Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Pengalaman Pilu saat Tragedi 11 September di New York

10 September 2011   02:42 Diperbarui: 11 September 2016   14:54 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita dimulai tanggal 10 September 15 tahun yang lalu —merujuk pada saat diperbaruinya artikel ini— saya masih sempat naik ke lantai 105 Gedung Twins Tower atau biasa disebut Word Trade Center(WTC) yang memiliki 110 lantai. Gedung ini merupakan Ikon Kota New York sehingga banyak sebutan untuk gedung ini termasuk sebutan Twins Building. Aah, apalah artinya sebuah nama.

Bersama rekan dari Polandia, kami berdua sedang menjalankan ‘tugas resmi’ sekaligus mengantar surat negosiasi dan paket kiriman ke gedung yang akan menjadi tempat bersejarah di kemudian hari. Maka masuklah kami ke ground floor gedung WTC untuk memarkir mobil. ketika hendak masuk, pemeriksaan cukup ketat (tidak sangat ketat sih, tapi lumayan) mobil diperiksa, tanda pengenal diperiksa, kemeja dan tas diperiksa. pemeriksaan yang cukup ketat ini merupakan buntut dari percobaan pengeboman yang gagal tahun 1993.

Mungkin karena kami berdua sama-sama dari luar Amerika, pemeriksaan kendaraan oleh petugas lebih lama dibanding pengunjung lain. Setelah pemeriksaan selesai dan mengisi buku tamu, kami menuju lift dan segera memencet angka ‘105’ di dinding lift. Tak lama berselang, sampailah kami di lantai 105, tujuan kami. Selesai itu, tak lupa kami mengambil gambar dikit di depan gedung. “You first yo!” Kata laki-laki parlente teman saya itu malu-malu. Biasalah, mungkin masih bertingkah kayak “Duo Kabayan Nyasar ke Kota”. Tapi tak apalah pikir kami, bukankah banyak juga turis yang mengambil gambar di situ, jadi tak masalah.

Besoknya, tepat tanggal 11 September kami mendapat tugas masih di seputaran New York, sang Big Apple. Kali ini tujuan kami adalah 4 gang arah timur dari Penn Station (Stasiun kereta api terbesar di Kota New York) dan tempat kedua tujuan kami berikutnya adalah hanya beberapa blok (kalau tidak salah 12 blok) dari Gedung World Trade Center.

Selesai menjalankan tugas di dekat gedung WTC, rupa-rupanya ada tugas lain yang memanggil kami. Apa itu? Perut yang keroncongan dan kerongkongan yang dahaga. akhirnya kami mencari restauran terdekat di sekitar kami. Ternyata, tak keliru jalan sama teman saya yang Polandia itu, matanya cukup awas dan lumayan jeli. Di tengah-tengah kesibukan Kota New York, dengan ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang lalu lalang di sekitar kami, ia masih sempat melihat “Numero Uno Pizza”. Salah satu restoran kegemaran saya dan dia, tapi baru pertama kali kami melihatnya di situ. Mungkin belum lama dibangun.

Lahap dan beringas itulah kami ketika lapar saat itu. Kami memang tak seharusnya demikian, Mungkin ada baiknya makan dengan sedikit rasa tanggung-jawab, tak berlebihan dan pelan-pelan. Perlahan namun pasti istilah kerennya. Lalu jangan pula makan sampai perut buncit,over dosis, atau kelewat kenyang. Tapi apa daya, segala tata cara makan yang beradab itu serasa terbang entah ke mana kala itu karena kami betul-betul lapar, sampai-sampai kemeja putih teman saya jadi belepotan terkena saus tomat.

Selesai makan, kami bergegas hendak pulang, saat itulah sejarah kelam itu dimulai. Sebuah moment di mana Manhattanwill never be the same again.The Manhattan as we know it will never be the same again. Gedung kembar, pusat perdagangan dunia, simbol New York itu dalam sekejap hilang dari pandangan mata. Diiringi tetes darah dan air mata, ribuan nyawa melayang dalam hitungan detik. hari itu menjadi Kekalahan sebuah peradaban, kalahnya manusia yang beradab.

Hanya beberapa blok dari kami, terdengar bunyi gelegar dan reruntuhan gedung yang tak akan pernah bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Hati kami tergetar. Tubuh kami terguncang. Getaran tanah di bawah kaki kami sangat terasa beriringan dengan bisingnya gemuruh suara ledakan di telinga kami. Tak ada satu kata pun yang keluar baik dari saya maupun teman saya. Kami hanya terpaku, dan melongo heran. Ada apa ini gerangan?

www.mirror.co.uk
www.mirror.co.uk
Lalu dari arah berlawanan, terlihat orang-orang mulai berlarian, wajah dan tubuh mereka tertutup debu dan berdarah-darah. Saya melihat teman saya secara spontanitas membuka kemeja putihnya lalu menolong seorang ibu yang berdiri dekatnya, wajahnya penuh luka. Orang Polandia ini lalu memberikan dan membiarkan kemejanya dipakai untuk mengusap wajah Ibu yang penuh dengan debu serta darah. Ia harus rela kemejanya dinodai darah serta kulitnya yang kini ditutupi oleh pakaian dalam, terpanggang oleh teriknya matahari.

Saya berusaha membeli beberapa botol air mineral dan memberikannya kepada beberapa orang hitam (black people) yang sepertinya baru terlepas dari maut akibat reruntuhan gedung itu. “Thanks man! Thanks yo!” kata mereka dengan aksen black guy yang sangat kental. Saya hanya bisa berucap lirih, “No problem dude, you’re very welcome”. Sebenarnya panjang ceritanya setelah kejadian itu, tapi mungkin kesanggupan saya menulis fakta kelam itu terlalu minim. Karena suasana yang luar biasa kacau tak banyak detail yang saya masih ingat. Apalagi sudah lima belas tahun berselang.

Hanya beberapa jam atau menit setelah kejadian itu, sontak semua hubungan terputus dan entah mengapa serempak jalur komunikasi macet total. Artinya, kami tidak bisa pulang ke New Jersey, tempat kami tinggal untuk bertugas, sebab tidak ada bus, mobil, atau pun train yang boleh (dibolehkan) jalan. Hubungan New York dan New Jersey putus sementara. “Celakalah kita, pikir saya”. Saya colek teman saya dan bilang ke dia bahwa sepertinya malam itu kita harus nginap di NYC.

Kacaunya situasi waktu itu tak bisa terjelaskan. Luar biasa. Bayangkan, ada ribuan orang mati mendadak oleh ulah segelintir orang. Kami masih berjalan dan mencari tempat menginap hingga larut malam. Kembali teman sayalah yang memilih tempat. Kali ini ia mengajak saya jalan cukup jauh menuju Lower Manhattan, tepat berseberangan 34 street, menyusuri 7thAvenue. Lha, hebat juga ia memilih tempat. Lokasinya tak jauh dari Canal Street, ChinaTown dan Little Italy rupanya. Strategis.

Tapi, semua jauh dari harapan! Ia memilih penginapan yang luar biasa murah dan luar biasa menjijikkan serta jorok. Ternyata di New York yang megah itu terdapat tempat seperti ini? Penginapan itu dipenuhi tikus-tikus yang mungkin datang dari got mampet pinggir jalan. Lalu dinding kamarnya “hanya” terbuat dari sejenis tripleks (kayu tipis tapi kuat). “Waduh, nggak salah ini, pal?” Tanya saya. Teman saya menjawab enteng, “Uang cash kita tidak cukup. Tidak ada kartu kredit yang bisa dipakai dan kita tak bisa komunikasi dengan perusahaan. Jadi ini yang paling bisa kita dapat.” Payah, tapi yah begitulah, kami masih tetap harus bersyukur karena di luar sana masih banyak yang akhirnya harus tidur di pinggir jalan dan emperan toko waktu.

Keesokan paginya tanggal 12 September 2001, bergegaslah kami untuk pulang ke Kota New Jersey, tapi alamak! Belum ada train, dan tidak ada mobil yang diperbolehkan keluar perbatasan. Kami putuskan mobil ditinggal, tapi kami harus pulang. Harus tetap pulang, walau mesti jalan kaki sekalipun. Itulah awal dan puncak penderitaan kaki saya. Kenapa? Kalau naik mobil saja yang larinya 90Km per jam butuh waktu sekitar 1 jam sebagai waktu tempuh New Jersey-New York, apalagi kita yang jalan kaki doang.

Pertama-tama kami harus melalui beberapa jalan lokal, kemudian masuk toll dan jalan lokal lagi. Baru 3 jam jalan, teman saya hampir terkapar. Saya juga sudah hampir semaput dan sekarat. Panasnya udara ditambah rasa capek dan haus akhirnya benar-benar membuat teman saya terduduk. Ia sudah mulai ngoceh pakai bahasa Polish, yang tak satupun saya mengerti apa isi ocehannya. Jangan-jangan mau mati kehausan pikir saya. Ternyata memang benar, teman saya rupanya sudah kehausan luar biasa, bahkan sempat minum minuman bersoda bekas orang yang ditemui tak jauh darinya. Saya keheranan melihat hal ini, "sisa orang kok diembat juga,". Saya suruh dia duduk sandaran di pohon jalan, lalu dengan segala daya upaya saya mencari toko di lokasi terdekat. Untung kami masih disayangi Tuhan karena ada restoran tidak terlalu jauh dari lokasi kami. Wah..wah…wah…selamatlah kami!

Monumen 9/11 (m.tempo.co)
Monumen 9/11 (m.tempo.co)
Perjalanan panjang itu akhirnya usai setelah mencapai gerbang perbatasan New York dan New Jersey. Komunikasi HP sudah oke juga rupanya. Ketika saya menyalakannya, tak kurang dari 50-an missed call dan puluhan pesan ada di situ. Semuanya menanyakan kabar, “ada di mana?”, “Ngapain aja?”, “Masih hidup kan?”, “Nggak apa-apa kan?”, “Jangan bikin kami khawatir!” Dan masih banyak lagi. Kemudian yang pertama saya hubungi adalah saudara-saudara saya dan juga boss saya, “Boss, thank God I’m okay! So don’t worry about us. We just need you or somebody to pick us up…NOW, please.”

Tak lama berselang, sopir suruhan boss kami sudah memarkir mobilnya tepat di depan hidung kami yang sudah kelelahan tak karu-karuan itu. Mendengus pun terasa berat. Sampai rumah, saya langsung tertidur pulas. Tak lupa saya berdoa bagi mereka yang keluarganya meninggal pada peristiwa 11 September itu. Ini adalah pelajaran untuk kita bahwa kematian itu tidak pernah memihak dan tak akan datang dengan memberitahu terlebih dahulu. Siapa pun dan di mana pun kita.

Tentu bagi mereka yang merasa “penuh suka cita” terhadap September 11th attacked ini, dan yang merasa “menang” karena telah berhasil membunuh ribuan orang itu, yang merasa telah menuntaskan sebuah misi Terrorist Mission bagi mereka juga, sangat perlu bercermin diri. Apakah engkau dapat menggenggam surgamu ketika yang kau bunuh adalah nyawa sesamamu. Bahkan saudaramu sendiri?

Michael Sendow

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun