Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Yang Ingin Saya Sampaikan soal Pendidikan pada Nadiem

23 Oktober 2019   19:35 Diperbarui: 24 Oktober 2019   09:56 1645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andaikan saya bisa sampaikan ini kepada Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim.

Banyak meme dan guyonan teman-teman guru, pemilik sekolah, kepsek dan orangtua tentang Nadiem yang baru saja menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang kita tahu beliau adalah pendiri perusahaan GoJek.  

Saya tidak akan membahas guyonan tersebut, tapi di balik itu tentu banyak pertanyaan. Sejauh mana dobrakan dan aksi yang akan ia lakukan kelak selama menjabat? Seperti pertanyaan teman-teman, "Bukan akademisi ya? Wah bagaimana ini? Kira-kira seperti apa nanti? Jangan-jangan guru-guru gak boleh gaptek!", dan lain sebagainya.  

Karena saya seorang guru (guru mulok, kontrak pribadi dan tidak pernah jadi guru tetap karena lebih senang bekerja di lembaga atau kontrak pribadi), maka saya ingin berbagi dari apa yang saya dengar dan alami.

Semoga saja Saudara Nadiem cepat belajar dengan ladang barunya ini. Saya sangat berharap, karena pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu hal vital dari sebuah bangsa.

Jika Saudara Nadiem punya ide bagus untuk akses transportasi online, kayaknya kece ya jika di awal ia bisa mengumpulkan suara-suara dari tenaga pendidik, orangtua murid, dan siswa.  

Beda tempat, beda sekolah beda pula budaya dan kebutuhan yang dimiliki. Maaf,  saya cuma punya sedikit cerita karena pengalaman hanya 4,5 tahun kerja jadi guru.  

Apa saja cerita yang bisa saya bagikan?  

Bagi saya, proses pendidikan itu dilihat dari awal seseorang lahir sampai ia dewasa. Usia terpenting sepertinya memang dari sekolah dasar, ya tapi sekarang kan TK pun jadi seperti wajib, apalagi masuk SD sudah harus baca tulis.

Di usia sekolah banyak sekali pagar di sekeliling siswa: kepala sekolah, guru, dan orangtua. Semuanya berperan penting terhadap pendidikan siswa.

Sekolah tidak akan berjalan jika tidak ada guru, maka dari itu tenaga pendidik (bukan sekadar pengajar) harus memiliki hati yang tulus kemudian skill. Mengapa hati yang tulus dulu?  

Pekerjaan guru itu berat. Mereka bertanggung jawab dengan pertumbuhan intelektual dan perkembangan karakter banyak anak (bisa ratusan). Mereka harus tergerak, peka, dan cepat tanggap ketika seorang siswa saja membutuhkan bantuan.

Guru itu pendidik bukan cuma pengajar.

Guru bahkan bisa kerja lebih dari standar jam kerja sambil mengurus keluarga. Guru harus bisa cepat beradaptasi, banyak belajar, memiliki kemampuan komunikasi dan berelasi yang baik, menjadi panutan.

Lucunya, seringkali saya memerhatikan guru bisa jadi pendidik bagi orangtua murid. Namun di beberapa kota, guru pun sering dianggap seperti baby sitter yang diupah oleh orangtua murid.

Padahal anak bisa mencontoh perilaku orangtua yang seperti itu. Di sekolah yang membutuhkan murid, guru dan kepsek seringnya menunduk dan mengalah dengan sikap orangtua yang seperti itu.  

Padahal lagi, jika guru dan kepsek bisa diberi kepercayaan mendidik anak para orangtua, kelak anak ini pun tidak merepotkan para orangtua.  

Lainnya, sebagai seorang guru tanpa background sekolah guru, sering kali saya kebingungan buat RPP Silabus.  

Hmm, tapi kebanyakan guru-guru pun akhirnya saling membantu lho buat RPP Silabus, dan belajar lagi dan lagi dengan pusing tujuh keliling dengan perlengkapan admin sekolah yang buaaanyak.  

Menjelang akreditasi, siswa-siswa pun jadi kurang terkontrol hanya seperti dikejar-kejar demi memenuhi standar tertulis. Soal karakter? Banyak guru yang menyayangkan, "Harusnya kami punya banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak-anak."

Bagaimana pendapat saya soal siswa?  

Anak-anak sekarang itu cerdas, cepat belajar untuk hal baru. Ups, tapi kami harus hati-hati dengan tindakan, hati-hati dengan asupan yang mau dikasih kepada mereka.  

Teknologi serba cepat, berdampak positif dan negatif. Soal positif tak perlu ditanya, tapi soal negatif kemampuan anak dan orangtua belum sebanding untuk memilah dan mana yang baik untuk diserap dan dilakukan.  

Ups lagi, kemampuan literasi Indonesia masih di bawah (di urutan hampir terakhir).

Masih soal teknologi. Apakah soal kecepatan bisa menjadi jawaban? Bagaimana dengan ketepatan dalam penggunaan? Apakah berdampak baik bagi pengguna dan hal-hal lainnya?

Anak-anak sekarang maunya serba cepat, tapi tidak pernah mau bersabar dengan proses. Serba instan padahal belum tentu berkualitas.  

Ohya, saya lagi kepikiran sesuatu..

Mengapa metode pendidikan yang seharusnya diwariskan dari Ki Hajar Dewantara itu malah cuma dimiliki segelintir sekolah, daaann... sekolah mahal!?

Banyak sekali PR di sektor pendidikan ini, belum lagi soal kebudayaan yang tentu menjadi penyokong hal pendidikan. Waw! 

Semoga bisa saling bersinergi, bukan pekerjaan yang hanya dikerjakan oleh Saudara Nadiem seorang diri tapi banyak pihak yang mau gotong-royong untuk pendidikan dan kebudayaan Indonesia yang lebih baik. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun