"Apa yang kau sukai dari wajahku?"
"Pipimu"
"Kenapa dengan pipiku?"
"Pipimu merah"
Ia tampak tersipu. Senyumnya mulai tersungging. Dengan bibir agak melengkung, ia melempar pertanyaan lagi. "Apa istimewanya pipi merah ini bagimu?
Aku setengah terbelalak mencerna pertanyaan itu. Bagaimana mungkin dia bertanya sedalam itu? Apa yang akan kujadikan jawaban? Baiklah, dia berhak tahu alasan kenapa pipinya bisa kusukai.
Aku berdeham dan memulai, "Sudah lama hidupku menderita. Menghadapi masalah yang kian menumpuk dan terselesaikan. Belum selesai masalah yang satu, disusul masalah lain. Semua itu membuatku pusing. Kehidupan terasa gelap gulita. Tak ada siang dan hanya ada malam, karena sama-sama gelap.
"Sejak saat itu, aku berpikir mungkin nasibku memanglah untuk ditelan malam. Aku tak berani lagi untuk bermimpi menemui pagi. Menyambut fajar yang mewarnai langit timur. Aku putus asa.
"Akan tetapi, sejak melihatmu, aku mulai merasa bisa bangkit lagi. Tuhan mempunyai cara yang unik untuk memberitahuku bahwa aku masih punya kesempatan untuk melihat fajar merah. Salah satunya ialah dengan memperlihatkan merah pipimu. Aku senang dengan kehadiran fajar. Fajar selalu mengawali suasana yang cerah. Dan aku pikir hidupku akan selalu cerah, asal kau sudi selalu mengawali kecerahan hidupku. Itu saja."
Dia agak lama terdiam. Kemudian, ia berkata, "Kalau begitu, sejak besok mungkin aku tidak akan memerahkan pipiku."
"Kenapa?"