Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Apanya Sih yang Perlu Ditakutkan dari Si “Teman Ahok” Itu?

10 Juni 2016   13:52 Diperbarui: 10 Juni 2016   14:15 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak kemunculan kelompok anak-anak muda berjuluk ‘teman Ahok’ itu, nampaknya terjadi kegemparan dimana-mana. Ada jumpalitan sentiman yang mengayun ke sana ke mari seirama dengan panas dinginnya peta perpolitikan menjelang pilgub 2017 di DKI ini. Rupa-rupanya kehadiran TemanAhok lumayan diperhitungkan juga.

Sentimen-sentimen itu menerpa dan menghujam Teman Ahok bak benci dan cinta pada saat bersamaan. Silih berganti. Oh iya, itu nyata dan fakta loh ya. Lihat saja sentimen positif maupun sentimen negatif saling tumpang tindih yang harus diterima anak-anak muda dalam ‘rumah’ bernama Teman Ahok itu.

Orang bilang, sakitnya tuh di sini (sambil pegang dada kiri atau kanan), bila yang muncul sentimen negatif. Namun kemudian, enaknya tuh di sini (sambil pegang dada tengah) bila yang menyeruak muncul adalah sentimen positif. Itulah hidup. Itulah politik. Dan, itulah perjuangan. Tidak akan pernah ada jalan yang selalu mulus dan aman-aman saja bila kita hendak berjuang untuk sampai pada sebuah tujuan. Lalu kemudian apakah kita serta merta akan lari dari kenyataan itu? Mundur, atau langsung menurunkan layar yang baru saja terkembang? Tentu tidak.

Bagaimana dengan anak-anak muda dalam lingkup Teman Ahok ini? Tentu mereka bukan banci jalanan yang takut menghadapi guncangan dan terpaan. Mereka juga, di sisi lain, bukanlah Mahabarata atau Ramayana yang konon punya ajian atau ilmu maha sakti. Mereka hanyalah anak anak muda biasa yang punya idealisme dan harapan-harapan. Itu.

Lalu kenapa Teman Ahok ini seakan begitu dimusuhi dan dibenci oleh beberapa atau sekelompok orang? Entahlah. Apa mereka itu sebegitu takutnya dengan kehadiran anak-anak muda ini? Bisa jadi. Kalau iya, maka sungguh kasihan sekali. Benar-benar merasa terusik barangkali dengan kehadiran anak-anak muda ini sehingga menganggap anak-anak muda ini sebagai ancaman?

Salah satu pendiri Teman Ahok Amalia Ayuningtyas mendapat tuduhan dan fitnah keji dan tak jelas yang mengatakan bahwa sebenarnya dia itu tidak berjilbab, dan hanya supaya bisa menarik umat muslim untuk mendukung Ahok maka ia pun memakai jilbab. Sebuah fitnah dan tuduhan serampangan yang tidak berdasar sama sekali. Sungguh keterlaluan. Untung saja Amalia hanya menanggapinya dengan kalem dan sikap dewasa. Katanya, sudah biasa diperlakukan seperti itu.

Malahan yang melempar dan memberitakan isu tak jelas tentang hal tersebut akhirnya dituntut untuk meminta maaf oleh orang yang fotonya diambil tanpa ijin dan disebarluaskan. Pemilik asli foto itu Amelia Ayuningthias, memang wajah dan namanya hampir mirip dengan Amalia pendiri/aktifis Teman Ahok.

Tetapi sungguh amat memalukan melihat rasa ketakutan  berlebihan, serta kebusukan hati orang-orang yang hanya tau menuduh dan memfitnah tanpa bukti apapun. Mereka bekerja tidak lagi dengan memakai akal sehat, tetapi mungkin saja memakai akal bulus dan licik oleh karena bisa jadi adanya kebencian yang sudah membabi buta terhadap Ahok dan Teman Ahok. Ini tentunya luar biasa. Ya, luar biasa memalukan. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Hal ini sepele? No way!

Kebiasaan membuat berita palsu, tulisan fitnah yang tak berdasar bila terus menerus dilakukan dengan sengaja maka percayalah itu akan menjadi kebiasaan yang membudaya. Orang-orang yang melakukannya pun tidak akan pernah merasa bersalah, seolah itu biasa saja dan apa yang mereka lakukan pasti benar. Kebiasaan buruk acap kali memang seakan begitu mengasyikkan dan menyenangkan. Padahal fitnah adalah kekejian berat, haram hukumnya, oleh karenanya itu mestinya diupayakan untuk dihindari sebisa mungkin. Tetapi kalau sudah merupakan sebuah kebiasaan ya apa mau dikata. Kan begitu. Biar jadi pecundang pun tak menjadi soal, yang penting fitnah jalan terus.

