Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Praktik Perdagangan Orang di Nusa Tenggara Timur

30 Mei 2019   20:03 Diperbarui: 30 Mei 2019   20:32 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita perdagangan manusia (human traffiking) di provinsi Nusa Tengara Timur (NTT) menjadi seolah santapan biasa dalam media massa maupun dalam diskusi formal atau non-formal. Persoalan perdagangan manusia di NTT tidak saja menyangkut persoalan lebih tingginya kasus perdagangan manusia di NTT dibandingkan dengan di Provinsi lain. 

Seperti yang terungkap pada Desember 2009, dalam kunjungan kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Propinsi NTT, didapat laporan ada 1.300 kasus perdagangan manusia dan pengiriman tenaga kerja ilegal dari NTT. Tetapi juga soal keterlibatan oknum polisi, pejabat nakertrans, perusahaan jasa tenaga kerja, dan pihak lain lagi yang secara sengaja maupun tidak ikut terlibat dalam kasus perdagangan manusia (Pos Kupang, 07/12/2014).  

Adapun tujuan perdagangan manusia itu antara lain bekerja baik di dalam maupun di luar negeri, pelayan di tempat-tempat hiburan malam, dipekerjakan di rumah-rumah pelacuran, perkawinan dengan orang dari negara lain, dipekerjakan secara paksa di pekerbunan, dijadikan sebagai pengemis (khusus anak-anak), nikah kontrak dan lain sebagainya.

Menurut pasal 11 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengakutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi tertentu, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara mapun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Ada beberapa alasan kian meningkatnya kasus perdagangan manusia di NTT.

Pertama kurangnya kesadaran pemerintah melihat persoalan human traffiking. Pemerintah lebih menyibukkan diri dalam persoalan politik, pilkada, tambang, batas wilayah, penggunaan aset daerah ketimbang menyoroti persoalan human traffiking. Hal ini bukan dimaksud bahwa mulai saat ini pemerintah mesti mengabaikan berbagai persoalan lain di atas dan hanya fokus pada persoalan traffiking. Tidaklah demikian. Harus ada keseimbangan dalam menyoroti berbagai persoalan karena persoalan traffiking juga adalah persoalan yang penting untuk ditangani karena menyangkut pengingkaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan manusia.

Kedua, kasus korupsi begitu besar di NTT. Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), Ilian Deta Arthasari, angka korupsi di NTT tinggi dan banyak dana yang bocor di tengah jalan, tak sampai ke tangan masyarakat. Tidak terpenuhinya kebutuhan hidup harian dan juga minimnya lowongan pekerjaan menyebabkan banyak orang berusaha mengadu nasib dan mencari rejeki di luar negeri. Alih-alih mendapatkan pekerjaan yang layak dan rejeki berlimpah, mereka malah diperdagangkan oleh oknum-oknum tertentu yang mengejar keuntungan kelompok dan pribadi.

Ketiga longgarnya hukum. Ada pandangan yang menyatakan bahwa maraknya perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak) di NTT bermula dari kebiasaan kalangan aparat pemerintah tingkat kota yang mempermudah proses penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Akta Kelahiran bagi seseorang dengan memanipulasi umur atau pun alamat. Uang menggoda mereka untuk mengabaikan proses administrasi kenegaraan yang sah serta menghancurkan masa depan Calon Tenaga Kerja (Pos Kupang, 11/02/2009).

Menjawabi masalah ini maka hemat penulis ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu: 

Pertama, UU No. 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa perdagangan manusia bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap HAM. Undang-undang ini harus dijadikan landasan dan motivasi untuk berjuang. Persoalan traffiking bukan saja menjadi tanggung jawab pihak kepolisian atau pemerintah semata. Sebagai warga negara yang bernaung di bawah payung hukum dan undang-undang maka kita mempunyai hak dan berkewajiban melawan traffiking. 

Hal itu bukan berarti bahwa warga mempunyai hak untuk main hakim sendiri. Tidaklah demikian. Warga mesti bersama-sama membantu proses penangkapan mafia perdagangan manusia, yang selanjutnya untuk proses akhir diserahkan kepada pihak yang berwajib menjatuhkan putusan.

Kedua, salah satu faktor terbesar munculnya traffiking adalah kasus korupsi yang begitu besar. Karena itu, seruan ICW yang mendesak komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (STPMH) agar menelaah dugaan korupsi di Propinsi NTT harus ditindaklanjuti. Pemerintah mesti mendesak agar segera mendatangkan KPK dan STPMH untuk menangani persoalan korupsi yang  begitu masif di NTT.

Ketiga, sistem perekrutan TKI harus dikawal secara ketat mulai dari pengurusan kartu identitas sampai kepada penempatan kerja TKI di luar negeri. Bila perlu pemerintah atau lembaga yang bergerak di bidang perekrutan TKI mesti memberitakan di media massa setiap pengiriman TKI. Hal ini untuk menghindari manupulasi data dan mempertegas kontrol publik terhadap pelaksanaan pengiriman TKI ke luar negeri.

Usaha memberantas persoalan perdagangan manusia di NTT di tengah kepincangan birokrasi dan situasi masyarakat yang tidak mendukung terciptanya suatu keadaan ekonomi yang baik, bukanlah hal yang mudah. Persoalan kurangnya perhatian pemerintah pada persoalan perdagangan manusia, tingginya kasus korupsi, dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap sistem merupakan celah yang memudahkan terjadinya perdagangan manusia di NTT.

Karena itu, jika ingin menuntaskan persoalan perdagangan manusia di NTT maka yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah akar yang menciptakan persoalan ini kian meningkat. Pemerintah harus memerhatikan persoalan ini secara sungguh yaitu kasus korupsi mesti di berantas hingga ke akar-akarnya, dan sistem serta hukum harus diterapkan secara ketat dan benar.

Agak aneh memang, kalau oknum-oknum yang justru diandalkan seharusnya menjadi pemutus rantai perdagangan manusia sebalikya justru menjadi mafia perdagangan manusia. Kita tentu tidak memandang bahwa ini merupakan kesalahan lembaga atau instansi, tetapi harus diakui bahwa ada oknum-oknum tertentu yang karena uang akhirnya melakukan penyimpangan terhadap jabatannya. Pelaku-pelaku seperti inilah yang mesti dipantau dan ditindak secara tegas. 

Kita tentunya menyesal dengan sikap mereka dalam mengentas problem kemanusiaan ini. Oleh karena itu, usaha untuk menyelesaikan problem ini menjadi tugas kita semua. Tidak ada cara lain selain melawan praktik perdagangan manusia sampai tuntas. Di bawah payung hukum dan undang-undang, kita hendaknya terus melawan praktik perdagangan manusia sebagai bentuk penghargaan kepada harkat dan martabat manusia, dan sebagai wujud pengabdian kita kepada negara.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun