Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Pengalaman Pilu saat Tragedi 11 September di New York

10 September 2011   02:42 Diperbarui: 11 September 2016   14:54 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen 9/11 (m.tempo.co)

Kacaunya situasi waktu itu tak bisa terjelaskan. Luar biasa. Bayangkan, ada ribuan orang mati mendadak oleh ulah segelintir orang. Kami masih berjalan dan mencari tempat menginap hingga larut malam. Kembali teman sayalah yang memilih tempat. Kali ini ia mengajak saya jalan cukup jauh menuju Lower Manhattan, tepat berseberangan 34 street, menyusuri 7thAvenue. Lha, hebat juga ia memilih tempat. Lokasinya tak jauh dari Canal Street, ChinaTown dan Little Italy rupanya. Strategis.

Tapi, semua jauh dari harapan! Ia memilih penginapan yang luar biasa murah dan luar biasa menjijikkan serta jorok. Ternyata di New York yang megah itu terdapat tempat seperti ini? Penginapan itu dipenuhi tikus-tikus yang mungkin datang dari got mampet pinggir jalan. Lalu dinding kamarnya “hanya” terbuat dari sejenis tripleks (kayu tipis tapi kuat). “Waduh, nggak salah ini, pal?” Tanya saya. Teman saya menjawab enteng, “Uang cash kita tidak cukup. Tidak ada kartu kredit yang bisa dipakai dan kita tak bisa komunikasi dengan perusahaan. Jadi ini yang paling bisa kita dapat.” Payah, tapi yah begitulah, kami masih tetap harus bersyukur karena di luar sana masih banyak yang akhirnya harus tidur di pinggir jalan dan emperan toko waktu.

Keesokan paginya tanggal 12 September 2001, bergegaslah kami untuk pulang ke Kota New Jersey, tapi alamak! Belum ada train, dan tidak ada mobil yang diperbolehkan keluar perbatasan. Kami putuskan mobil ditinggal, tapi kami harus pulang. Harus tetap pulang, walau mesti jalan kaki sekalipun. Itulah awal dan puncak penderitaan kaki saya. Kenapa? Kalau naik mobil saja yang larinya 90Km per jam butuh waktu sekitar 1 jam sebagai waktu tempuh New Jersey-New York, apalagi kita yang jalan kaki doang.

Pertama-tama kami harus melalui beberapa jalan lokal, kemudian masuk toll dan jalan lokal lagi. Baru 3 jam jalan, teman saya hampir terkapar. Saya juga sudah hampir semaput dan sekarat. Panasnya udara ditambah rasa capek dan haus akhirnya benar-benar membuat teman saya terduduk. Ia sudah mulai ngoceh pakai bahasa Polish, yang tak satupun saya mengerti apa isi ocehannya. Jangan-jangan mau mati kehausan pikir saya. Ternyata memang benar, teman saya rupanya sudah kehausan luar biasa, bahkan sempat minum minuman bersoda bekas orang yang ditemui tak jauh darinya. Saya keheranan melihat hal ini, "sisa orang kok diembat juga,". Saya suruh dia duduk sandaran di pohon jalan, lalu dengan segala daya upaya saya mencari toko di lokasi terdekat. Untung kami masih disayangi Tuhan karena ada restoran tidak terlalu jauh dari lokasi kami. Wah..wah…wah…selamatlah kami!

Monumen 9/11 (m.tempo.co)
Monumen 9/11 (m.tempo.co)
Perjalanan panjang itu akhirnya usai setelah mencapai gerbang perbatasan New York dan New Jersey. Komunikasi HP sudah oke juga rupanya. Ketika saya menyalakannya, tak kurang dari 50-an missed call dan puluhan pesan ada di situ. Semuanya menanyakan kabar, “ada di mana?”, “Ngapain aja?”, “Masih hidup kan?”, “Nggak apa-apa kan?”, “Jangan bikin kami khawatir!” Dan masih banyak lagi. Kemudian yang pertama saya hubungi adalah saudara-saudara saya dan juga boss saya, “Boss, thank God I’m okay! So don’t worry about us. We just need you or somebody to pick us up…NOW, please.”

Tak lama berselang, sopir suruhan boss kami sudah memarkir mobilnya tepat di depan hidung kami yang sudah kelelahan tak karu-karuan itu. Mendengus pun terasa berat. Sampai rumah, saya langsung tertidur pulas. Tak lupa saya berdoa bagi mereka yang keluarganya meninggal pada peristiwa 11 September itu. Ini adalah pelajaran untuk kita bahwa kematian itu tidak pernah memihak dan tak akan datang dengan memberitahu terlebih dahulu. Siapa pun dan di mana pun kita.

Tentu bagi mereka yang merasa “penuh suka cita” terhadap September 11th attacked ini, dan yang merasa “menang” karena telah berhasil membunuh ribuan orang itu, yang merasa telah menuntaskan sebuah misi Terrorist Mission bagi mereka juga, sangat perlu bercermin diri. Apakah engkau dapat menggenggam surgamu ketika yang kau bunuh adalah nyawa sesamamu. Bahkan saudaramu sendiri?

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun