Kelihatan bahwa penggunaan bahasa seperti itu sah-sah saja. Namun, jika dianalisa lebih mendalam, nampak bahwa ada usaha lewat simbol bahasa agar masyarakat terbagi dalam sekat-sekat agama atau kelompok tertentu.
Kalimat-kalimat yang dijadikan jargon boleh saja memiliki arti penting. Namun, apakah benar tujuan penggunaan bahasa yang merepresentasi kelompok atau agama tertentu tersebut sengaja dipakai untuk mengangkat arti penting makna jargonnya? Atau hanya sekadar ingin menyeret fanatisme kelompok atau agama tertentu agar mendapat dukungan dan penerimaan publik?
Ada beberapa hal yang patut dikritisi dari hegemonisme bahasa.Â
Pertama adalah adanya pemaksaan ideologis. Artinya, visi yang diusung calon pemimpin walau tidak dipahami dan dimengerti oleh masyarakat, namun visi tersebut tetap disodorkan.Â
Dalam hal ini, awasan yang mesti diperhatikan adalah realitas bahwa tidak semua masyarakat tahu arti dari simbol bahasa yang digunakan. Konsep abstrak yang termaktub dalam motto atau slogan politik tidak dapat ditangkap secara kritis oleh masyarakat.
Kedua adalah pembodohan publik. Masyarakat yang kurang paham mengenai arti kalimat dalam slogan tersebut, sengaja dijadikan sebagai keuntungan untuk merebut perhatian masyarakat.Â
Masyarakat yang tidak mengerti arti visi dalam bahasa tersebut lantas menggunakan metode "tebak bahasa" sebagai aspek penilaian akan visi tersebut.Â
Masyarakat menganggap bahwa bahasa tersebut adalah bahasa agama. Agama adalah segala hal yang berhubungan dengan sesuatu yang suci. Karena itu, masyarakat lantas menganggap segala intensi dalam motto atau slogan yang dipakai oleh pejabat publik memiliki nilai suci dan luhur.Â
Selanjutnya, masyarakat meyakinkan diri sebagai anggota keagamaan yang baik, masyarakat merasa harus memilih calon dengan motto tersebut tanpa harus mempertimbangkan aspek kualitas diri, rekam jejak dan sepak terjang dari calon pemimpin tersebut.Â
Ketiga, calon yang melegalkan berbagai cara yang sebenarnya tidak fair (memitoskan hal-hal tertentu) dalam politik untuk mendapatkan kedudukan tertentu merupakan ciri-ciri calon yang "gila kuasa".Â
Calon yang gila kuasa adalah calon yang akan rela mengorbankan kepentingan orang lain (rakyat) untuk memperoleh dan mempertahankan kedudukannya. Calon seperti ini tentu bukan seorang bakal pemimpin yang baik. Hal ini dapat diibaratkan dengan seekor singa yang akan siap memangsa anaknya sendiri jika ia telah kesulitan mendapatkan makanan dan bukannya rela berkorban demi anaknya.