Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Resmi Dipenjara: What to Learn and What to Expect

9 Mei 2017   17:25 Diperbarui: 9 Mei 2017   17:38 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok divonis dua tahun penjara, Senin (9/5) (CNN)

Karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan apa yang dialami Ahok. Hanya karena kepeleset satu kata, dirinya dibenci oleh jutaan umat yang merasa agamanya dinistakan. Hanya karena beda tafsir kata sesederhana kata “dibohongi”, Ahok didemo berjilid-jilid sampai masuk penjara. Hanya karena satu dosa yang (kata banyak orang) tidak disengaja, semua karya Ahok untuk negeri terlupakan.

Setelah Ahok divonis dua tahun penjara, fenomena yang terlihat cukup jelas. Banyak orang pro-Ahok merasa hopeless, kecewa, atau sejenisnya. Bahkan ada yang kesannya berlebihan. Ada yang merasa pesimis terhadap masa depan bangsa ini. Ada yang koar-koar di media sosial ingin pindah kewarganegaraan. Ada yang merasa toleransi yang menjadi identitas Indonesia di mata dunia telah hilang. Bahkan mereka yang juga merupakan bagian dari minoritas merasa tidak punya harapan lagi untuk ikut membangun bangsa.

Twitter siang ini diberondong oleh trending topic yang berbau isu ini. Sebut saja #RIPHukum, Cina, RIP Indonesia, dan masih banyak lagi. Kali ini mereka yang disebut-sebut sebagai silent majority bersuara mengungkapkan kekecewaan mereka.

Kasus Ahok ini seolah-olah menjadi parameter sikap bangsa ini dalam menghadapi isu diversitas komponen penyusun masyarakat di negara ini.

Saya tidak ingin berfokus di isu agama sekarang. We’ll get to that point later.

Mari kita lihat dari sudut pandang politik terlebih dahulu.

Ahok kini secara resmi berstatus tahanan. Sebuah status yang mampu membuat orang-orang melupakan segala karya yang telah dilakukan oleh Ahok. Karangan bunga untuk Ahok-Djarot yang memecahkan rekor MURI, dukungan dari berbagai tokoh masyarakat, sampai penghargaan gubernur terbaik untuk Ahok seolah-olah tidak lagi berarti. Ahok dengan segudang apresiasi yang diraihnya kini jatuh setelah dirinya dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama.

Hal yang selama ini menjadi pertanyaan adalah: mengapa kasus semacam ini hanya terjadi pada Ahok, dan mengapa kasus ini menjadi fenomena internasional di tengah-tengah masa Pilkada DKI?

Isu SARA menjadi isu sensitif yang rasa-rasanya sudah begitu umum di Indonesia. Dari dulu sampai sekarang Indonesia sudah mempunyai sejarah yang cukup kelam ketika isu SARA hampir berhasil memecah-belah bangsa, ambil saja contoh tahun 1965 dan 1998.

Sekalipun demikian Indonesia terus dikenal dunia sebagai negara dengan toleransi antar umat beragama yang begitu kuat. Bahkan sampai saat ini stigma tersebut masih melekat. Dengar saja apa yang dikatakan Mike Pence ketika berkunjung ke Jakarta beberapa hari yang lalu.

Namun agaknya isu SARA akan terus menjadi momok yang siap mengguncang Indonesia kapan saja, bila masyarakat tidak siap untuk menghadapinya. Masih adanya oknum-oknum radikalis agama tertentu menunjukkan ketidaksiapan bangsa ini dalam menjalani kehidupan masyarakat Indonesia yang begitu plural ini.

Di Instagram dapat diamati dua kubu yang bisa digolongkan sebagai pro-Ahok dan kontra-Ahok. Akun-akun pro-Ahok, seperti @ahok_kita, @fg_ahok, @beritaraya, dan @front_pembela_akal_sehat, serta akun-akun kontra-Ahok seperti @panglima_aswaja dan @habibi_al_fatih terus bermunculan dan aktif di media sosial tersebut di tengah fenomena ini. Akun-akun tersebut terus menjadi sarana untuk mendukung maupun menyerang Ahok dan tentunya mendapatkan lebih banyak massa pendukung di media sosial. Media sosial pun sukses menjadi sarana persuasi untuk mengikuti berbagai aksi untuk menyemangati Ahok (seperti publikasi sederet karangan bunga untuk Ahok) maupun untuk menjatuhkan Ahok (seperti ajakan mengikuti aksi-aksi damai yang telah berlangsung sampai lima jilid).

Hal yang lucu adalah, akun-akun tersebut baru bermunculan setelah video Ahok yang diupload Buni Yani menghebohkan dunia maya dan masyarakat Indonesia. Sebelum hal itu terjadi, rasanya situasi bangsa tenang-tenang saja. Tidak ada isu SARA yang merebak. Namun semuanya seolah berubah ketika kasus ini memanas dan isu agama menjadi faktor besar yang memengaruhi Pilkada DKI Jakarta.

Apabila kita hanya memandang kasus Ahok sebagai isu agama, agaknya kita perlu berpikir lebih luas dari itu. Apabila memang kasus ini hanya menyangkut faktor agama, sesungguhnya kasus semacam ini sudah akan memanas sejak dahulu. Akan tetapi mengapa yang diserang Ahok? Mengapa kemudian Jokowi dan partai-partai pendukung Ahok seperti PDI-P dan Nasdem ikut terkena imbasnya? Apa lagi kalau bukan faktor politik yang sesungguhnya bermain dalam kasus ini?

Allan Nairn melihat kasus Ahok ini sebagai konspirasi politik yang ujung-ujungnya akan berakhir pada kudeta terhadap Presiden Joko Widodo. Menurutnya kudeta ini tidak akan berlangsung secara gamblang berupa serangan militer atau metode eksplisit lainnya, tetapi direncanakan perlahan-lahan. Kasus Ahok ini hanyalah langkah awal. Ahok yang lidahnya terpeleset ketika mengunjungi Pulau Pramuka menjadi berkah dan momentum yang sangat besar untuk memulai rencana kudeta ini. Jadilah aksi-aksi memenjarakan Ahok sang penista agama yang ditunggangi oleh pihak-pihak seperti FPI, MUI, dll.

Nuansa politik di balik aksi yang mengatasnamakan agama ini semakin terasa bahkan setelah Ahok dikalahkan Anies dalam Pilkada DKI kemarin. Sepertinya Pilkada Jawa Barat akan menjadi target berikutnya. Pernyataan Abdullah Gymnastiar sebagai salah satu tokoh terkemuka yang kontra dengan Ahok menjadi pemantik utama dalam membawa isu agama dalam Pilkada Jawa Barat. Nasihat agar melihat partai-partai pendukung calon gubernur yang diusung semakin menunjukkan adanya politik nakal di belakangnya. Dan agaknya, Ridwan Kamil sebagai tokoh yang diusung Nasdem (dan kemungkinan besar juga akan didukung PDI-P) akan menjadi target utama.

Oknum-oknum semacam ini memang terbukti efektif dalam memengaruhi pandangan masyarakat. Media massa yang telah merambah ke dunia maya juga menjadi pemantik yang luar biasa ampuh dalam menyebarkan idealisme-idealisme yang belum tentu orang mampu menyaringnya. Ekspos yang cukup berlebihan terhadap fundamentalisme agama tertentu yang dikompori dengan ancaman yang berkaitan dengan hidup-matinya seseorang menjadi sarana koersif yang begitu manjur dalam memenangkan si calon yang “tidak seiman” tersebut.

Kasus-kasus lain yang mampu perlahan-lahan menjatuhkan Jokowi juga sudah dimulai cukup lama, mulai dari uang cetakan baru yang dianggap mengandung lambang PKI, Pancasila yang dianggap tidak lagi efektif menjadi ideologi bangsa, sampai serangan terhadap pejabat-pejabat negara dengan tuduhan ingin membangkitkan PKI dan bekerjasama dengan negara-negara komunis.

Aksi-aksi untuk menentang Ahok melebar menjadi aksi menebar kebencian terhadap kaum minoritas lainnya (Kumparan)
Aksi-aksi untuk menentang Ahok melebar menjadi aksi menebar kebencian terhadap kaum minoritas lainnya (Kumparan)

Di satu sisi, pemerintah yang selama ini kurang banyak bersikap terhadap hal ini menghadapi situasi yang sulit. Mereka yang berkoar-koar mengenai kasus di atas dengan penuh kepengecutan berlindung di bawah selimut konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat warga negara. Bila pemerintah bersikap tegas dengan “membungkam” oknum-oknum tersebut, pemerintah akan dicap diktator dan tidak menghargai kebebasan mengemukakan pendapat. Pemerintah akan dicap sama saja dengan rezim Orde Baru yang membungkam semua pihak yang menentang pemerintah.

Di lain sisi, aksi-aksi semacam ini bisa berbahaya terhadap kestabilan bangsa dan negara. Bila hal ini terus dibiarkan, kelompok-kelompok penentang pemerintah akan memiliki kekuatan semakin besar dan akhirnya mampu mengguncang tegaknya ideologi negara. Bahkan keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI baru-baru ini langsung diserbu oleh penolakan-penolakan berbagai pihak yang kecewa terhadap “pembungkaman oleh pemerintah” tersebut. Di sinilah kebebasan dalam sistem demokrasi menjadi penghambat dalam mengontrol huru-hara semacam ini.

Bagaimana bila kita melihat dari sudut pandang agama?

Well, setiap orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah bagaimana nilai-nilai keberagaman itu sendiri dipegang oleh masyarakat Indonesia. Dari kasus Ahok ini rupanya memang ada pihak yang tidak setuju dengan adanya pluralitas di Indonesia. Kaum-kaum fundamentalis bisa disejajarkan dengan white supremacist yang ada di Amerika Serikat. Orang-orang tersebut pasti akan terus ada. Masalahnya, kini orang-orang tersebut semakin vocal dalam menyebar kebencian terhadap diversitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masalahnya, orang-orang tersebut kini mengganggu kestabilan negara.

Bila aksi-aksi bela agama yang telah dilakukan pihak-pihak penentang Ahok memang hanya berfokus ke Ahok, hal itu rasanya sangat wajar. Kekecewaan mereka terhadap Ahok yang mereka anggap menista agama mereka tentunya sangat boleh diungkapkan melalui aksi-aksi mereka.

Akan tetapi ketika aksi tersebut membawa isu-isu yang mengganggu ketenteraman orang lain, di situlah aksi tersebut dianggap sebagai aksi penebar kebencian. Tidak jarang kegiatan-kegiatan yang bertajuk “aksi damai” tersebut berujung pada anarkisme, kericuhan, dan tindak kekerasan, seperti yang terjadi pada 4 November 2016 silam di Jakarta. Tidak jarang banner yang digotong-gotong dalam aksi tersebut tidak lagi berfokus pada tuntutan memenjarakan Ahok, tetapi berisi penghinaan terhadap agama atau ras lain.

Semakin banyak ajaran-ajaran dari berbagai pemuka agama yang mengatakan bahwa agama X sesat dan pengikut-pengikutnya tidak akan masuk surga. Ada yang mengutuk berbagai pihak yang “memaksa” orang-orang untuk memakai atribut agama tertentu. Ada juga yang memerintahkan untuk tidak memakamkan orang-orang yang mendukung penista agama. Ada juga yang kembali mengangkat lagi kebencian terhadap masyarakat tertentu seperti keturunan Tionghoa, dengan mencap orang-orang tersebut dengan berbagai stigma buruk, seperti pembawa komunisme dan “pemiskin masyarakat Indonesia pribumi”, sekalipun istilah pribumi sudah dilarang untuk dipergunakan oleh undang-undang. Bahkan ada yang menebar berbagai teori konspirasi konyol yang menyatakan kaum ini akan menguasai Indonesia dan mengancam eksistensi mayoritas, dengan dibumbui berbagai fakta cocoklogi yang seolah-olah menjustifikasi pandangan-pandangan tak berdasar tersebut.

Apakah dipenjaranya Ahok menandakan kemenangan kaum fundamentalis?

Semua ini kembali ke masyarakat Indonesia sendiri. Ahok dipenjara bukan berarti kaum radikalis menjadi orang yang dianggap benar. Memang kekalahan Ahok dalam Pilkada dan dipenjarakannya Ahok dianggap sebagai hal yang begitu devastating. Namun pada akhirnya kekuatan bangsa ditentukan oleh rakyatnya sendiri. Ahok hanya salah satu korban dari isu SARA yang marak baru-baru ini yang sangat dikompori oleh nuansa politik yang ada. Yang menentukan bagaimana nasib Indonesia ke depannya adalah rakyat Indonesia sendiri.

Biarkan Ahok dipenjara. Biarkan keinginan kaum radikalis dipenuhi demi tetap bertahannya kestabilan bangsa, meskipun ini merupakan pil pahit bagi eksistensi Indonesia sebagai negara yang dikenal dunia sebagai si toleran itu. Yang menjadi fokus masyarakat dan pemerintah Indonesia sekarang adalah bagaimana kasus serupa tidak terjadi lagi; bagaimana Ahok harus menjadi korban terakhir dari huru-hara semacam ini.

Indonesia memang sudah terbentuk dengan berbagai suku bangsa, agama, dan ras. Tidak ada kelompok yang berhak mendeklarasikan diri sebagai pribumi di Indonesia: semua kelompok di Indonesia dulunya adalah pendatang, tidak bisa ditentukan lagi siapa penduduk asli tanah air Indonesia.

Hal yang harus diperhatikan sekarang adalah nilai apa yang ingin dipegang teguh bersama. Sesungguhnya kasus Ahok ini menjadi ujian sesungguhnya terhadap Pancasila dan ideologi Bhinneka Tunggal Ika yang dipegang teguh Indonesia. Apakah Indonesia memilih untuk mempertahankan ideologi tersebut, atau membiarkan ideologi fundamentalis agama tertentu untuk menguasai Indonesia, itu semua ada di tangan masyarakatnya sendiri. Apakah sila pertama Pancasila tetap berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tetap menghargai pluralitas di Indonesia, atau akan menjadi “Ketuhanan ada di p****t” seperti yang diteriakkan salah satu tokoh fundamentalis di balik aksi penjatuhan Ahok tersebut, semua ada di tangan kita. Apakah Indonesia akan tetap bertahan dalam memelihara kehidupan masyarakat heterogen yang penuh warna, atau menjadikan Indonesia milik kelompok tertentu, itu semua ada di tangan kita.

Tanggung jawab masyarakat Indonesia adalah menyadari apa tantangan yang sedang melanda saat ini dan menggunakan akal sehat, bukan sekadar perintah tertentu yang dianggap penentu takdir, untuk bersikap di tengah masyarakat yang begitu plural ini. Tantangan ini sudah jauh lebih luas daripada sekadar penistaan agama oleh Ahok, sekalipun terlihat sederhana. Inilah yang menentukan apakah generasi muda akan tetap optimis dalam memandang Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Referensi:

Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar
Investigasi tentang persekutuan para jenderal mendongkel Jokowi lewat kasus Almaidah.tirto.id

Jakarta governor Ahok found guilty of blasphemy
Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, commonly known as Ahok, has been sentenced to two years in prison, after being…edition.cnn.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun