Tulisan pada sampul belakang buku itu menunjukkan dengan jelas bahwa lokasi keberadaan batu itu ada di pinggiran pantai Laut Hitam, tergeletak di antara ribuan batu lainnya di tempat itu. Perbedaan batu itu dengan batu lainnya adalah bila dipegang akan terasa hangat, sedangkan batu lainnya tetap dingin.
Pria yang membeli buku itu menjadi sangat gembira. Singkat cerita, pergilah dia ke pantai di Laut Hitam. Ia meminjam uang dalam jumlah besar untuk modal dia mencari batu tersebut. Setelah sampai di pinggiran pantai itu, cara yang dipakainya adalah memilih satu demi satu batu yang ada di situ, lalu melemparkan ke dalam laut setiap batu yang sudah dipegangnya, bila terasa batu itu tidak hangat. Ini dilakukan supaya dia tidak mengambil batu yang sama untuk kedua kalinya.
Menit demi menit, jam demi jam, bahkan hari demi hari sudah dilaluinya namun ia belum menemukan batu yang terasa hangat itu. Setelah berminggu-minggu mencari, tetap saja ia tidak menemukan batu itu. Selama setahun dia melakukan hal yang sama terus menerus, mengambil batu melemparnya ke laut. Batu yang dicari tak jua ditemukan. Dua tahun sudah dia melakukan hal yang itu itu saja. Di suatu petang setelah kesekian kalinya mengambil batu di pinggiran pantai itu tiba-tiba dia mendapatkan batu yang terasa hangat, namun oleh karena sudah menjadi kebiasaan, batu itupun tetap saja dibuangnya ke laut. Jadi saking terbiasanya dia melakukan hal itu, dia kemudian lupa tujuan utamanya. Yang dia lakukan ya kebiasaan itu tadi, mengambil batu dan melemparnya ke laut. Cerita batu sentuh ini saya kutip dari tuturan karya Anthony de Mello.
Nah itu dia, jadi jelas kan, karena sudah menjadi sebuah kebiasaan dan sudah terbiasa maka ia tetap saja membuang batu yang padahal sudah ia cari cari selama dua tahun. Kebiasaan para pembenci Ahok atau TemanAhok menebar tulisan fitnah pasti akan terbiasa seperti itu juga terus menerus. Mendarah daging dan melekat erat dalam setiap tindakan yang diambil.  Hal itu dilakukan berulang kali, bahkan ada yang bilang bahwa kebencian itu sudah terpendam lama terhadap Jokowi-Ahok semenjak tahun 2012 lalu. Maka, meskipun seumpamanya ada hal yang baik yang mereka temukan tentang Ahok atau teman Ahok namun tetap saja fitnah dan tulisan tak benarlah yang akan mereka tulis lalu sebarkan. Sungguh sakit. Sakitnya tuh di sini….di sini…di sini….ya, tepat di situ!
Media-media penuh sensasi yang sangat getol dan suka menyebarkan hoax, fitnah, serta tuduhan tanpa bukti rupanya tidak pernah bertobat. Mereka selalu saja berprilaku yang sama. Dalam kasus penyebaran foto dan keterangan hoax tersebut, akhirnya sesuai update terbaru, Portal Piyungan.com sudah menghapus foto tersebut, setelah dituntut dan diancam pemilik foto asli, yaitu Amelia Ayuningthias. Media yang lain yang ikut menyebarkan foto itu juga bisa jadi akan ikut dituntut. Tetapi belum ada satupun di antara mereka yang meminta maaf. Namanya juga kebiasaan ya untuk apa minta maaf, kan begitu?
Penyebaran paling pertama pun dilakukan secara picik yaitu menggunakan akun pseudodi FB, tak jelas, tak nyata, persis akun tuyul dari negeri antah berantah. Ini saja sudah menunjukkan betapa tak punya nyalinya si penyebar foto hoax itu. Apa mereka sudah sangat sadar dan ketakutan sendiri dengan niat busuknya itu? Eh, alih-alih memfilter, media-media yang keranjingan menyebarkan berita dan foto hoax belingsatan kesenangan rupanya. Bagi mereka, ini baru berita, inipun berita baru. Maka dengan tanpa mau menelusuri dan bersusah-susah mencari tau ala media professional,  ini malah langsung saja mereka serentak ikut menyebarkannya dan menambah bumbu-bumbu penyebab cerita. Sedap dan asoytentu saja bagi para penikmat cerita fiktif, hoax semacam itu. Tulisan itu langsung ditelan mentah-mentah. Bagi para pembenci? Oh jelas ini berita gembira, maka share pun langsung melejit ke angka ribuan. Apalagi untuk golongan atau generasi ‘share mania buta’, dimana yang penting bagi mereka pencet tombol share, ora peduli benar atau tidak isi beritanya. This is it.
Memang susah sih jikalau kebencian telah membutakan mata hati. Percayalah apapun pasti sanggup dilakukan, kendatipun itu haus dengan memfitnah dan menyebarkan hoax. Sungguh memiriskan dan kasihan sekali orang-orang seperti itu. Serius.
Socrates adalah seorang ahli filsafat sangat terkenal asal Yunani. Ia pernah mengajarkan tentang tiga saringan. Nah, 3 saringan ini mestinya dipakai oleh siapapun yang hendak menulis sesuatu. Media manapun yang bermaksud memberitakan sesuatu. Jangan hanya orientasinya tertuju penuh pada oplah, keuntungan penjualan, dan jumlah hits semata. Apalagi jika hanya dengan maksud melakukan propaganda dan menyerang seseorang atau sekelompok orang, dengan berita dan foto palsu bin fitnah. Itu sudah melewati batas kepatutan, dan norma atau etika jurnalistik yang benar.
Tiga saringan yang dimaksud Socrates itu adalah KEBENARAN, KEBAIKAN, dan FAEDAH (MANFAAT). So, apakah tulisan dan pemberintaan Anda mengandung ke-tiga unsur saringan tersebut? Kalau tidak, ya buat apa Anda publish, menjadi santapan khalayak ramai? Tidak perlu. Tidak benar. Tidak penting. Tidak bermanfaat. Jadikan saja itu konsumsi pribadi Anda. Apalagi kalau tulisannya fitnah dan hoax, maka saran saya cepat-cepatlah itu dibuang di tong sampah saja. Jauh lebih baik dan lebih terhormat. Kasus tabloid Obor Rakyat tempo hari mestinya sudah mengajari kita banyak hal.
Mungkin ada yang beranggapan ini sepele. Tidak. Hal ini sama sekali bukan perkara sepele, karena ini menyangkut nama baik orang, kehidupan dan perjuangan hidup orang lain. Dalam hal ini yang menjadi korban pemberitaan dua sekaligus, yaitu Amalia si pendiri/aktifisTeman Ahok dan Amelia yang fotonya dicatut. Makanya tak heran kalau Amelia si pemilik foto pun mengajukan komplain, memberikan klarifikasi, dan lantas kemudian menuntut media-media penyebar untuk MERALATpemberintaan tersebut dan lalu MEMINTA MAAF.
Namun toh Setelah itu pun masih saja ada yang mengatakan bahwa hal itu sebagai klarifikasi palsu, ini dan itulah, bahkan ada yang menelpon berkali-kali memakai hide number segala ke Amelia. Kasihan sekali. Sungguh lebih buta dari orang buta mereka itu. Menafikan kepentingan dan privasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri.