Guru di depan kelas mengajar seluruh materi sampai jam pelajaran selesai. Sedangkan anak didik dituntut untuk datang, duduk, diam, dengar dan pulang. Tentu saja kita harus akui bahwa di beberapa sekolah sistem seperti itu sudah diusahakan sedemikian rupa dirombak ke sistem yang lebih bersifat interaktif.
Begitu terkontaminasinya pikiran kita menyebabkan kita tidak terbiasa mempertanyakan segala sesuatu yang sudah dianggap sebagai kebenaran umum. Kebiasaan itu terjadi sejak kita masih kanak-kanak hingga dewasa. Di sini kita memasuki ranah yang sudah diakrabi sekaligus terabaikan.Â
Kita seperti kehilangan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk diajukan. Segala sesuatu di sekitar kita, sejauh sudah disepakati dan diterima sebagai kebenaran umum maka dianggap wajar.
Adakah yang pernah bertanya, mengapa jika memberikan sesuatu harus menggunakan tangan kanan? Jawaban klasik yang biasa didapat adalah memberi dengan tangan kanan jauh lebih sopan.Â
Pertanyan selanjutnya mengapa memberi dengan tangan kanan dianggap lebih sopan? Karena budaya. Sampai disini kita merasa itu adalah jawaban final. Padahal kalau kita perhatikan tangan kita, keduanya adalah sama-sama anggota tubuh dan terbentuk dari daging dan komponen tulang yang sama. Kita enggan untuk menggali lebih dalam. Misalnya mungkin ada hubungannya dengan hormon dalam tubuh atau sistem kerja otak. Atau mungkin ada alasan lain yang lebih bisa diterima dengan logika.
Kasihan bagi mereka yang cacat tangan kanannya, akhirnya menjadi minder sendiri. Atau bagi mereka yang kidal sejak lahir, harus menyesuaikan diri menggunakan tangan kanan  jika melakukan sesuatu yang ada kaitannya dengan orang lain.
Tidak adanya kebiasaan mempertanyakan sesuatu lebih dahulu juga membuat kita menjadi orang yang sensitif. Apa lagi jika konteks pembicaraannya menyangkut agama. Misalnya, berhadapan dengan teks-teks kitab suci entah dari agama apa pun, kita cenderung mengkultuskannya pada ruang mistis magis saja.
Padahal selain ajaran tentang iman yang bisa ditumbuhkembangkan lewat teks-teks tersebut, di dalamnya ada juga banyak pengetahuan dan konsep-konsep pengetahuan yang sebenarnya bisa menjadi jembatan antara iman dan akal budi. Orang memenjarakan kitab suci sebatas pada agama dari kitab suci tersebut.Â
Hal itu membikin orang ragu membaca teks sebagai teks. Akhirnya yang muncul, seolah-olah iman dan akal budi adalah dua hal yang saling bertentangan. Padahal antara yang satu dengan yang lain tidak bisa dilepas pisahkan begitu saja. Bahwa antara iman dan akal budi, keduanya bisa saja saling menopang untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik. Situasi itu yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Kepercayaan akan sesuatu dipoles sedemikian rupa lewat interaksi sosial sehingga kepercayaan tidak nampak sebagai kepercayaan. Kepercayaan akan sesuatu itu dikemas seperti fakta dan diamini sebagai realitas konkrit. Banyak yang mengganggap bahwa itulah kenyataan yang sesungguhnya. Karena itu, hal tersebut mesti dijadikan pegangan hidup. Jika ada yang tidak mengakui hal tersebut maka dia dianggap musuh yang ingin menyesatkan. Padahal, orang lain tersebut tidak bermaksud untuk menyesatkan. Dia hanya coba melihat sesuatu itu dari sudut pandang yang berbeda.
Lemahnya sikap mempertanyakan segala sesuatu membuat kita menjadi orang yang mudah menerima sesuatu yang datang dari luar tanpa menyaringnya. Resiko paling nyata dari situasi itu adalah pembatasan secara kasat mata terhadap perkembangan pola pikir diri sendiri.Â