Bagaimana bila kita melihat dari sudut pandang agama?
Well, setiap orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah bagaimana nilai-nilai keberagaman itu sendiri dipegang oleh masyarakat Indonesia. Dari kasus Ahok ini rupanya memang ada pihak yang tidak setuju dengan adanya pluralitas di Indonesia. Kaum-kaum fundamentalis bisa disejajarkan dengan white supremacist yang ada di Amerika Serikat. Orang-orang tersebut pasti akan terus ada. Masalahnya, kini orang-orang tersebut semakin vocal dalam menyebar kebencian terhadap diversitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masalahnya, orang-orang tersebut kini mengganggu kestabilan negara.
Bila aksi-aksi bela agama yang telah dilakukan pihak-pihak penentang Ahok memang hanya berfokus ke Ahok, hal itu rasanya sangat wajar. Kekecewaan mereka terhadap Ahok yang mereka anggap menista agama mereka tentunya sangat boleh diungkapkan melalui aksi-aksi mereka.
Akan tetapi ketika aksi tersebut membawa isu-isu yang mengganggu ketenteraman orang lain, di situlah aksi tersebut dianggap sebagai aksi penebar kebencian. Tidak jarang kegiatan-kegiatan yang bertajuk “aksi damai” tersebut berujung pada anarkisme, kericuhan, dan tindak kekerasan, seperti yang terjadi pada 4 November 2016 silam di Jakarta. Tidak jarang banner yang digotong-gotong dalam aksi tersebut tidak lagi berfokus pada tuntutan memenjarakan Ahok, tetapi berisi penghinaan terhadap agama atau ras lain.
Semakin banyak ajaran-ajaran dari berbagai pemuka agama yang mengatakan bahwa agama X sesat dan pengikut-pengikutnya tidak akan masuk surga. Ada yang mengutuk berbagai pihak yang “memaksa” orang-orang untuk memakai atribut agama tertentu. Ada juga yang memerintahkan untuk tidak memakamkan orang-orang yang mendukung penista agama. Ada juga yang kembali mengangkat lagi kebencian terhadap masyarakat tertentu seperti keturunan Tionghoa, dengan mencap orang-orang tersebut dengan berbagai stigma buruk, seperti pembawa komunisme dan “pemiskin masyarakat Indonesia pribumi”, sekalipun istilah pribumi sudah dilarang untuk dipergunakan oleh undang-undang. Bahkan ada yang menebar berbagai teori konspirasi konyol yang menyatakan kaum ini akan menguasai Indonesia dan mengancam eksistensi mayoritas, dengan dibumbui berbagai fakta cocoklogi yang seolah-olah menjustifikasi pandangan-pandangan tak berdasar tersebut.
Apakah dipenjaranya Ahok menandakan kemenangan kaum fundamentalis?
Semua ini kembali ke masyarakat Indonesia sendiri. Ahok dipenjara bukan berarti kaum radikalis menjadi orang yang dianggap benar. Memang kekalahan Ahok dalam Pilkada dan dipenjarakannya Ahok dianggap sebagai hal yang begitu devastating. Namun pada akhirnya kekuatan bangsa ditentukan oleh rakyatnya sendiri. Ahok hanya salah satu korban dari isu SARA yang marak baru-baru ini yang sangat dikompori oleh nuansa politik yang ada. Yang menentukan bagaimana nasib Indonesia ke depannya adalah rakyat Indonesia sendiri.
Biarkan Ahok dipenjara. Biarkan keinginan kaum radikalis dipenuhi demi tetap bertahannya kestabilan bangsa, meskipun ini merupakan pil pahit bagi eksistensi Indonesia sebagai negara yang dikenal dunia sebagai si toleran itu. Yang menjadi fokus masyarakat dan pemerintah Indonesia sekarang adalah bagaimana kasus serupa tidak terjadi lagi; bagaimana Ahok harus menjadi korban terakhir dari huru-hara semacam ini.
Indonesia memang sudah terbentuk dengan berbagai suku bangsa, agama, dan ras. Tidak ada kelompok yang berhak mendeklarasikan diri sebagai pribumi di Indonesia: semua kelompok di Indonesia dulunya adalah pendatang, tidak bisa ditentukan lagi siapa penduduk asli tanah air Indonesia.
Hal yang harus diperhatikan sekarang adalah nilai apa yang ingin dipegang teguh bersama. Sesungguhnya kasus Ahok ini menjadi ujian sesungguhnya terhadap Pancasila dan ideologi Bhinneka Tunggal Ika yang dipegang teguh Indonesia. Apakah Indonesia memilih untuk mempertahankan ideologi tersebut, atau membiarkan ideologi fundamentalis agama tertentu untuk menguasai Indonesia, itu semua ada di tangan masyarakatnya sendiri. Apakah sila pertama Pancasila tetap berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tetap menghargai pluralitas di Indonesia, atau akan menjadi “Ketuhanan ada di p****t” seperti yang diteriakkan salah satu tokoh fundamentalis di balik aksi penjatuhan Ahok tersebut, semua ada di tangan kita. Apakah Indonesia akan tetap bertahan dalam memelihara kehidupan masyarakat heterogen yang penuh warna, atau menjadikan Indonesia milik kelompok tertentu, itu semua ada di tangan kita.
Tanggung jawab masyarakat Indonesia adalah menyadari apa tantangan yang sedang melanda saat ini dan menggunakan akal sehat, bukan sekadar perintah tertentu yang dianggap penentu takdir, untuk bersikap di tengah masyarakat yang begitu plural ini. Tantangan ini sudah jauh lebih luas daripada sekadar penistaan agama oleh Ahok, sekalipun terlihat sederhana. Inilah yang menentukan apakah generasi muda akan tetap optimis dalam memandang Indonesia yang lebih baik di masa depan.