Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iman dan Akal Budi Menurut Thomas Aquinas

17 Mei 2019   14:28 Diperbarui: 17 Mei 2019   14:39 2143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://en.wikipedia.org 

Akal budi (intellectus) merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terbatas(Mangus-Suseno,1997 : 83). Akal budi berasal dari bahasa Latin ratio. Dalam pemahamanThomas, akal budi merupakan sebuah kemampuan hakiki yang memberi ciri tersendiri bagi manusia bila dibanding dengan mahkluk lain seperti binatang. Oleh adanya akal budi manusia menjadi ciptaan unik sekaligus yang membedakan manusia dari ciptaan lain.

Manusia memiliki akal budi sedangkan ciptaan lain tidak memiliki kemampuan itu. Dengan ciri dan kemampuan dasar ini manusia dapat membuka diri bagi yang tak terbatas, karena pada hakekatnya cahaya akal budi adalah sebuah keterbukaan tak terhingga atau cakrawala insani tak terbatas. Akal budi merupakan suatu potensi insani tak terbatas yang senantiasa terbuka untuk segala hal bahkan kepada ruang ketakberhinggaan.

Namun manusia menyadari keterbatasan akal budinya. Oleh keterbatasan itu manusia juga sadar bahwa ia tidak dapat secara tuntas membahas semua hal yang dapat dikatakan dan dikenal. Pada saat itu tampak "ruang lain" dalam pengalaman hidupnya. Di hadapan ruang lain ini, akal budi sebagai satu keterbukaan tetap membuka diri sekalipun ia tetap sadar bahwa ruang lain asing dan arena itu harus digapai dengan kemampuan lain. Dengan bantuan filsafat, manusia memang telah berusaha memahami segala sesuatu secara baik dan benar oleh kemudahan tawaran kerangka nalar tertentu yang logis dan eviden. Namun bantuan istimewa ini tetap saja terbatas sifatnya dan karena itu manusia membutuhkan pemberian atau anugerah lain. Anugerah lain itu tampak dalam apa yang disebut IMAN.

Menurut Thomas, agar manusia dengan akal budinya dapat sampai kepada Tuhan sebagai kebenaran pokok, ia harus menggunakan cahaya dan prinsip-prinsip dasar yang eviden, yang dirumuskan dalam filsafat. Sebaliknya dengan iman manusia dapat mencapai Tuhan tanpa perlu menggunakan prinsip-prinsip manusiawi tetapi cukuplah dengan dasar percikan Wahyu Allah.

Apa yang disebut sebagai iman, menurut Thomas, bukan merupakan hasil persetujuan manusia atas berbagai negosiasi mengenai kebenaran melainkan merupakan anugerah yang bersumber pada kebenaran ilahi. Model kebenaran ini pada gilirannya melahirkan hubungan dengan Allah sebagai Pengada Utama.

Thomas Aquinas menegaskan bahwa kehadiran iman tidak menggantikan peran akal budi. Ia merumuskan peran iman sebagai penyempurna karya akal budi. Jadi, di satu sisi Thomas tetap menghargai peran akal budi, tetapi di sisi lain ia tidak memutlakkan peran akal budi itu. Akal budi tetap penting sejauh ia tetap harus berkolaborasi dengan iman untuk dapat tiba pada perwujudannya yang otentik. Namun anugerah yang sifatnya terjadi begitu saja tanpa persetujuan manusia ini dapat menjadi lebih mungkin karena peran akal budi. Pada titik pandang lainnya, orang dapat mengatakan oleh adanya iman, akal budi dapat mencapai pengetahuan akan kebenaran sejati.

BERCERMIN DARI REALITAS

Pendapat Thomas tentang iman dan akal budi yang berjalan beriringan memang bukan suatu yang mustahil. Iman dan akal budi memang mempunyai interdependensi yang sangat kuat. Akal budi membantu manusia mencerna Kemahakuasaan Allah dan iman membantu menyempurnakan apa yang menjadi pikiran manusia.

Namun, dalam realitasnya orang sering beranggapan bahwa iman dan akal budi adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Iman sering dipandang hanya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan (religius), suatu hal yang suci sedang akal budi dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengal hal duniawi (profan), suatu yang tidak suci. Oleh karena itu orang sering beranggapan orang yang ber-iman tidak boleh mencampurbaurkan hal duniawi (akal budi) dalam imannya dan dengan demikian akal budi ditolak. Begitu pula, orang yang ber-akal budi (kaum intelektual) segan mencampurbaurkan iman dalam proses penalarannya dan dengan demikian iman ditolak.

Pemisahan antara akal budi dan iman sebagai dua hal yang saling bertolak belakang semakin menyata dalam diri seseorang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kejadian luar biasa yang dalam iman dianggap sebagai suatu karya Tuhan (mukjizat) kini dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Semua karya Tuhan diangap sebagai suatu fenomena belaka. Sebagai contoh; ketika musa membelah laut merah. Oleh orang ber-iman khususnya orang Yahudi di saman itu, hal itu dianggap sebagai suatu mukjizat namun kini hanya dianggap sebagai suatu fenomena alam biasa.

Walau memang benar, pada kenyataannya air laut yang terbelah oleh karena fenomena alam yang secara akal budi dikaji bahwa air laut itu terbelah oleh karena tiupan angin timur yang sangat kencang sehingga membentuk dinding pada laut merah. Namun perlu disadari pula bahwa disana karya Allah terjadi. Hal ini dapat terjawab dengan pertanyaan "mengapa Musa dan Bangsa Israel datang tepat saat  angin timur bertiup kencang sehingga membentuk dinding pada laut yang memisahkan kedua bagian dari laut merah? Apakah Musa seorang yang sangat pintar sehingga ia tahu kapan air laut akan terbelah dan tepat saat yang bersamaan ia harus mengayunkan tongkatnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun