Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketiadaan Perasaan dan Hilangnya Empati Terhadap Orang Lain

18 Juli 2016   17:04 Diperbarui: 19 Juli 2016   07:31 3377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman ini adalah zaman dimana setiap orang dapat dengan mudahnya memengaruhi orang lain, kapan saja dan dari mana saja. Era digital. Era tanpa batas, ditambah longgarnya batasan-batasan yang ada. 

Era komunikasi tak berbatas seakan memampukan setiap orang untuk melihat apa saja dari Internet, dan sekaligus memungkinkan setiap orang untuk juga memajang,  memosting apa saja yang  ia sukai. Mulai dari gambar tak senonoh sampai kepada tulisan vulgar. Mulai dari memuliakan diri sampai kepada menghina dan membunuh karakter orang lain (character assassination).  Ini adalah keniscayaan, semakin canggih sebuah era maka akan semakin ‘gila’ dan tak terkendali para pelakunya.

Tak jarang media sosial dijadikan pula ajang saling bantai dan serang, bahkan untuk hal-hal yang sebetulnya tak perlu. Tentu kita tak lupa beberapa hari yang lalu di saat kematian Ketua KPU Husni Kamil Manik, yang  lalu memunculkan tanggapan-tanggapan negatif. Sangat jelas terlihat betapa mudahnya kita menghakimi seseorang. 

Bertebaran di sana-sini komentar-komentar biadab dan yang sama sekali tak berprikemanusiaan. Media sosial dijadikan sarana menebar kebencian. Kalaupun bukan menebar kebencian, maka tak sedikit yang kehilangan empati dan nurani yang seakan mati. Kehilangan empati dan lenyapnya perasaan kasih menjadi tanda keburukan memaknai arti kemanusiaan yang sesungguhnya.

Memang kebanyakan dari kita cenderung beranggapan bahwa kebalikan dari kasih adalah benci. Tidak selamanya seperti itu, karena memang pada dasarnya lawan kata dari kasih bukanlah benci. Mungkin ada segelintir orang tidak membenci orang lain, tetapi dia lupa bahwa apa yang dia share, apa yang dia katakan, apa yang dia komentari, status apa yang dia update, cerita apa yang dia sampaikan, semuanya itu dapat sangat memengaruhi orang lain (kendatipun dia tidak sementara membenci).

Psikoterapis Rollo May dalam bukunya Love and Will menulis demikian: “Hate is not the opposite of love, apathy is.” Jadi, lawan kata kasih bukanlah benci melainkan apati. May lalu kemudian menjelaskan bahwa, Apathy is a state of feelinglessness…..affectlessness, lack of passion…indifference, it is a withdrawal of feeling….”Jadi pada intinya apathy adalah ketiadadaan perasaan atau miskin rasa terhadap orang lain.

Keadaan ini (apathy) dapat saja tumbuh secara bertahap mulai dari sikap yang nampaknya biasa-biasa saja seperti sikap cuek dan tak mau tahu, tak mau peduli, tetapi lantas kemudian bisa pula ia tumbuh menjadi sikap atau perbuatan kejam dan ‘menghancurkan’.

Misalnya orang yang selalu saja memunculkan status-status penghinaan, penghancuran karakter dan nama baik seseorang tanpa kebenaran yang jelas. Nah, secara psikologi saya amat meyakini orang-orang tersebut adalah mereka yang sudah ‘mati rasa’. Ketiadaan perasaan yang mengakibatkan ia akan super cuek dengan status yang ia pajang, semenyakit apapun dampaknya bagi orang lain. 

Dia tak peduli. Dia tak pernah merasa bersalah. Ini jelas prilaku orang-orang yang ‘sakit keras’ dan justru perlu berobat secara psikis. Ini gangguan yang kalau terus dipelihara maka akan semakin akut menggerogoti butir-butir emphaty, kasih, dan sikap tenggang rasa yang mestinya tetap ada serta bediam dalam diri setiap manusia.

Sikap apati ini dapat muncul dalam beragam bentuk dan berbagai turunannya. Orang dewasa yang memerkosa anak-anak lalu membunuhnya adalah salah satu fenomena apati. Lalu ada orang tua yang menghajar anaknya sampai babak belur hanya oleh karena anak tersebut mengajukan pendapat bersebarangan, ini juga adalah contoh sederhana adanya apati. Pemimpin yang sok berkuasa, bertindak tidak adil, dan yang selalu mau menang sendiri tanpa pernah mau mengakomodir pendapat serta permintaan orang lain juga adalah gejala-gejala apati.

Apati yang adalah wujud nyata dari hilangnya rasa, atau ketiadaan perasaan (miskin rasa) terhadap orang lain ini bermanifestasi dalam banyak bentuk. Orang-orang yang apati ini juga kebanyakan tak malu dan cakap dalam memanfaatkan fasilitas medsos sehingga dengan mudahnya mempertotonkan ‘sakit’-nya itu kepada orang lain. Sikap tak mau peduli semakin mencuat dan rasa dalam diri mereka justru semakin menciut.

Mereka hanya menaruh rasa terhadap perasaan mereka sendiri tanpa peduli perasaan orang lain. Tidak usah saya tulis di sini, tetapi Anda bakal menemukan siapa-siapa mereka lewat apa-apa yang mereka share dan tuliskan. Bahkan ada beberapa yang di mata saya apati-nya sudah tingkat dewa. Sudah sangat kronis. Bisa jadi tak terobati lagi. Akutnya minta ampun! Miskin perasaan. Miskin afeksi. Miskin kasih.

Para pesakitan yang mengidap apathy akut ini acap kali dalam diri mereka muncul banyak prilaku serta rupa-rupa ragam wujudnya. Apa saja itu? Banyak. Umpamanya saja prilaku pasif seratus persen, introvert maha dahsyat, isolasi diri tak terkendali, sampai kepada prilaku beringasan dan ganas. 

Wujudnya yang lain misalnya nampak pada sikap cuek terhadap perasaan orang, masa bodoh, acuh tak acuh. Lama kelamaan sikap-sikap seperti itu akan berubah menjadi hilang rasa peduli, gila kekuasaan tak terhingga, serakah, represi, eksploitasi tanpa batas, dominasi tanpa kendali, dan sebagainya. 

Kalau dilihat dari gaya hidup, maka orang apati bisa dilihat dari gaya hidup yang mau kenyang sendiri, maju sendiri, menang sendiri, pintar sendiri, enak sendiri, mau benar sendiri, dan lain-lainnya. Ini tentu penyakit. Dan, semua penyakit mestinya diusahakan untuk disembuhkan bukan dipelihara.

Kerap kesombongan dan tinggi hati menjadi salah satu pemicu sikap apati. Muhammad Ali pernah dianggap sebagai petinju kelas berat terbesar sepanjang masa. Ia memenangkan 56 dari 61 pertarungan professional yang diikutinya. Ia juga telah memukul K.O lawannya sebanyak 37 kali. Semboyannya yang luar biasa masyhur adalah, “Akulah yang terbesar!”

Suatu hari, Ali duduk di dalam pesawat terbang menuju suatu tempat. Di dalam pesawat, selagi ia duduk, seorang pramugari lewat menyusuri lorong dimana Ali duduk. Setibanya di dekat tempat duduk Ali, pramugari ini meminta Ali untuk mengenakan sabuk pengaman. “Hemmm”, sang juara legendaris ini menyeringai lalu berkata, “Superman tidak memerlukan sabuk pengaman!”

Pramugari yang mendengar ucapan itu tersenyum manis dan menjawab pelan, “Superman juga tidak membutuhkan pesawat terbang.” Ali pun memasang sabuk pengamannya.

Semakin besar keberhasilan kita. Semakin besar kekuasaan kita. Semakin tinggi ilmu kita. Semakin kuat pengaruh kita. Semakin besar dan semakin tinggi apa yang kita miliki maka akan semakin besar juga resiko kita terjebak dan terpelesat jatuh. Semakin besar resikonya bila kita menganggap diri kita sendiri terlalu tinggi dan terlalu besar. 

Keakuan kita menyeruak muncul tanpa batas dan tanpa toleransi, lalu kemudian tak jarang otomatis membesarkan pula sikap apati kita. Semakin membesar dan meninggi seseorang, semakin mengecil dan memendek perasaan, afeksi dan kasih yang dimilikinya. 

Makanya jangan heran kalau banyak muncul pejabat yang tak mau peduli, orang kaya yang serakah dan tak mau berbagi, orang pintar yang sok tahu melulu dan tak mau mendengar. Mereka semua ada di sekitar kita, tak perlu kita cari jauh-jauh.

Sejarawan Skotlandia Thomas Carlyle mengemukakan bahwa kesukaran memang kadang-kadang berat bagi seseorang yang mengalaminya. Tetapi perbandingannya, bagi satu orang yang dapat menanggung keberhasilan maka ada seratus orang yang dapat menanggung kesukaran. 

Apa artinya? Thomas berpendapat bahwa bila ada 100 orang yang dapat menanggung beban kesukaran hidup yang diterimanya, maka hanya ada 1 orang yang dapat menanggung keberhasilan hidup yang diterimanya, selebihnya pasti akan jatuh atau berubah begitu keberhasilan sudah diperolehnya.

Oswald Chambers menulis, “Kenaikan tiba-tiba sering menyebabkan kesombongan dan kejatuhan. Ujian paling sukar di antara semua ujian untuk bertahan adalah keberhasilan.”

Semoga kita semua tidak menjadi orang-orang sukses yang berhasil gilang gemilang namun menjadi manusia-manusia yang apati, lalu kemudian kehilangan empathy dan menjadi miskin rasa atau mati rasa terhadap orang lain.

Jangan karena kepintaran, kekuasaan, keberhasilan, dan kekuataan serta kekayaan yang kita miliki lalu menjadikan kita kehilangan kasih. Ketiadaan kasih dan perasaan terhadap orang lain bukan hal sepele, meskipun Anda sendiri tidak pernah merasa sakit. Anda tidak pernah merasa bersalah, tetapi itu adalah penyakit. Dan seperti yang saya tuliskan di atas, penyakit mestinya disembuhkan bukan dipelihara.

Karena itu pula, perhatikan baik-baik status apa yang akan Anda update atau akan update. Tulisan apa yang akan Anda publish. Komentar apa yang rencananya akan Anda share. Opini apa yang hendak Anda tuliskan. You are what you write, sobat! ---Michael Sendow---

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun