Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inkarnasi dan Misi dalam Gereja Katolik

8 November 2019   08:11 Diperbarui: 14 November 2019   21:35 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inkarnasi

Dewasa ini, ketika orang Katolik berbicara tentang inkarnasi, hal ini tak bisa dilepaspisahkan dengan misi. 

Pemahaman baku tentang inkarnasi nampak dalam perspektif Irenius, yaitu inkarnasi bukanlah sesuatu yang diakibatkan oleh dosa manusia, sebagai semacam solusi ekstrim; sejak awal mula inkarnasi itu ditampilkan sebagai ungkapan kasih Allah. 

Irenius melihat, ihwal Kristus menjadi manusia bukan karena manusia sudah berbuat dosa tetapi karena inkarnasi itu sendiri sudah ada dalam rencana Allah.

Jelas disini paham inkarnasi dimaksudkan Irenius, terbatas pada penjelmaan diri Allah dalam diri Yesus. Pandangan tentang inkarnasi ini yang dimaknai sebagai penjelmaan Allah dalam diri Yesus sudah ada dalam Gereja sejak awal mula.

Paham tentang inkarnasi dewasa ini sudah meluas. Inkarnasi tidak hanya dipahami sebagai penjelmaan Allah dalam Yesus Kristus, tetapi juga dapat dipahami sebagai pengejawantahan diri Allah dalam karya-karya manusia. Allah menjelma dalam diri Yesus Kristus, yang kemudian mewartakan dan mewariskan apa yang harus dilakukan umat-Nya. 

Pengambil bagian atau partisipasi aktif dalam karya pewartaan Yesus, berarti telah turut mewartakan Allah yang telah berinkarnasi, dan dengan demikian inkarnasi adalah penjelamaan diri Allah, bukan saja dalam diri Yeus kristus, tetapi juga dalam setiap karya pewartaan manusia sesuai Injil Kristus. Berbicara soal pewartaan, berati tak lepas pula kita berbicara soal misi.

Misi

Pemahaman misi dalam Gereja katolik terbagi atas dua konteks. Pertama adalah mereka yang masih memahami misi dalam konteks "Extra Ecllesiam Nulla Salus" (Diluar Gereja tidak ada keselamatan).

Kedua adalah mereka yang  selangkah lebih maju, yang memahami misi dalam konteks "exstra ecllesiam salus est" (Diluar Gereja juga ada keselamatan).

Pertama, misi dalam konteks "Extra Ecllesiam Nulla Salus".  Paham ini tentu tidak lahir dengan sendirinya dalam diri umat. Paham seperti ini muncul sebelum Konsili Vatikan II yang diwariskan oleh beberapa Bapak Gereja dan tertanam dalam diri umat. 

Hal itu dapat dilihat dalam Perjanjian Lausanne  tahun 1974, yang menegaskan bahwa "hanya ada satu Penebus dan satu Injil (Gal 1: 6-9), dan bahwa barang siapa menolak Kristus menampik suka cita keselamatan dan menghukum diri mereka sendiri dengan perpisahan abadi dari Allah (2 Tes 1: 7-9)". 

Paham seperti itu juga yang mendorong semangat para misionaris untuk pergi mewartakan dan menobatkan orang yang belum dibaptis agar menjadi Katolik sehingga memperoleh keselamatan kekal.

Tradisi seperti ini juga yang mengobarkan semangat misioner Fransiskus Xaverius dan Wiliam Carey, bersama dengan sejumlah misionaris yang tak terhitung banyaknya pada abad ke-18 dan ke-19. Mereka memahami gagasan karya misi ialah "menyelamatkan jiwa-jiwa" atau setidak-tidaknya "menanam Gereja" yang akan melaksanakan karya menyelamatkan "orang-orang kafir yang malang".

Hal itu masih terus dijalankan, terlebih khusus dalam Manifesto Manila, tahun 1989 yang turut menegaskan bahwa misi merupakan tugas yang mendesak dan bahwa "agama-agama lain, serta ideologi-ideologi lain bukanlah jalan alternatif  menuju Allah, dan bahwa spiritualitas manusia, bila tidak ditebus oleh Kristus, bermuara bukan kepada Allah melainkan kepada penghakiman, karena Kristus adalah satu-satunya jalan".

Orang-orang yang menganut paham misi seperti ini akan melihat upaya-upaya dialog antaragama yang kini digalakkan sebagai kesia-siaaan belaka atau berbahaya. 

Kesia-siaan belaka, karena mereka melihat dialog tidak akan bisa menyelamatkan jiwa umat beragama lain, melainkan hanya mengenal umat lain kecuali dengan "mentobatkan". Berbahaya, karena akan muncul fanatisme agama. Oleh karena itu, mereka akan membenci dan berusaha menyingkirkan agama lain.

Kedua, misi dalam pemahaman "di luar Gereja masih ada keselamatan (exstra ecllesiam salus est)." Paham misi ini muncul sesudah konsili Vatikan II. Sebuah kalimat yang sering kali dikutip dari dokumen KV II tentang Gereja di dalam dunia modern oleh Paus Yohanes Paulus II, menegaskan bahwa Gereja mengajarkan "Roh kudus membuka kemungkinan bagi semua orang untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah, digabungkan dengan Misteri Paskah itu" (GS 22).

Dalam satu diskusi lepas, seorang umat mengatakan bahwa "misionaris harus lebih banyak diutus ke daerah-daerah yang belum mengenal Kristus untuk mentobatkan dan membaptis mereka menjadi katolik". 

Kata "mentobatkan" mengandaikan seseorang berada dalam lembah kedosaan dan tak akan memperoleh keselamatan jiwa. Sehingga kalimat pergi mewartakan Injil Tuhan dan "mentobatkan" banyak orang, mengisyaratkan bahwa orang yang mengatakan hal tersebut tidak mengakui adanya keselamatan di luar Gereja, dan secara tidak langsung menegaskan bahwa orang tersebut adalah manusia suci dan tanpa dosa. 

Paham seperti itu sudah harus ditinggalkan, mengingat pengakuan Gereja sesudah Konsili Vatikan II bahwa di luar Gereja juga ada keselamatan. 

Seperti yang juga ditegaskan oleh konferensi misi dan Evangelisme sedunia, tahun 1989 di San Antonio Texas, yang memaklumkan bahwa "kita tidak dapat menunjuk pada jalan keselamatan kecuali Yesus Kristus; pada saat yang sama kita tidak dapat membatasi daya penyelamatan Allah".

Orang yang menganut paham itu akan melihat umat agama lain sebagai patnernya. Dialog antaragama akan terus dikembangkannya sebagai salah satu jalan meretas konflik, dan inkulturasi akan dilihatnya sebagai jalan untuk memperlancar dialog itu sendiri.

Dengan demikian dari semuanya ini harus dipahami bahwa konteks Allah terinkarnasi tidak hanya dipahami dalam diri Yesus Kristus, tapi juga dalam tiap kebajikan-kebajikan  yang dibuat umat-Nya. 

Dan misi tidak lagi dilihat sebagai salah satu bentuk subordinasi agama lain, dalam kata khasnya, "mentobatkan" tapi sebagai bentuk pemberian contoh Allah yang telah berinkarnasi dalam teladan hidup setiap umat-Nya sesuai Sang Teladan hidup utama yaitu Yesus Kristus sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun