Mohon tunggu...
Michelle Avrellia
Michelle Avrellia Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Double Standard pada Peran Suami dan Istri dalam Rumah Tangga

11 Februari 2022   20:36 Diperbarui: 11 Februari 2022   20:41 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari foto di atas kita bisa melihat perbedaan antara sosok ayah yang mengantarkan anaknya dengan ibu yang mengantarkan anaknya. 

Pada foto yang menunjukan foto ayah, ayah tersebut mendapat julukan involved dad yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia ayah tersebut adalah sosok ayah yang baik karena mau terlibat terhadap aktivitas anak sesederhana mengantarkan anak ke sekolah pada pagi hari sebelum berangkat sekolah. 

Namun pada foto sebelahnya, ibu tersebut disebut sebagai working mom karena mengantarkan anaknya ke sekolah sebelum ia berangkat kerja. Jika kita lihat kedua foto tersebut, keduanya memiliki kesamaan yakni ibu dan ayah tersebut sama sama seorang pekerja yang mengantarkan anaknya ke sekolah terlebih dahulu, namun keduanya mendapat cap yang berbeda di mata orang lain. 

Sosok ayah seakan diberi apresiasi namun sosok ibu di cap sebagai seorang working mom yang mana julukan working mom pada hari ini sedikit banyak memiliki nada yang sedikit negatif, diartikan sebagai ibu yang lebih peduli terhadap pekerjaan dibandingkan dengan merawat anak (Poduval & Poduval, 2009).

Atau pada foto kedua terlihat ilustrasi seorang ayah yang melakukan pekerjaan rumah tangga yakni berbelanja untuk memenuhi kebutuhan rumah. 

Namun lagi dan lagi antara ayah dan ibu memiliki penilaian yang berbeda walaupun keduanya melakukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh keluarga pada umumnya. 

Sosok ayah tersebut mendapat julukan sebagai seorang ayah yang sangat membantu, namun sosok ibu hanya dipandang sebagai ibu pada umumnya yang melakukan aktivitas yang seharusnya sebagai seorang ibu. Kedua ilustrasi gambar tersebut menunjukan bahwa standar ganda antara peran suami dan istri atau ayah dan ibu dalam suatu keluarga dalam masyarakat benar-benar ada.

Double Standard Pada Gender

Double Standard atau standar ganda merupakan suatu fenomena dimana satu kegiatan yang sama jika dilakukan oleh orang yang berbeda maka penilaiannya pun akan berbeda. 

Jika dalam gender standar ganda merupakan perbedaan penilaian antara laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh struktur sosial yang ada dalam menyikapi perbuatan laki-laki dan perempuan (Ratri, 2019). Konsep gender merupakan sesuatu yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang ada pada konstruksi sosial dan kultural namun tidak menutup kemungkinan untuk ditukar balikan. 

Gender lebih fokus pada aspek sosial, budaya, hingga psikologis daripada segi anatomi biologi, sehingga gender selalu dikaitkan dengan maskulinitas dan feminitas seseorang (Arbain et al., 2017). 

Mansour Fakih berpendapat bahwa gender bukan lah suatu masalah yang besar jika dianggap sebagai pembeda identitas antara laki-laki dan perempuan, namun gender akan menjadi masalah jika menimbulkan beberapa ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan atau dikenal dengan sebutan gender inequalities.

Gender dan struktur sosial merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dimulai dari pemberian identitas bahwa laki-laki identik dengan warna biru dan perempuan identik dengan perempuan hingga suami harus bekerja dan perempuan harus berada di sumur, dapur, dan kasur merupakan suatu anggapan yang harus dinormalisasi dan kedua hal tersebut tercipta dan terkonstruk dalam masyarakat. Berbicara mengenai struktur sosial, struktur sosial merupakan hubungan yang akan bertahan dan terpola di setiap unsur yang ada di dalam masyarakat. 

Struktur sosial hadir dan bersifat memaksa namun tidak mengikat untuk setiap individu dalam masyarakat menjalani perilaku sosial yang sesuai dengan pola yang sudah ada dalam struktur sosial dan tertanam di dalam setiap individu (Kusmanto & Elizabeth, 2018). Salah satu aspek sosial yang tertata dalam struktur sosial adalah gender dan pembagian peran antara kedua gender yakni laki-laki dan perempuan. Namun terkadang pembagian peran di antara keduanya memberikan rasa tidak adil pada salah satu pihak yakni perempuan. 

Permasalahan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan bisa dipecahkan jika pihak yang merasa tertindas mau melakukan letupan sosial atau dalam konteks ini bisa berbentuk gerakan untuk menyuarakan apa saja yang selama ini dikeluhkan dan bagaimana seharusnya gender bukan menjadi suatu pembeda perlakuan antara laki-laki dan perempuan

Pembagian Peran Suami dan Istri dalam Keluarga

Keluarga tersusun antara laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk menikah dan memiliki keturunan, namun saat ini definisi keluarga tidak melulu terdiri dari ayah, ibu dan anak. Banyak bentuk keluarga yang spesial yang bisa kita temui, namun pada umumnya keluarga terdiri dari suami, istri dan anak. 

Suami dan istri memiliki perannya masing-masing dalam menjalankan rumah tangga, termasuk dalam usaha untuk mendidik anak. Pernikahan sebenarnya berisi serangkaian kerjasama antara suami dan istri, juga bentuk perilaku saling membantu satu sama lain sehingga pekerjaan sehari-hari bisa terselesaikan dengan mudah. 

Namun lagi-lagi konstruk sosial yang ada membuat pembagian peran antara suami dan istri berbeda, suami berperan sebagai pencari nafkah dan istri fokus untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga termasuk mengasuh anak sehingga anggapan masyarakat terhadap peran istri dalam mengurus anak dan merawat rumah adalah hal yang sangat biasa.

Berkaca pada ilustrasi di atas, ketika suami melakukan aktivitas diluar mencari nafkah maka sosok suami tersebut akan dijuluki dengan berbagai julukan yang special. Berbeda terbalik dengan istri yang terkadang mendapat cibiran ketika melakukan aktivitas yang biasanya tidak dilakukan oleh ibu rumah tangga lainnya, sesederhana seorang istri yang memilih untuk fokus pada karirnya. 

Jika diartikan kembali pada definisi awal, bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan mereka sebagai pasangan suami dan istri sebenarnya berisikan kerjasama antar kedua belah pihak untuk mengerjakan segala hal yang nantinya dihadapi termasuk urusan mengurus anak. 

Artinya baik suami dan istri sebenarnya bisa melakukan aktivitas yang beragam tanpa memperdulikan laki-laki ataupun perempuan, singkatnya seorang suami harus bisa mengerjakan pekerjaan istri, dan istri pun harus bisa mengerjakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan suaminya. Maka dengan begitu pernikahan berisikan kerjasama yang baik sebagai satu keluarga, bukan menghakimi pembagian peran yang sebenarnya di masa modern seperti ini hal tersebut sudah sangat kuno.

Namun sayangnya lagi dan lagi konstruk sosial memberikan pengaruh yang cukup banyak, hal ini juga ditambah dengan budaya patriarki yang di beberapa negara masih dijunjung tinggi termasuk di Indonesia (Sakina & A., 2017). Pandangan bahwa laki-laki selangkah berada di atas perempuan membentuk ketimpangan dalam beberapa aspek sosial. Hadirnya budaya patriarki juga sebenarnya diikuti oleh pendapat agama, terutama agama Islam bahwa sosok pemimpin rumah tangga harus dipenuhi sepenuhnya oleh seorang istri. 

Namun hal ini sebenarnya tidak bisa dijadikan aji mumpung bagi pemilik gender tertentu memanfaatkan keadaan terhadap gender yang lainnya. Maka dari itu pembagian peran antara suami dan istri harus sama rata, tidak boleh dibedakan. 

Dengan pemberlakuan seperti ini maka suatu pernikahan bisa disebut sebagai bentuk kerjasama untuk saling menolong, membahagiakan, dan melindungi sebagaimana fungsi keluarga pada umumnya.

Maka dalam tulisan ini inti sari yang ingin disampaikan adalah berhenti untuk membuat atau menilai sesuatu dengan penilaian khusus pada satu gender. Tidak ada yang spesial, kedua gender baik itu laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Begitupun dengan peran ayah dan ibu dalam keluarga, keduanya memiliki kedudukan yang setara. 

Jika sosok ayah membutuhkan tenaga lebih untuk fokus bekerja, begitupun dengan sosok ibu yang harus serba-bisa dalam merawat rumah dan mendidik anak. Terutama dalam mendidik anak, ibu dan ayah memiliki porsi kewajiban yang setara dalam mengurus anak. Artinya suami dan istri harus senantiasa bekerja sama mendidik anak dan memberikan arti keluarga yang sebenarnya kepada anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun