"Aku mewarnai pipiku karena kesenanganku. Bukan karena ingin dilihat kamu atau untuk menghiburmu."
"Kau tak perlu berhenti mewarnai pipimu itu. Aku suka dengan kesukaanmu. Kamu menyukai mewarna pipimu dengan warna merah, aku menyukainya. Pun kau menyukai hal lain, aku juga menyukai itu."
Hening.
Kutunggu-tunggu, rupanya tak ada tanggapan darinya. Percakapan kami selesai sampai di situ. Aku masih merasa cemas. Jangan-jangan semua perkataanku tadi telah menyinggungnya. Bagaimana kalau ternyata dia benar-benar berhenti me-merah-kan pipinya sejak besok? Perubahan apa yang akan terjadi padanya? Apa akibatnya padaku?
Tetapi, aku sangat berlebihan. Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya. Pipinya tetap merah, senyumnya tetap manis, dan dia tetap menjadi gadis yang periang. Sesekali melirik padaku dan melempari senyuman manisnya.
Paras cantinya, pipi merahnya dan senyum manisnya adalah kombinasi yang sangat sempurna. Semua itu yang selalu menjadi bunga tidurku. Sekarang tak perlu lagi putus asa dan merasa ditelan gelap. Karena sekarang sudah ada fajar yang kan selalu kujumpai.
Semoga kalian juga akan menjumpai fajar esok pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H