apa-apa mahal sih. Kenapa mahal? Ya itu tadi, kurang atau tidak adanya insfrastruktur yang mendukung. Makanya saya heran banget kalau masih ada orang yang meremehkan dan menghina perhatian serius Jokowi terhadap pengembangan dan percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia.
Di Indonesia ini, percayalah, apapun alasan Anda menolaknya, tetap saja fakta di lapangan berkata bahwa: Biaya transportasi di Indonesia mahal! Darat, laut dan udara sama saja, mahal. Serius. Makanya jangan pernah kita melecehkan atau menghina Presiden Jokowi yang antusias terhadap pembangunan toll laut seperti yang sudah diimpi-impikan selama ini. Karena perlu saudara-saudara sekalian ketahui, sudah untuk jangka waktu yang sangat lama transportasi laut kita itu jauh lebih mahal dibanding transportasi darat. Padahal, tidak semua daerah dapat dijangkau lewat darat.
Keadaan seperti itu tentu saja menyebabkan terciptanya ‘jurang pemisah’ antara satu daerah dengan daerah lain. Kesenjangan infrastruktur antara satu daerah dengan daerah lainnya juga dapat menyebabkan tekanan inflasi pada produk-produk yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia tersebut. Inilah juga salah satu contoh sederhana misalnya kenapa tak jarang kita jumpai buah hasil tanah sendiri justru lebih mahal daripada yang diimport. Terjadilah juga perbedaan harga di dalam negeri antar daerah yang gap-nya lumayan besar.
Beras, semen, bahan-bahan konstruksi, bahan pokok makanan, acap kali kita jumpai sangat berbeda antara yang dijual di Indonesia Timur dibanding yang dijual di Pulau Jawa atau Sumatera umpamanya. Lebih mahal yang dijual di Indonesia Timur. Inilah beberapa contoh yang menjadi fakta di lapangan, dan ini semua terjadi oleh karena biaya-biaya tambahan yang muncul dan membengkak mulai dari tempat produksi hingga sampai kepada pemakai atau pengguna akhir.
Ini tentu membuat para pengusaha Indonesia kehilangan kesempatan yang menguntungkan diolehkarenakan masalah-masalah logistik tersebut, utamanya transportasi, pergudangan, distribusi dan juga sistem pembayaran, lalu kemudian ini jelas menghambat bisnis untuk bisa berkembang.
Ambil contoh yang lain lagi. Negara kita tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Laut kita luas. Ikan kita banyak. Secara logika, tentu kita bisa kaya raya dengan hasil perikanan kita. Akan tetapi bicara bisnis perikanan tidak melulu soal tangkapan ikan semata. Ada masalah rantai distribusi di sana, penyimpanan, dan sebagainya. Tidak berkembangnya bisnis perikanan di Indonesia secara kasat mata tentu salah satunya adalah kurangnya infrastruktur pendukung. Pasarnya banyak dan luas, tetapi kita sangat minim atau kekurangan cold storage transportation. Itulah sebabnya juga kenapa Jokowi sangat getol menyelesaikan masalah kurangnya cold storage ini. Jangan heran, kalau misalnya bisnis holtikultura kita seakan tersendat-sendat, kalau tidak mau dikatakan masih jalan di tempat.
Kita perlu bersyukur ada sinergitas kerja antara presiden dan kementeriannya. Bu Susi ‘menghantam’ para pencuri ikan, sehingga kekayaan perikanan kita tidak dicuri semena-mena. Lalu Presiden kuat dalam menyiapkan infrastruktur. Mantap sudah.
Hal lain lagi mengenai infrastruktur yang belum mumpuni. Keterbatasan supply listrik. Contoh, di Manado (kota –bukan kampung- halaman saya) banyak warga masyarakat berteriak-teriak hampir tiap hari. Kenapa? Karena rupanya pemadaman listrik di sana sudah ‘kronis’. Sampai-sampai PLN dijuluki Perusahaan Lilin Negara. Bagaimana bisnis bisa berkembang kalau listrik sering padam tak kenal lelah dan tak tahu malu seperti itu?
Hal seperti ini terjadi di banyak tempat di negeri ini. Kendatipun di Indonesia melimpah sumber-sumber energi, namun toh tetap saja kita masih terkendala oleh adanya masalah-masalah internal yang menyebabkan kita kurang berkembang, keterbatasan finansial, kualitas sumber daya manusia, termasuk korupsi.
PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang menyuplai listrik ke seluruh Indonesia masilah sangat bergantung pada subsidi pemerintah. Kenapa harus disubsidi? Ya tentu saja oleh karena biaya-biaya produksi jauh lebih tinggi dibanding harga jual resmi. Ini kan artinya PLN ‘kehilangan’ duit untuk setiap kWh listrik yang mereka jual, bilamana tidak disubsidi pemerintah dengan angka yang sangat besar itu.
Pembangunan Infrasturktur di Indonesia dan Mimpi Menjadi Bangsa yang Besar
Pemerintah kita tentu sudah sangat menyadari betul betapa pentingnya membangun dan mempersiapkan infrastruktur. Makanya waktu itu ada perhitungan bahwa Indonesia butuh sekitar USD 450 billion untuk semua program pengembangan infrastruktur yang sudah direncanakan pemerintah selama periode 2015-2019. Tetapi, pemerintah hanya bisa menggelontorkan anggaran 50% yaitu sekitar USD 230 billion saja. Nah, untuk sisanya diperoleh dari sektor swasta 30%, dan 20% dari BUMN.
Sebetulnya sejak jamannya Presiden SBY, pemerintah mahfum betul tentang pentingnya pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia, demi menekan biaya logistik serta biaya-biaya lainnya, mendorong terciptanya iklim usaha yang atraktif, sehat, dan kompetitif. Makanya waktu itu munculah apa yang disebut sebagai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development) atau disingkat dengan MP3EI. Dengan tujuan utama jangka panjangnya yang amat mulia: Menjadikan Indonesia negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2025.Untuk mencapai itu langkah awalnya apa? Bangun dan persiapkan infrastruktur sebaik mungkin!
Kita sebetulnya bisa menjadi bangsa yang besar, bermimpi besar, dengan tentu juga berpikir besar, lalu kerja besar. Satu lagi, jangan lupa untuk investasi besar membangun infrastruktur.
Maka, pertanyaan kembali menyeruak muncul: Apakah program pemerintah menambah 35,000 MW supply listrik. Membangun tambahan 1000 kilometer jalan toll. Lalu kemudian membuat 3258 kilometer rel kereta api, serta menyiapkan 15 airport baru dan 24 pelabuhan baru, serta lain sebagainya itu adalah kesia-siaan belaka? Menurut Anda? ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H