Ada sebuah kisah tentang betapa dahsyatnya pengaruh segala sesuatu yang kita lakukan berulangkali. Pepatah ala bisa karena biasa terasa benar. Kebiasaan itu ya, perlahan namun pasti akan dapat membentuk karakter kita. Karakter yang terbiasa. Kita kerap tak menyadarinya, namun itulah yang terjadi, dan akan selalu begitu. Konon, di kala perpustakaan besar Alexanderia terbakar, maka hanya ada satu buku yang tersisa. Buku yang selamat dari api itu adalah sebuah buku yang biasa saja, tak menarik sama sekali. Lalu kemudian buku itupun akhirnya dijual dengan harga sangat murah, hanya beberapa sen. Pembelinya adalah seorang yang dikenal sangat miskin.

Seiring berlalunya waktu, akhirnya diketahuilah bahwa ternyata buku itu amat sangat berharga. Oleh karena mengapa? Jawabannya adalah oleh karena di belakang sampul buku itu tertulis beberapa kalimat pendek tentang keberadaan tempat persembunyian rahasia tentang sebuah batu sentuh. Yang dianggap ajaib. Nah, keistimewaan batu ini adalah bila disentuhkan dengan benda lain apapun maka benda lain tersebut akan berubah menjadi emas murni.

Tulisan pada sampul belakang buku itu menunjukkan dengan jelas bahwa lokasi keberadaan batu itu ada di pinggiran pantai Laut Hitam, tergeletak di antara ribuan batu lainnya di tempat itu. Perbedaan batu itu dengan batu lainnya adalah bila dipegang akan terasa hangat, sedangkan batu lainnya tetap dingin.

Pria yang membeli buku itu menjadi sangat gembira. Singkat cerita, pergilah dia ke pantai di Laut Hitam. Ia meminjam uang dalam jumlah besar untuk modal dia mencari batu tersebut. Setelah sampai di pinggiran pantai itu, cara yang dipakainya adalah memilih satu demi satu batu yang ada di situ, lalu melemparkan ke dalam laut setiap batu yang sudah dipegangnya, bila terasa batu itu tidak hangat. Ini dilakukan supaya dia tidak mengambil batu yang sama untuk kedua kalinya.

Menit demi menit, jam demi jam, bahkan hari demi hari sudah dilaluinya namun ia belum menemukan batu yang terasa hangat itu. Setelah berminggu-minggu mencari, tetap saja ia tidak menemukan batu itu. Selama setahun dia melakukan hal yang sama terus menerus, mengambil batu melemparnya ke laut. Batu yang dicari tak jua ditemukan. Dua tahun sudah dia melakukan hal yang itu itu saja. Di suatu petang setelah kesekian kalinya mengambil batu di pinggiran pantai itu tiba-tiba dia mendapatkan batu yang terasa hangat, namun oleh karena sudah menjadi kebiasaan, batu itupun tetap saja dibuangnya ke laut. Jadi saking terbiasanya dia melakukan hal itu, dia kemudian lupa tujuan utamanya. Yang dia lakukan ya kebiasaan itu tadi, mengambil batu dan melemparnya ke laut. Cerita batu sentuh ini saya kutip dari tuturan karya Anthony de Mello.

Nah itu dia, jadi jelas kan, karena sudah menjadi sebuah kebiasaan dan sudah terbiasa maka ia tetap saja membuang batu yang padahal sudah ia cari cari selama dua tahun. Kebiasaan para pembenci Ahok atau TemanAhok menebar tulisan fitnah pasti akan terbiasa seperti itu juga terus menerus. Mendarah daging dan melekat erat dalam setiap tindakan yang diambil.  Hal itu dilakukan berulang kali, bahkan ada yang bilang bahwa kebencian itu sudah terpendam lama terhadap Jokowi-Ahok semenjak tahun 2012 lalu. Maka, meskipun seumpamanya ada hal yang baik yang mereka temukan tentang Ahok atau teman Ahok namun tetap saja fitnah dan tulisan tak benarlah yang akan mereka tulis lalu sebarkan. Sungguh sakit. Sakitnya tuh di sini….di sini…di sini….ya, tepat di situ!

Media-media penuh sensasi yang sangat getol dan suka menyebarkan hoax, fitnah, serta tuduhan tanpa bukti rupanya tidak pernah bertobat. Mereka selalu saja berprilaku yang sama. Dalam kasus penyebaran foto dan keterangan hoax tersebut, akhirnya sesuai update terbaru, Portal Piyungan.com sudah menghapus foto tersebut, setelah dituntut dan diancam pemilik foto asli, yaitu Amelia Ayuningthias. Media yang lain yang ikut menyebarkan foto itu juga bisa jadi akan ikut dituntut. Tetapi belum ada satupun di antara mereka yang meminta maaf. Namanya juga kebiasaan ya untuk apa minta maaf, kan begitu?

Penyebaran paling pertama pun dilakukan secara picik yaitu menggunakan akun pseudodi FB, tak jelas, tak nyata, persis akun tuyul dari negeri antah berantah. Ini saja sudah menunjukkan betapa tak punya nyalinya si penyebar foto hoax itu. Apa mereka sudah sangat sadar dan ketakutan sendiri dengan niat busuknya itu? Eh, alih-alih memfilter, media-media yang keranjingan menyebarkan berita dan foto hoax belingsatan kesenangan rupanya. Bagi mereka, ini baru berita, inipun berita baru. Maka dengan tanpa mau menelusuri dan bersusah-susah mencari tau ala media professional,  ini malah langsung saja mereka serentak ikut menyebarkannya dan menambah bumbu-bumbu penyebab cerita. Sedap dan asoytentu saja bagi para penikmat cerita fiktif, hoax semacam itu. Tulisan itu langsung ditelan mentah-mentah. Bagi para pembenci? Oh jelas ini berita gembira, maka share pun langsung melejit ke angka ribuan. Apalagi untuk golongan atau generasi ‘share mania buta’, dimana yang penting bagi mereka pencet tombol share, ora peduli benar atau tidak isi beritanya. This is it.

Memang susah sih jikalau kebencian telah membutakan mata hati. Percayalah apapun pasti sanggup dilakukan, kendatipun itu haus dengan memfitnah dan menyebarkan hoax. Sungguh memiriskan dan kasihan sekali orang-orang seperti itu. Serius.

Socrates adalah seorang ahli filsafat sangat terkenal asal Yunani. Ia pernah mengajarkan tentang tiga saringan. Nah, 3 saringan ini mestinya dipakai oleh siapapun yang hendak menulis sesuatu. Media manapun yang bermaksud memberitakan sesuatu. Jangan hanya orientasinya tertuju penuh pada oplah, keuntungan penjualan, dan jumlah hits semata. Apalagi jika hanya dengan maksud melakukan propaganda dan menyerang seseorang atau sekelompok orang, dengan berita dan foto palsu bin fitnah. Itu sudah melewati batas kepatutan, dan norma atau etika jurnalistik yang benar.

Tiga saringan yang dimaksud Socrates itu adalah KEBENARAN, KEBAIKAN, dan FAEDAH (MANFAAT). So, apakah tulisan dan pemberintaan Anda mengandung ke-tiga unsur saringan tersebut? Kalau tidak, ya buat apa Anda publish, menjadi santapan khalayak ramai? Tidak perlu. Tidak benar. Tidak penting. Tidak bermanfaat. Jadikan saja itu konsumsi pribadi Anda. Apalagi kalau tulisannya fitnah dan hoax, maka saran saya cepat-cepatlah itu dibuang di tong sampah saja. Jauh lebih baik dan lebih terhormat. Kasus tabloid Obor Rakyat tempo hari mestinya sudah mengajari kita banyak hal.

Mungkin ada yang beranggapan ini sepele. Tidak. Hal ini sama sekali bukan perkara sepele, karena ini menyangkut nama baik orang, kehidupan dan perjuangan hidup orang lain. Dalam hal ini yang menjadi korban pemberitaan dua sekaligus, yaitu Amalia si pendiri/aktifisTeman Ahok dan Amelia yang fotonya dicatut. Makanya tak heran kalau Amelia si pemilik foto pun mengajukan komplain, memberikan klarifikasi, dan lantas kemudian menuntut media-media penyebar untuk MERALATpemberintaan tersebut dan lalu MEMINTA MAAF.

Namun toh Setelah itu pun masih saja ada yang mengatakan bahwa hal itu sebagai klarifikasi palsu, ini dan itulah, bahkan ada yang menelpon berkali-kali memakai hide number segala ke Amelia. Kasihan sekali. Sungguh lebih buta dari orang buta mereka itu. Menafikan kepentingan dan privasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri.

Lagi-lagi, bagi pembuat berita, penyebar foto hoax, terlepas dari niat dibalik semuanya itu. Terlepas pula dari rencana busuk apapun yang melatarbelakanginya. Dan atau demi apapun yang hendak kalian raih. Atau justru karena itu sudah menjadi kebiasaan yang terbiasa dilakukan, pertanyaan sederhananya tetap sama, “Apa sih yang kalian takutkan dari Teman Ahok ini?” Kok sampai segitunya yah….Keterlaluan. Ya, sungguh keterlaluan tau nggak!

Tulisan sederhana ini harap ditanggapi sederhana, yang sumbu pendek silakan balik kanan. Atau mengheningkan cipta dulu baru komentar. Mengheningkan cipta....mulai!

“Jangan pernah meninggalkan jejak, manakala jejak yang tertinggal itu ternyata dipenuhi lumpur kotor, dusta, dan fitnahan…” ---Michael Sendow---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun