Namun sayangnya lagi dan lagi konstruk sosial memberikan pengaruh yang cukup banyak, hal ini juga ditambah dengan budaya patriarki yang di beberapa negara masih dijunjung tinggi termasuk di Indonesia (Sakina & A., 2017). Pandangan bahwa laki-laki selangkah berada di atas perempuan membentuk ketimpangan dalam beberapa aspek sosial. Hadirnya budaya patriarki juga sebenarnya diikuti oleh pendapat agama, terutama agama Islam bahwa sosok pemimpin rumah tangga harus dipenuhi sepenuhnya oleh seorang istri.Â
Namun hal ini sebenarnya tidak bisa dijadikan aji mumpung bagi pemilik gender tertentu memanfaatkan keadaan terhadap gender yang lainnya. Maka dari itu pembagian peran antara suami dan istri harus sama rata, tidak boleh dibedakan.Â
Dengan pemberlakuan seperti ini maka suatu pernikahan bisa disebut sebagai bentuk kerjasama untuk saling menolong, membahagiakan, dan melindungi sebagaimana fungsi keluarga pada umumnya.
Maka dalam tulisan ini inti sari yang ingin disampaikan adalah berhenti untuk membuat atau menilai sesuatu dengan penilaian khusus pada satu gender. Tidak ada yang spesial, kedua gender baik itu laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Begitupun dengan peran ayah dan ibu dalam keluarga, keduanya memiliki kedudukan yang setara.Â
Jika sosok ayah membutuhkan tenaga lebih untuk fokus bekerja, begitupun dengan sosok ibu yang harus serba-bisa dalam merawat rumah dan mendidik anak. Terutama dalam mendidik anak, ibu dan ayah memiliki porsi kewajiban yang setara dalam mengurus anak. Artinya suami dan istri harus senantiasa bekerja sama mendidik anak dan memberikan arti keluarga yang sebenarnya kepada anak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI