Dalam beberapa tahun terakhir ini bencana alam seperti tidak lelah berkunjung di bumi Indonesia. Banyak daerah di Indonesia mengalami bencana alam baik dalam skala yang besar maupun kecil.
Bencana alam oleh filsuf abad pertengahan sekaligus sebagai seorang teolog, St. Agutinus, digolongkan dalam salah satu dari tiga keburukan atau malum yaitu malum physicum (keburukan yang datang dari alam) dan dua lainnya malum morale (keburukan moral) dan malum metaphysicum (keburukan yang diakibatkan oleh kekurangan metafisis).
Menurut St. Agutinus malum physicum adalah keburukan yang disebabkan oleh alam dengan penekanan pada akibat tindakan manusia merusak alam. Bagi St. Agutinus, keburukan ini walau sangat sukar dapat dipulangkan kepada dosa manusia, merupakan akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh manusia.
Jika dikritisi, pengklasifikasian bencana alam oleh St. Agutinus dalam malum physicum cukup terbatas atau sempit. Keterbatasan ini nampak dalam bencana alam yang hanya terjadi karena ulah manusia. St. Agutinus memandang bencana alam adalah akibat dari kesalahan dan pelanggaran manusia merusakkan keseluruhan tatanan alam, sehingga alam yang diciptakan secara amat baik demi kebahagiaan manusia menjadi sumber penderitaan dan kemalangannya. Misalnya, penebangan hutan secara liar yang dapat menyebabkan banjir dan erosi.
Pertanyaan untuk St. Agutinus, bagaimana dengan erupsi gunung merapi atau patahan dalam bumi yang terjadi yang tidak disebabkan oleh ulah manusia? Apakah bencana seperti ini dapat digolongkan dalam malum physicum?
Namun, pandangan St. Agutinus seperti yang telah dipaparkan sebenarnya dapat ditolerir, karena dalam proses pengklasifikasiannya, Â ia memasukkan unsur teologis sesuai jaman saat ia hidup yang filsafatnya bercirikan teosentrisme (berpusat pada Tuhan). St. Agutinus berbicara tentang hal ini terbatas pada pandangannya tentang dosa asal : peccatum originale.
Sehubungan dengan hal ini benar apa yang yang telah dilontarkan seorang filsuf saman romantik, Hegel, bahwa tiap filsafat adalah produk samannya. Oleh karena itu, jika ajaran St. Agutinus dikaitkan dengan bencana alam  yang  terjadi saat ini di Indonesia, maka ajarannya tentu tidak akan menjawabi semua masalah yang terjadi saat ini. Segi positif dari  ajarannya adalah adanya proses penyadaran di dalamnya, yang mana manusia akan berusaha memperbaiki kesalahannya.
Ada masyarakat Indonesia yang kini mulai melihat bencana alam yang datang bertubi-tubi ini sebagai kutukan. Mereka menerima bencana-bencana itu sebagai suatu suratan nasib. Sehingga proses penyadaran untuk memperbaiki kesalahan tidak ada dan membiarkan bencana itu terus berlanjut. Karena itu, bencana alam yang terjadi di Indonesia saat ini mulai menjerumuskan perlahan-lahan masyarakat Indonesia pada sikap hidup yang pesimis dan skeptis dan yang lebih parah lagi menjerumuskan masyarakat pada sikap fatalistis.
Lahirnya Fatalisme dalam Masyarakat
Suatu hari ketika saya berkunjung ke rumah tanta saya, saya didekati oleh seorang Paman, tetangga dari tanta saya. Ia bertanya kepadaku "Adik, bagaimana adik melihat semua bencana yang akhir-akhir ini terjadi, bayangkan banyak bencana terjadi bertepatan pada tanggal 26". Ia lalu menunjukkan sebuah sms dari HP-nya yang tertulis begini, "tanggal 26-12-2004 tsunami di Aceh. 26-05-2006 gempa di Djogja. 26-09-2009 gempa di Padang. 26-06-2010 gempa di Tasik. 26-10-2010 tsunami di Mentawai. 26-10-2010 merapi meletus. Kok semuanya tanggal 26 ya?? Sebarkan ke orang yang kamu kenal". Lalu orang itu berkata  padaku "mungkin ini suatu kutukan dari Tuhan". Kemudian saya hanya menjawab singkat sekenanya saja tanpa mengecek ketepatan tanggal-tanggal tersebut, "mengenai tanggal itu mungkin hanya kebetulan belaka".
Dari pengalaman singkat di atas kita dapat melihat bahwa telah banyak orang perlahan-lahan mulai terperosok dalam jurang fatalisme. Dapat kita bayangkan jika setiap orang yang mendapat satu SMS itu lalu menyebarkan juga kepada dua, tiga atau sepuluh teman lainnya. Memang tak dapat dipungkiri juga bahwa sms seperti itu dapat menyadarkan orang pada Kemahakuasaan Tuhan. Tetapi bagaimana jika hal semacam itu justru memojokkan orang pada sikap fatalistis.
Fatalistis merupakan kata sifat dari kata fatalisme yang berasal dari bahasa Inggris, fatalism, yang juga diturunkan dari bahasa Latin fatalis yang mempunyai arti berpautan atau bertalian dengan nasib atau takdir ; fatum : takdir, nasib ; adalah suatu sikap yang berpaham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Sikap seperti ini mengakibatkan banyak orang mudah menyerah pada nasib. Orang akan melihat kesengsaraan terlebih khusus yang diakibatkan oleh bencana alam  yang sedang melanda Bangsa Indonesia saat ini sebagai suatu suratan takdir. Atau dengan kata lain Tuhan sendiri yang menginginkan hal tersebut sehingga dibiarkan saja semua tetap berlanjut. Masyarakat tidak mau berusaha memperbaiki atau menanggulangi berbagai keadaan yang dapat mendatangkan bencana.
Sikap fatalistis membuat orang mempunyai pandangan tentang Tuhan yang picik dan tidak realistis tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia. Bagi mereka Tuhan seakan-akan sudah menadirkan segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk yang jahat. Sehingga orang-orang fatalis juga melihat Tuhan sebagai pengirim roh-roh jahat seperti yang ada dalam khayalan mereka.
Fatalisme di Indonesia yang bersembunyi di belakang topeng agama mematahkan daya juang, kekuatan untuk keluar dari penderitaan dan penggunaan akalbudi secara maksimal. Sikap fatalistis ini membuat orang hanya menunggu bencana datang tanpa mau mencegah atau menghindari bencana karena sudah dianggap sebagai kehendak Tuhan sehingga tak pelak banyak korban jiwa berjatuhan. Oleh karena itu, kritik Lenin "agama adalah candu untuk rakyat" dan dari  beberapa filsuf seperti Nietsche dan Karl Max, sejauh menyangkut fatalisme adalah benar.
Pendayagunaan Akal Budi
Sebagaimana diungkapkan John Prior, dalam seminar "Dialektika Sekularisasi: Hubungan antara Akal Budi dan Iman" (08-01-2011) di Aula STFK Ledalero, Maumere, NTT, "...Negara kita belum cukup sekular. Keyakinan bahwa Allah terus-menerus campurtangan secara langsung melalui bencana-bencana alam, mengisyaratkan bahwa kita harus memperluas ruang sekular".
Tuhan tentu tak akan menginginkan dan membiarkan  mahkluk ciptaannya tertimpa bencana atau berada dalam keterpurukan. Sama seperti seorang ibu yang tak akan menginginkan dan membiarkan seorang anaknya mengalami penderitaan. Oleh karena itu, Tuhan  memberikan berbagai kemampuan kepada manusia untuk dipergunakan guna mengatasi berbagai situasi yang menekan seperti sekarang ini.
Salah satu kemampuan terbesar yang dimiliki manusia adalah akalbudi selain intuisi dan penggunaan kesadaran. Dalam pemahaman St. Thomas Aquinas, akalbudi merupakan sebuah kemampuan hakiki yang memberi ciri tersendiri bagi manusia bila dihadapkan dengan ciptaan lain seperti binatang. Dengan akalbudi manusia mempunyai suatu keunggulan yang tak dimiliki mahkluk lain. Keunggulan sebagai karunia Tuhan ini hendaknya dipergunakan manusia semaksimal mungkin. Apa lagi di jaman yang serba canggih seperti sekarang ini.
Misalnya, telah ada mesin pendeteksi gejala bencana alam yang akan terjadi seperti TEWSÂ (Tsunami Early Warming System)Â yang telah dipasang oleh ahli-ahli dari Jerman di pesisir pantai Mentawai, yang akan memberi alarm jika ada gejala tsunami akan terjadi. Telah ada badan-badan khusus yang selalu siap siaga memantau bencana alam yang akan terjadi. Misalnya, pemantau aktivitas gunung merapi, BMKG dan lain sebagainya.Â
Oleh karena itu, jika muncul gejala akan terjadi bencana alam atau ada instruksi dari badan yang bertugas di bagian pemantauan  atau telah terdengar alarm-alarm akan terjadi bencana alam maka orang harus segera meninggalkan area jangkauan bencana sehingga tidak perlu ada korban berjatuhan.Â
Masyarakat juga tidak hanya harus bergantung pada prediksi berbagai pakar atau alat teknologi tapi harus bisa mengandalkan kemampuan pribadi dengan membaca tanda-tanda alam seperti yang telah dilakukan leluhur kita dahulu.
Penggunaan akalbudi yang maksimal juga membuat orang bersikap realistis dan tidak hanya melihat segala sesuatu sebagai suratan takdir dari Tuhan yang tidak mungkin dapat dielakkan. Dengan akalbudi orang bisa mencari tahu penyebab bencana alam lalu mencegah atau menghindari area jangkauan bencana tersebut.
Malum physicum yang disajikan St. Agutinus dapat berdayaguna bagi semua orang dalam proses penyadarannya. Masyarakat harus menyadari sikapnya dan mulai dari sekarang berusaha melestarikan alam sekitar.Â
Misalnya, dari hal-hal sederhana seperti tidak membuang sampah di sembarang tempat dan juga menolak segala bentuk eksploitasi alam yang  kurang  bertanggung jawab seperti penebangan hutan secara liar dan pertambangan yang kurang bertanggung jawab. Dengan demikian, sikap fatalistis tidak perlu diteruskan dan ditelurkan kepada generasi-generasi berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H