[caption caption="Sophie Scholl (pic source: therebelution.com)"]
[/caption]Sophie Magdalena Scholl adalah seorang wanita muda cantik. Ia lahir tanggal 9 Mei 1921 di Forchtenberg, Jerman. Dua puluh satu tahun kemudian dia meninggal karena kepalanya dipenggal. Dia meninggal di usianya yang relatif muda, masih 21 tahun. Sophie adalah salah satu anggota gerakan perlawanan bernama Mawar Putih (Weiße Rose) ketika Adolf Hitler dan Nazi Jerman berkuasa.
Banyak di antara kita mungkin tidak mengenal siapa Sophia Scholl ini, namun perjuangan, harapan, dan kehidupannya telah mengajarkan kita sebuah kisah pedih menyayat hati, namun tentu juga memberi berkas-berkas harapan. Kisah perjuangan gadis muda yang tak mengenal takut, bahkan ketika kepalanya menjadi taruhannya.
[caption caption="Sophie Scholl - Final Days (pic source: iamlark.wordpress.com)"]
Pada tahun 1932 Sophie masuk sekolah menengah khusus untuk perempuan. Pada usianya yang masih 12 tahun ia sudah memilih untuk bergabung dengan Bund Deutscher Mädel, sebuah liga wanita Jerman kala itu. Nah, pada usianya yang belasan tahun itu dia ternyata sudah menyukai politik, bahkan ia sangat mahfum logika politik berpikirnya bapak dia yang sangat anti Hitler kala itu. Dia juga mengamati berbagai pandangan politik teman-teman dan guru-gurunya di sekolah. Sikap dan pandangan politik menjadikan dirinya lebih awas dan mawas dalam memilih teman. Ia menjadi suka dunia politik juga adalah oleh karena kisah penangkapan saudara-saudara dan teman-temannya pada tahun 1937 yang saat itu kedapatan berpartisipasi dalam "Gerakan Pemuda Jerman". Kisah penangkapan ini meninggalkan bekas mendalam dalam hatinya Shopie.
Pada tahun 1942, ia masuk universitas di Munchen mengambil jurusan biologi dan filsafat. Pada tahun yang sama, gadis muda ini memutuskan untuk bergabung dengan “organisasi bawah tanah” Mawar Putih (White Rose). Selama berada di organisasi tersebut, ia dan anak-anak muda lain yang juga sudah menjadi anggota Mawar Putih tersebut, dengan tak kenal lelah terus bekerja dan berjuang. Mereka membangun gerakan-gerakan untuk menentang kepemimpinan Hitler dan Nazi. Ia turut berkampanye dan menyerukan pendapatnya yang anti Nazi ke teman-temannya yang lain. Selebaran-selebaran mereka sebarkan ke sebanyak mungkin penduduk negeri yang bisa dijangkau, berawal dari teman-teman kampus tentu saja.
Setahun kemudian, di bulan Februari 1943, ia ditangkap di Universitas Munchen. Empat hari setelah ditangkap, ia divonis hukuman mati oleh hakim Roland Freisler. Hukuman yang harus dijalani Shopie ini adalah ia mesti mati dengan cara pemenggalan kepala. Guillotine. Beheaded. Tidak hanya Shopie, namun yang akan dihukum mati bersamanya ada juga kakaknya yaitu Hans Scholl dan teman seperjuangannya, Christoph Probs. Mereka bertiga dianggap telah mengkhianati pemerintah saat itu. Ketiganya dieksekusi di penjara München-Stadelheim.
Menjadi pembelajaran amat berarti bagi segenap anak muda Jerman saat itu. Apakah mereka kemudian menjadi takut? Ternyata tidak. Semakin dibabat maka semakin merambat. Demikianlah perjuangan anti Nazi terus berkembang di Jerman, pun setelah ketiga pentolan muda ini mati dihukum. Saat dihukum mati, Hans berusia 24 tahun, Christoph berusia 22 tahun, dan Sophia 21 tahun. Masih sangat muda.
Kisah perjuangan Shopia dan kawan-kawannya dapat kita baca secara detail di banyak buku yang sudah terbit sejak lama. Ada buku ‘the white rose’ (tahun terbit 1970) yang ditulis oleh Inge Scholl. Ada juga buku-buku lain yang ditulis oleh umpamanya Richard Hanser dan Anton Gill. Kisah tentang keberanian, kehormatan, prinsip hidup, dan perjuangan anak-anak muda ini memang pantas untuk dibaca dan dikisahkan kembali.
