Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengadilan HAM di Belanda, Ngaco

12 November 2015   11:41 Diperbarui: 12 November 2015   12:15 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=""Pengadilan Rakyat" Internasional? (Pic Source: 1965tribunal.org)"][/caption]

Tulisan ini hanyalah sekedar kegusaran di pagi hari. Saya bangun pagi ini, berita yang sama yang saya dengarkan. Sudah sejak beberapa hari yang lalu saya ‘sibuk’ mendengar tentang adanya Pengadilan HAM yang sementara berlangsung di Belanda, tepatnya di Den Haag. Mata dan telinga saya perih. Pindah channel lain, masih saja berita yang sama yang ada.

Intinya begini, menurut berbagai pemberitaan, adalah bahwa pengadilan rakyat tersebut katanya hendak ‘mengadili’ kebersalahan Indonesia yang katanya terjadi di tahun 1965. Nah, yang menjadi lucu, kok peristiwa tahun 1965 baru mau diadili sekarang? Ada permainan atau lelucon apa lagi ini?

Pertanyaan selanjutnya, kesalahan siapa yang hendak dicari? Kalau dikatakan bahwa pemerintah bersalah, bukankah banyak orang-orang pemerintah yang mati saat itu, termasuk para Jenderal penting. Terus kalau menurut pengadilan ‘abal-abal’ itu bahwa pemerintah Indonesia bersalah dan harus minta maaf, kepada siapa permintaan maaf itu harus ditujukan? Masak jenderal-jenderal mereka banyak yang mati terus mereka yang harus minta maaf? Ini pengadilan rakyat paling ngaco, menurut saya. Nggak jelas. Dimunculkan hanya untuk ‘kepentingan’ tertentu.

Kalau harus ada yang diadili, ya Belanda itulah yang harus diadili. Berapa banyak orang yang mati karena penjajahan mereka selama ratusan tahun lamanya? Berapa banyak kekayaan nusantara yang mereka rampok selama itu? Adili tuh si Westerling dan konco-konconya oleh karena merekalah juga yang sudah turut ‘berjasa’ besar membumihanguskan banyak bagian di Nusantara ini.

Apa yang terjadi di tahun 1965 itu kan sudah saling silang dan saling tindih. Yang meninggal juga adalah dari berbagai kelompok, golongan, dan jabatan. Tidak serta merta diperhadapkan antara pemerintah vs rakyat biasa.

Sidang pengadilan HAM rakyat di Den Haag, Belanda itu sama sekali tidak punya hak untuk mengadili Indonesia dalam kasus pelanggaran HAM. Malahan panggung pengadilan itu bisa jadi semacam bahan tertawaan. Karena toh pengadilan itu juga tidak berkekuatan hukum sama sekali. Hanya untuk menjual-jual dan menjelek-jelekkan nama Indonesia saja.

Oleh sebab itu, karena pengadilan ini juga tidak berada di bawah badan resmi yang keputusannya dapat mengikat, maka Indonesia jelas tidak selayaknya mendengar dan melakukan apapun tuntutan pengadilan rakyat setengah ‘abal-abal’ itu.

Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal (IPT), katanya dilakukan untuk para korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada tahun 1965. Pengadilan itu akan berlangsung sejak 10-13 November 2015. Yah, mari kita tunggu saja hasilnya besok.

Kalau umpamanya ada pihak-pihak tertentu, orang-orang tertentu yang begitu bersemangat membawa ‘kasus’ ini ke pengadilan rakyat di negeri Belanda itu, sadarlah. Kalian begitu lebay. Kalau ada masalah. Kalau ada kepahitan sejarah kelam masa lalu. Kalau ada perbedaan pendapat, ya selesaikanlah di rumah kita sendiri, bukan dibawa ke rumah tetangga jauh kita. Atau karena UUD (Ujung-Ujungnya Duit), ingin meminta ganti rugi dan tidak sekedar permintaan maaf saja? Walahualam.

Saya pikir, negara kita ini masih punya instrument hukum lebih dari sekedar cukup. Kita juga mestinya menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri kita di rumah kita sendirilah, ngapain obral-obral ke Belanda sana? Emangnya siapa mereka itu? Bekas penjajah kita.

Kalau dulu Belanda pernah menghancurkan kita dengan politik adu domba devide et imperanya yang begitu terkenal, maka jangan sampai hal yang sama terjadi lagi saat ini pada situasi dan kondisi yang berbeda. Sementara teknologi dan kepintaran kita semakin maju, janganlah kita membiarkan pikiran dan hati kita justru mundur jauh ke belakang.

Dengan adanya pengadilan rakyat di Belanda ini, apapun hasilnya, bukankah akan semakin mengotak-ngotakkan kita. Kita akan terpecah-pecah. Anak-anak bangsa akan saling curiga dan melempar opini yang menurut mereka paling benar, kendatipun tidak menutup kemungkinan opini tersebut justru sesat adanya. Ini sekedar contoh. Kita jangan mau diadu domba kembali oleh siapapun. Dan lagi, nama Indonesia akan tercakar-cakar kembali.

Ini memang aneh, dan di sisi lain akan membuat Jokowi seakan disudutkan. Belum lama ini Jokowi diberitakan sana sini bahwa dia itu keturunannya PKI, dan lalu kemudian ia pasti akan condong membela PKI.

Tak lama berselang digadang-gadangkanlah pengadilan rakyat di Belanda menuntut dan mempersalahkan Indonesia, supaya juga pemerintah Indonesia minta maaf. Jikalau Jokowi lalu kemudian menuruti keinginan dan rekomendasi hasil pengadilan tersebut umpamanya, yaitu melontarkan pemintaan maaf atas nama negara, maka percayalah Jokowi pasti akan dihujat sebagai pro PKI, oleh karena ada yang sudah penuh gegap gempita menunggu permintaan maaf keluar dari mulut Jokowi. Hati-hati.

Pemerintah Indonesia saat ini tidak perlu minta maaf, karena unsur tuntutan di pengadilan itu kabur dan tak jelas. Lalu ada yang lantas berteriak-teriak bahwa permintaan maaf itu harus dipenuhi. Lha, kalau memang harus, bangkitkan saja Soeharto dari kuburnya dan suruh beliau yang meminta maaf.

Karena toh, pengadilan rakyat atas pelanggaran HAM itu ditujukan pada saat Soeharto berkuasa. Harusnya pula, pengadilan itu menghadirkan dalam ruang pengadilan itu orang-orang yang terlibat di tahun 1965 tersebut. Bangkitkan mereka semua dari alam kubur dan hadirkan di sana, karena merekalah yang tau persis peristiwa berdarah saat itu. Bukan hanya berdasar tuntutan orang-orang tak jelas dan ataupun berdasarkan berbagai buku bacaan yang lahir jauh setelah peristiwa itu. Pengadilan yang adil adalah yang menghadirkan dua kubu untuk saling melempar bukti. Itu saja. Salam. ---Michael Sendow---

 

“There is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supercedes all other courts”---Mahatma Gandhi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun