[caption caption="Ilustrasi: www.tomvmorris.com"][/caption]
Ini Gila! Itu pikiran saya di bulan Februari tahun 2011. Tepatnya tanggal 6. Lho, emangnya ada apa? Lha iyalah, bagaimana tidak kesal, gondok (bukan penyakit gondok ya), berpikiran ‘gila’, baru satu tulisan yang saya luncurkan….eh ada pembaca yang menyindir saya, “Jangan nulis kalo nggak bisa” dikirim via FB lagi. Bener-bener deh. Hahaha, ini orang cari perkara apa.
Saya sudah membaca Kompasiana sejak 2010 awal, masih pake akun nama samaran waktu itu, karena niatnya hanya baca-baca doang sih, siapa tau ada ‘barang baru’ kan gitu hehehe. Namun akhirnya tangan saya gatel juga pengen nulis, ya jadilah saya mendaftar ‘secara resmi’ supaya bisa tulas-tulis setahun kemudian (bahasa apa ini ya?).
Kan hobby saya sejak lama ya baca ama nulis. Bahkan waktu baru lahir pun saya pengennya nulis, sayangnya sama Sang Pencipta saya tidak boleh nulis dulu kala itu, kerjaannya harus nangis sama netek aja dulu. Yah udah saya lakoni aja dengan lapang dada. Nah, barulah semenjak SMP saya mulai giat menulis yang benar-benar menulis. Ketika SMA, semakin giat menulis, ketika mahasiswa ya apalagi, tiada hari tanpa menulis. Menulis sudah membudaya. Writing is breathing. Menulis adalah bernafas, tidak menulis mati dong ya? Ooh bisa jadi.
Di Amrik saya nulis juga di majalah berbahasa Inggris. Ya oleh karena itu, bagi saya apa kata oranglah…terserah mereka…kritikan akan saya jadikan masukan, namun hujatan dan hinaan? Eits, tunggu dulu! Saya pasti menyahuti, “Jangan sembarangan loe ngomong, sobat!”. Apapun itu, semangat menulis tidak akan memudar dari dalam jiwa dan raga ini. Ceileee…ciamik banget ya harapan dan motonya? Eh, itu moto apa bukan sih?
Kompasiana Harus Berani Tetap Tampil Beda
Semenjak masuk Kompasiana terus ternyata ada ‘guru’ ini dan itu yang sok menggurui dari segi tata bahasa, ya terus terang berontaklah jiwa saya ini. Idih, ini kan bukan buat nulis skripsi atau disertasi kan. Kok segitunya sih.... Kompasiana itu bukan hanya tempat belajar, namun juga tempat berbagi. Nah, oleh karenanya, berbagi apa saja mestinya diterima sebagai sesuatu yang baik, terlepas dia itu menulis pake standart EYD ini dan itu atau nggak. Kalau mau yang perfect ya masuk di lingkungan Kompas cetak saja, gitu lho.
Saya sudah pernah menulis ini di tahun pertama saya di Kompasiana, merujuk pada suka dan duka yang silih berganti menghujani dunia kepenulisan di Kompasiana. Saya menulis banyak saran dan urun rembuk tentang Kompasiana yang berbeda. Harus beda gitu lo. Saya bersikeras bawah Kompasiana justru haruslah ‘berbeda’, kalau ingin tetap laku dan laris. Percaya deh…
Sebagai contoh, umpamananya saja begini, bila Kompasiana “harus” mengikuti syarat dan prasyarat tulisan reportase yang sesuai pakem-pakem serta format standart umum mereka yang di luar sono (mainstream media), maka dipastikan there’s no way bakalan ada tulisan reportase warga di sini yang dapat disebut benar-benar “layak” jadi HL. Please deh!
Tengoklah Kompas cetak atau beragam koran lainnya, lalu Anda bandingkanlah sendiri. Bisa nggak HL berita di Kompasiana disbanding-bandingkan atau dibanding-kawinkan dengan yang di Kompas cetak? Jauuuh brooo….(alay dikit nggak apa-apa kan ya). Oleh karenanya sudah seharusnya memang Kompasiana itu hidup dan berkembang dengan cirinya sendiri yang berbeda alias ‘out of the box’ itu.
Tidak perlu memakai sepatu sang induk, atau memakai celana sang induk untuk bisa jadi sehebat mereka. Mandiri dalam content dan gaya adalah keniscayaan supaya tetap menarik dan dilirik orang banyak.