Fatalistis merupakan kata sifat dari kata fatalisme yang berasal dari bahasa Inggris, fatalism, yang juga diturunkan dari bahasa Latin fatalis yang mempunyai arti berpautan atau bertalian dengan nasib atau takdir ; fatum : takdir, nasib ; adalah suatu sikap yang berpaham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Sikap seperti ini mengakibatkan banyak orang mudah menyerah pada nasib. Orang akan melihat kesengsaraan terlebih khusus yang diakibatkan oleh bencana alam  yang sedang melanda Bangsa Indonesia saat ini sebagai suatu suratan takdir. Atau dengan kata lain Tuhan sendiri yang menginginkan hal tersebut sehingga dibiarkan saja semua tetap berlanjut. Masyarakat tidak mau berusaha memperbaiki atau menanggulangi berbagai keadaan yang dapat mendatangkan bencana.
Sikap fatalistis membuat orang mempunyai pandangan tentang Tuhan yang picik dan tidak realistis tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia. Bagi mereka Tuhan seakan-akan sudah menadirkan segala sesuatu yang ada di dunia ini termasuk yang jahat. Sehingga orang-orang fatalis juga melihat Tuhan sebagai pengirim roh-roh jahat seperti yang ada dalam khayalan mereka.
Fatalisme di Indonesia yang bersembunyi di belakang topeng agama mematahkan daya juang, kekuatan untuk keluar dari penderitaan dan penggunaan akalbudi secara maksimal. Sikap fatalistis ini membuat orang hanya menunggu bencana datang tanpa mau mencegah atau menghindari bencana karena sudah dianggap sebagai kehendak Tuhan sehingga tak pelak banyak korban jiwa berjatuhan. Oleh karena itu, kritik Lenin "agama adalah candu untuk rakyat" dan dari  beberapa filsuf seperti Nietsche dan Karl Max, sejauh menyangkut fatalisme adalah benar.
Pendayagunaan Akal Budi
Sebagaimana diungkapkan John Prior, dalam seminar "Dialektika Sekularisasi: Hubungan antara Akal Budi dan Iman" (08-01-2011) di Aula STFK Ledalero, Maumere, NTT, "...Negara kita belum cukup sekular. Keyakinan bahwa Allah terus-menerus campurtangan secara langsung melalui bencana-bencana alam, mengisyaratkan bahwa kita harus memperluas ruang sekular".
Tuhan tentu tak akan menginginkan dan membiarkan  mahkluk ciptaannya tertimpa bencana atau berada dalam keterpurukan. Sama seperti seorang ibu yang tak akan menginginkan dan membiarkan seorang anaknya mengalami penderitaan. Oleh karena itu, Tuhan  memberikan berbagai kemampuan kepada manusia untuk dipergunakan guna mengatasi berbagai situasi yang menekan seperti sekarang ini.
Salah satu kemampuan terbesar yang dimiliki manusia adalah akalbudi selain intuisi dan penggunaan kesadaran. Dalam pemahaman St. Thomas Aquinas, akalbudi merupakan sebuah kemampuan hakiki yang memberi ciri tersendiri bagi manusia bila dihadapkan dengan ciptaan lain seperti binatang. Dengan akalbudi manusia mempunyai suatu keunggulan yang tak dimiliki mahkluk lain. Keunggulan sebagai karunia Tuhan ini hendaknya dipergunakan manusia semaksimal mungkin. Apa lagi di jaman yang serba canggih seperti sekarang ini.
Misalnya, telah ada mesin pendeteksi gejala bencana alam yang akan terjadi seperti TEWSÂ (Tsunami Early Warming System)Â yang telah dipasang oleh ahli-ahli dari Jerman di pesisir pantai Mentawai, yang akan memberi alarm jika ada gejala tsunami akan terjadi. Telah ada badan-badan khusus yang selalu siap siaga memantau bencana alam yang akan terjadi. Misalnya, pemantau aktivitas gunung merapi, BMKG dan lain sebagainya.Â
Oleh karena itu, jika muncul gejala akan terjadi bencana alam atau ada instruksi dari badan yang bertugas di bagian pemantauan  atau telah terdengar alarm-alarm akan terjadi bencana alam maka orang harus segera meninggalkan area jangkauan bencana sehingga tidak perlu ada korban berjatuhan.Â
Masyarakat juga tidak hanya harus bergantung pada prediksi berbagai pakar atau alat teknologi tapi harus bisa mengandalkan kemampuan pribadi dengan membaca tanda-tanda alam seperti yang telah dilakukan leluhur kita dahulu.
Penggunaan akalbudi yang maksimal juga membuat orang bersikap realistis dan tidak hanya melihat segala sesuatu sebagai suratan takdir dari Tuhan yang tidak mungkin dapat dielakkan. Dengan akalbudi orang bisa mencari tahu penyebab bencana alam lalu mencegah atau menghindari area jangkauan bencana tersebut.