Ada cerita unik yang dapat kita baca di salah satu buku tersebut, yaitu kisah tentang perjuangan-perjuangan awal mereka. Sebetulnya Hans dan Sophie Scholl sama seperti kebanyakan pemuda Jerman lainnya, mula-mula mereka itu begitu antusias mendukung Hitler dan Nazi. Bahkan mereka sempat bergabung dengan ‘Hitler Youth’. Mereka mengagung-agungkan dan memuja Hitler. Rupanya saat itu mereka percaya bahwa Adolf Hitler adalah memimpin Jerman yang dapat mengangkat orang-orang Jerman dan bangsa Jerman kembali ke kebesarannya, sebagai sebuah bangsa yang dihormati dan disegani. Mereka keliru.
Ayah mereka, Robert Scholl berpendapat lain. Ia yang sudah sejak semula menentang Hitler dan Nazi mengatakan kepada anak-anaknya bahwa Hitler dan Nazi itu pasti hanya akan memimpin dan membawa Jerman menyusuri sebuah jalan menuju kehancuran. Seiring berjalannya waktu, Hans dan Sophie akhirnya mulai menyadari bahwa apa yang ayah mereka katakan itu benar. Mereka lalu menyimpulkan bahwa, atas nama kebebasan dan kebaikan yang lebih besar dari bangsa Jerman, Hitler dan Nazi ternyata justru memperbudak dan menghancurkan orang-orang Jerman sendiri dengan tingkah dan cara sadis mereka.
Sophie dan Hans kini menjadi penentang Hitler dan Nazi…
Di suatu senja yang cerah, ada salinan selebaran berjudul "The White Rose" tiba-tiba muncul di universitas tempat mereka kuliah. Selebaran tersebut berisi esai yang mengatakan bahwa sistem Nazi telah secara perlahan-lahan memenjarakan orang Jerman, dan bahkan sekarang ini sementara menghancurkan warga Jerman perlahan namun pasti. Rezim Nazi telah berubah menjadi jahat. Sudah waktunya sekarang, ya waktunya bagi Jerman untuk bangkit dan melawan tirani pemerintah mereka sendiri. Di bagian bawah esai tersebut ada sebuah ajakan: "Silakan memperbanyak salinan selebaran ini, dan Anda dapat menyebarkannya sebanyak mungkin." Siapa yang diam-diam berani membuat dan menyebarkan selebaran ini pertama kali? Sophie dan Hans.
Selebaran itu rupa-rupanya mulai menyebabkan ‘keributan’ luar biasa di antara para mahasiswa yang masih saling berbeda pendapat. Memunculkan perbedaan pendapat di internal kampus tentang bagaimana mengambil sikap terhadap rezim Nazi. Pengaruh esai tersebut pun lambat laun semakin meluas. Ada banyak leaflet lain yang muncul segera sesudah esai pertama itu beredar. Lalu muncul lainnya, dan lainnya lagi. Publikasi ini pun berlangsung secara periodik dari tahun 1942 sampai 1943. Pengaruh selebaran yang disebar itu semakin meluas. Selanjutnya ada berbagai graffiti bermunculan di sana-sini yang isinya mengecam pemerintahan Hitler dan Nazi. “Turunkan Hitler!” atau “Hitler Pembunuh Massal!” dapat dibaca di dinding-dinding gedung dan jalanan kota. Ini tentu membuah Hitler dan Nasi gusar dan marah.
Tanggal 18 Februari 1943, Hans Scholl, Christoph dan Sophie rupanya mengalami nasib kurang beruntung. Mereka tertangkap tangan sementara menyebarkan pamflet di kampus. Dakwaan terhadap mereka pun dijatuhkan, yaitu tindakan pengkhianatan. Mereka lalu disidangkan. Hukuman harus segera dijatuhkan. Tidak ada saksi yang dipanggil oleh karena ketiganya mengakui dengan jelas dan tegas perbuatan mereka menyebar pamflet-pamflet itu. Tidak ada bantahan di sana. Salah seorang jaksa penuntut sampai menunjukkan sikap kurang senang dan rasa herannya, ia mengatakan, “I can only say fiat justitia. Let justice be done". Atau dengan kata lain, “Let the accused get what they deserve.”. Biarlah para terdakwa menerima apa yang pantas mereka terima. Mereka tidak usah dibela.
Para jaksa penuntut lain pun tidak habis pikir, kenapa dan ada apa sebenarnya dengan anak-anak muda ini? Mereka lahir dan besar dari keluarga baik-baik dan keluarga terhormat. Mereka masuk dan bersekolah di sekolah German, bahkan pernah menjadi anggota ‘Hitler Youth’. Lantas kemudian kalau begitu apa yang lalu menyebabkan mereka berpaling dan pikiran mereka seakan diubahkan?
Jawaban Sophie Scholl di ruang pengadilan itu mengejutkan para jaksa penuntut, dan semua orang yang hadir di ruang sidang saat itu. Dia berkata dengan lantang dan mantabnya kepada para jaksa penuntut, “Somebody, after all, had to make a start. What we wrote and said is also believed by many others. They just don't dare to express themselves as we did.” Jadi Sophie mengatakan bahwa harus ada seseorang yang memulainya. Apa yang mereka katakan dan mereka tulis dalam selebaran itu sebetulnya diyakini dan diamini juga oleh begitu banyak orang lain, hanya saja mereka terlalu takut untuk mengekspresikan keyakinan mereka itu, tidak sama seperti ketiga pemuda pemberani ini. Bahkan Sophie dengan beraninya, pada persidangan berikutnya berkata lagi, “You know the war is lost. Why don't you have the courage to face it?” Kata-kata yang pastinya membuat para jaksa mengerenyitkan kening mereka, dan bertambah gusar.
Selama persidangan, beberapa kali orang tua Shopie datang berkunjung dan menghiburnya. Pernah satu kali, ayahnya dilarang masuk ruang sidang ketika sidang sementara berlangsung. Robert ayahnya itu tetap saja memaksakan diri untuk masuk. Dia mengatakan kepada pengadilan itu bahwa dia datang ke sana untuk mempertahankan anak-anaknya. Nah, ketika ia berhasil masuk, penjaga dalam ruang sidang itu langsung berusaha membawanya ke luar ruangan itu lagi. Robert berteriak keras dalam ruangan itu, sebelum dirinya akhirnya dipaksa keluar, “One day there will be another kind of justice! One day they will go down in history!” Suatu hari kelak akan ada bentuk keadilan lain yang menyeruak muncul. Suatu hari nanti mereka akan tercatat dalam sejarah.
Dan, memang benar, Shopie dan ‘white rose’ tercatat dalam sejarah.
Setelah beberapa hari usai, pimpinan sidang akhirnya memutuskan bahwa mereka bertiga guilty of treason (bersalah atas penghianatan) dan hukumannya adalah death sentence (hukuman mati).
Tetap tegar…
Sophie Scholl menghampiri ibunya setelah ke luar dari ruang sidang, sehabis keputusan dibacakan. Ia lalu memeluk dan menciumi ibunya dengan penuh kasih, dan dengan tegar serta rasa bangga ia berkata, “We took everything upon ourselves. What we did will cause waves.” Apa yang sudah mereka buat akan menimbulkan banyak gerakan perlawanan terhadap Hitler. Sejarah kemudian membuktikan kebenaran kata-kata Sophie. Ibunya menangis. Tangisan ini adalah tangisan kepedihan akan segera kehilangan anak, namun juga ada rasa bangga memiliki anak pemberani dan tangguh, yang terus berjuang untuk sebuah masa depan, meski kematianlah yang harus ditanggungnya.
[caption caption="Kesaksian penjagal kepala (pic source: www.wordbypicture.com)"]
Di detik-detik terakhir sebelum kepalanya dipenggal, Sophie terlihat tetap tegar dan tak ada rasa takut sama sekali. Dia sempat berbisik pelan ke telinga ibunya, “Kita akan berjumpa dalam keabadian”, beberapa saat sebelum kepalanya menggelinding di meja pemenggalan kepala. Petugas penjara dan juga yang bertugas memenggal kepalanya memberi kesaksian bahwa belum pernah mereka melihat orang setenang dan setegar Shopie dalam menghadapi hukuman mati. Ekspresi datar namun ada senyuman tipis, mata tak berkedip dan tak terlihat perasaan takut sama sekali di raut wajahnya.
Sophie Scholl memang berbeda. Dia adalah wanita muda, pejuang dan pemberani. Dia memperjuangkan apa yang diyakininya benar, dengan keberanian yang amat sangat. Kepalanya yang menggelinding di meja pancung membawa banyak gerakan perlawanan, dan gerakan perubahan oleh anak-anak muda Jerman setelahnya. ---Michael Sendow---
Kisah Shopie Scoll dan White Rose sudah difilmkan dan diputar tahun 2005, judulnya adalah Sophie Scholl – The Final Days.
[caption caption="Sophie berkata bahwa kematiannya tidak lagi menjadi soal, apabila lewat kematian mereka itu akan ada ribuan orang yang disadarkan dan dibangunkan untuk segera bertindak... (Pic Sourse: www.tyndale.ca)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H