Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pribadi: Jangan Nilai Seseorang Dari Luarnya Saja

15 Juni 2016   14:34 Diperbarui: 15 Juni 2016   14:40 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di NJ dan NY itu katanya sangatlah keras dan berat. Banyaknya pendatang dari berbagai negara, termasuk Asia dan tentu saja Indonesia, ini lalu kemudian menjadikan persaingan di dua negara bagian itu menjadi luar biasa keras. Saya sudah diwanti-wanti terlebih dahulu. Dengan persiapan sedikit uang dan kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan, kata orang di atas rata-rata sih, maka berangkatlah saya, Membawa rasa penasaran, dengan sedikit modal nekat, namun tetap juga dengan berbesar harap. Guru saya pernah mengajari bahwa pengharapan adalah salah satu kunci sukses.

Seminggu pertama di NJ dan NY saya mengalami stress tingkat tinggi. Sebulan pertama, saya tambah stress. Wah, ada apa ini kok tambah mumet saja hidup ini. Percaya tidak percaya ternyata memang sodara yang jemput saya sudah bilang bahwa nothing is so easy in this cruelty world. Eh, ternyata bener lo! Saya harus merangkak dengan susah payah untuk dapat mulai menghasilkan dan juga untuk dapat diterima belajar. Maklumlah, kita ini kan laiknya ‘warga negara kelas tiga’ (third class citizenship). Ya mau tidak mau harus siaplah, kan begitu.

Perjuangan sangat keras harus saya lewati hari demi hari tanpa henti. Pernah suatu ketika, tepatnya di bulan Agustus pada saat puncaknya summer time, dengan cuaca yang amat sangat panas, lebih panas dari Jakarta dan Manado, saya diberi schedule periksa kesehatan untuk suatu keperluan kerjaan. Acara periksa kesehatan ini sangat penting dan luar biasa menentukan. Nah, jadwal periksa kesehatan (pemeriksaan lab) di Cranbury (salah satu kota di NJ). Jaraknya ya sekitar 30-an kilometer dari kota dimana saya tinggal waktu itu, yaitu Edison. Kebetulan uang ditangan yang saya bawa memang sudah sangat pas-pasan. Tetapi saya harus tetap berangkat dong ya. Bola harus dikejar.

Saya sih sudah hitung-hitung. Untuk naik kereta sekitar 4,5 dollar, lalu dari stasiun kereta api naik taksi, ya paling bayar sekitar 20 dollar saja menuju ke laboratorium. Jadi untuk pulang pergi saya harus sedia sedikitnya 49.0 dollar lah. Di tangan saya ada 65 dollar waktu itu, sisanya masih bisa dipakai untuk beli makan seadanya, nggak apa-apa junk foodjuga oke. Dalam pikiran saya yang paling penting itu adalah supaya bisa sampai ke lab dengan baik, dan hasil pemeriksaan labnya akan oke-oke saja.

Turun dari stasiun kereta saya langsung cari taksi di sekitar stasiun. Menunggu begitu lama tetap saja belum ada tanda-tanda taksinya lewat. Padahal perut sudah mulai keroncongan. Tak kuasa menahan rasa lapar akhirnya saya menuju Burger King di seberang jalan. Lalu dengan lahap saya menyantap Burger yang cepat saji itu. Maklum perut kosong dan sudah minta diisi sesegera mungkin.

Setelah kenyang, saya menuju kasir untuk bayar. Saya bayar burger itu, hitungannya sudah sama kentang goreng dan air minum ya sekitar 4.5 dollar lah. Tetapi saya jadi kaget bin terkejut, dan lalu mulai gemetar sesaat,  kayak itu loh, ehhhm kayak disengat listrik tegangan tinggi. Kok uang di kantong saya tinggal 5 dollar? Jadi setelah bayar makanan saya yang 4.5 dolar praktis di tangan saya tinggal 50 cents dong. Alamak, gimana caranya bisa nyampe di lab kalau begini ujungnya, belum lagi untuk biaya pulang nantinya. Cemas, takut, dan stress kuadrat sayanya. Peluh bercucuran tak terbendung lagi, mana udaranya panas nggak kelulungan lagi, eh maksudnya nggak ketulungan lagi.

Saya sempat curiga ada yang nyopet uang di kantong saya sewaktu di jalan tadi. Ah, akhirnya saya buang jauh-jauh pikiran itu, sebab kereta sepi dan tidak ada yang berdesak-desakkan kayak di dalam metro mini atau transjakarta di Indonesia. Lalu kemana uangnya toh? Saya menduga bahwa uang itu bisa jadi jatuh sewaktu sayanya duduk selonjoran di bangku kereta. Salah saya sih, duduk kok selonjoran kayak orang nggak ada kerjaan saja. Tapi ya sudahlah, mau disesalin juga percuma sih. Apeeeesss nian.

Stress dan kelimpungan sendiri saya di pelataran stasiun kereta itu, karena jelas tidak mungkin saya cegat taksi sementara saya tidak punya sisa uang lagi. Yang tertinggal ya 50 cents itu tadi. Untuk apa 50 cents itu? Dipakai beli permen pun hanya dapat 1 biji kali. Saya hanya bisa berdoa dan terus berdoa. Meminta mujizat Tuhan terjadi saat itu juga di stasiun kereta itu pukul satu.

Waktu terus berjalan, tetapi mujizat tak kunjung datang, bukannya mujizat yang datang eeh malah yang tiba-tiba nongol entah dari mana, adalah seorang petugas security berbadan kekar, yang mungkin sedari tadi sudah mulai curiga melihat gerak gerik saya yang bingung dan planga plongo kayak orang linglung bin mencurigakan. Ia anggap gerak gerik saya amat mencurigakan. Jangan-jangan saya ini teroris katanya. Idih, amit-amit deh, saya kan nggak ada tampang teroris. Kesal juga sih, kan saya nggak ada tampang penjahat gitu loh. Sembarangan aja sekuriti itu....Hehehe.                                                                                                   

Akhirnya, saya tiba pada kesimpulan, tidak boleh menunggu lebih lama lagi karena lab bisa-bisa keburu tutup, apalagi kalau sudah terlalu sore. Harus segera bertindak nih. Lalu saya mesti bagaimana coba? Tak perlu berlama-lama otak saya langsung ambil keputusan untuk mulai jalan kaki saja menuju lab itu. Panas terik, jarak yang pastinya lumayan jauh, atau bahkan sangat jauh, ditambah lagi tidak ada persediaan air minum tidak membuat saya kepikiran untuk mundur atau bersurut langkah. Ah, tapi tidak boleh seperti itu. Maju terus adalah harga mati. “Semangat....”, begitu kata batin saya.

Perjalanan memang jauh dan menanjak. Lengkap sudah penderitaan saya ini. Sudah sekitar 1 jam lebih saya jalan, hari semakin menyore (istilah saya untuk bilang semakin sore). Karena panasnya cuaca maka beberapa kali saya pun harus berhenti sejenak untuk berteduh di bawah pohon rindang pinggir jalan. Istirahat pun tak bisa berlama-lama karena kejar waktu (bukan kejar tayang). Memang sih, sang waktu tidak akan lari namun harus saya kejar lah, kalau perlu kejarnya ya dengan berlari-lari, bayangkan coba. Betapa menderitanya saya. Anak Jakarta bilang, “Kasihan deh gue...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun